Hari ini adalah hari pernikahan yang sudah ditentukan oleh Jimmy dan Mardi. Mereka akan melangsungkan akad nikah di kediaman Jimmy dengan dihadiri oleh keluarga inti saja. Di antaranya dua orang kakak dan adik Hilda berikut anak dan cucu mereka. Kemudian dari pihak Jimmy hanya ada satu kakak laki-lakinya, istri, beserta anaknya. Adik perempuan Jimmy sendiri sedang tidak berada di kota ini sehingga tidak bisa menghadiri akad nikah yang akan segera berlangsung.
Dari pihak Aqila sendiri hanya dihadiri oleh Pak lurah yang berasal dari desa tempat Aqila tinggal sebagai saksi jika Aqila memang sudah menikah agar ketika ia pulang kampung dan membawa laki-laki ke rumahnya, tidak akan ada kesalahpahaman yang terjadi. Mardi dan Mirna memang berada di sana untuk mengurus pernikahan Aqila.
Pasangan suami istri itu berencana untuk pulang ke kampung halaman mereka karena berpikir akan tidak etis jika mereka tetap bekerja di sana sementara sang keponakan sudah menjadi tuan rumah.
Hal tersebut disampaikan oleh Mirna pada Aqila dan membuat Aqila semakin ketakutan untuk tinggal di kota besar ini seorang diri tanpa kerabat.
Rumah sudah tampak sedikit ramai dengan kehadiran sanak keluarga. Saat ini Aqila sedang ditemani oleh Bibi dari Gibran yakni Tante Helena yang sedang membantu mempersiapkan Aqila agar tampak cantik.
"Kulit kamu putih mulus seperti ini, pakai skincare apa?" Helena menatap Aqila dengan mata berbinar gemas. "Kenyal lagi. Ini pasti skincare mahal," ucap Helena penuh semua.
Helena sendiri adalah adik kandung dari Hilda yang jarak usianya dengan Gibran hanya berbeda 6 tahun. Wanita itu tampak cantik dan energik dengan gaya fashionable yang membuatnya tampak lebih muda dari usianya yang sebenarnya.
Aqila menelan ludahnya menatap takut-takut sosok Helena. Terlebih lagi, sanggul tinggi yang terpasang rapi di atas kepala wanita itu membuat Aqila kadang berpikir apa tidak akan menyangkut sanggul tersebut ketika akan keluar masuk pintu? Batin Aqila bertanya-tanya.
"Skiniker?" ulang Aqila. Keningnya mengernyit aneh saat mendengar nama asing yang diucapkan oleh Helena barusan.
"Bukan skiniker. Tapi, skincare. Itu loh, racikan obat buat wajah biar putih, glowing, dan kenyal. Masa begitu saja tidak tahu." Helena menatap lipstik yang sudah ia rapikan diatas bibir Aqila. Kemudian, dia tersenyum puas dengan hasil kerjanya.
"Maaf, tapi aku tidak memakai apa pun." Aqila berucap pelan. Gadis itu kemudian menundukkan kepalanya saat melihat ekspresi tak percaya yang ditampilkan Helena.
"Serius? Tapi, kenapa wajahmu terlihat putih dan kenyal seperti ini?" Sekali lagi Helena mencapit pipi Aqila dan menariknya pelan tanpa menghilangkan bedak yang menempel di pipinya.
"Mungkin karena rajin dicuci pagi dan sore." Aqila menjawab dengan polos membuat Helena yang mendengarnya merasa gemas.
Andai saja jika mencuci wajah setiap pagi dan sore bisa memutihkan dan mengenyalkan wajah, mungkin ia tidak akan mengeluarkan uang banyak untuk perawatan wajahnya sendiri, pikir Helena dalam hati.
"Ma, ijab kabul sudah mau mulai."
Hanafi Putri Irsyad, adalah putri kedua dari pasangan Irsyad dan Helena yang masih berada di kelas 12 SMA. Hana tampak cantik dalam balutan kebaya berwarna pink.
"Oh, iya." Helena menatap Aqila kemudian membantunya berdiri. "Aqila, kenalin ini Hana, anak kedua tante." Helena memperkenalkan Aqila pada Hana membuat gadis yang akan sah menjadi istri beberapa saat lagi itu mengulurkan tangannya pada Hana.
"Aqila," ujar Aqila dengan suara lembut.
Hana menatap uluran tangan Aqila beberapa detik, kemudian ia membalas jabatan tangan Aqila.
"Hana. Senang kenalan sama mbak Aqila."
Hana tersenyum manis membuat Aqila mendesah lega. Awalnya Aqila mengira jika Hana tidak ingin menjabat tangannya dan membuatnya semakin takut untuk bersosialisasi dengan keluarga besar Bu Hilda. Beruntung sekali Hana bukan tipe gadis sombong yang enggan berkenalan atau bersentuhan dengan orang dari kalangan bawah seperti dirinya, pikir Aqila.
Aqila akhirnya dibimbing Helena dan Hana untuk keluar dari ruangan tempat merias wajah.
Sudah ada banyak orang yang duduk di ruang tengah yang disulap sebagai tempat akad nikah berlangsung. Terlihat banyak sanak saudara yang hadir serta penghulu pun sudah duduk di depan meja kecil yang disediakan. Namun, dari jarak jauh, Aqila belum melihat calon laki-laki yang akan menikahinya.
Sementara orang tua dari mempelai laki-laki sudah berada di dekat penghulu. Ada Hilda yang duduk di kursi roda, dan Jimmy yang duduk di bawahnya.
Aqila dibimbing duduk di depan penghulu. Gadis cantik itu menundukkan kepalanya.
"Sabar, Pak. Anak saya, Gibran sebentar lagi tiba. Dia masih di perjalanan," ucap Jimmy pada Pak penghulu.
"Memangnya, Mas Gibran di mana, Pak?"
"Kebetulan dia ada rumah sendiri. Lagi pula, dia tidak mungkin tinggal disini, mengingat calon istrinya juga berada di sini." Jimmy menjawab pertanyaan Pak penghulu dengan tenang.
"Oh, begitu."
Tak selang berapa lama, suara langkah kaki terdengar membuat semua orang menoleh menatap ke asal suara. Kecuali, Aqila. Gadis itu berada dalam posisi menunduk tidak berani untuk menatap ke sumber suara.
"Akhirnya kamu sampai juga," ucap Vina pada Gibran.
Vina sendiri adalah istri dari Valen yang merupakan kakak tua Hilda. Wanita itu segera bangkit dari duduknya kemudian menghampiri Gibran dan menuntunnya untuk duduk di samping Aqila.
Bau harum parfum yang dikenakan Gibran masuk ke indra penciuman Aqila. Gadis itu semakin menundukkan kepalanya, sementara tangannya meremas gugup tidak berani untuk menoleh ke samping di mana pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya berada.
Gibran sendiri masih bersikap santai. Pria itu hanya melirik sekilas sosok perempuan kebaya putih yang dibalut dengan kain penutup kepala. Setelah itu Gibran menatap lurus Pak penghulu.
Sebelum ijab dan Qabul berlangsung, Gibran dan Aqila di beri wejangan dan peran suami istri dalam rumah tangga. Aqila dan Gibran mendengarnya dalam diam.
Lalu, ijab dan Qabul pun diucapkan Gibran dengan lantang dalam sekali tarikan napas hingga kata 'Sah' bergema dari para saksi.
Hilda yang menyaksikan bagaimana anak satu-satunya mengucapkan ijab Kabul dan menyebutkan nama lengkap Aqila beserta almarhum bapaknya. Hilda merasa senang sekaligus lega karena putranya berhasil menikahi gadis baik seperti Aqila. Hilda hanya berdoa dan meminta pada Allah semoga saja rumah tangga putra dan menantunya langgeng hingga maut memisahkan.
Aqila sendiri dinikahkan oleh wali hakim mengingat bapak kandung Aqila sudah pulang ke Rahmatullah lebih awal.
"Mbak Aqila, boleh salaman sama suaminya dulu," ujar Pak penghulu pada Aqila.
Aqila mengangkat kepalanya kemudian menatap Pak penghulu sebentar, lalu memutar tubuhnya ke samping menghadap ke arah sosok Gibran.
Gibran sendiri langsung mengulurkan tangannya yang disambut Aqila dan mencium punggung tangan sang suami. Setelah itu Gibran menangkup kedua sisi kepala Aqila dan mengangkatnya sedikit ke atas untuk mencium beningnya sesuai perintah sang Bibi dari samping.
Gibran tertegun sejenak saat melihat wajah rupawan gadis yang baru saja ia nikahi. Bukan hanya paras rupawan yang membuat Gibran tertegun tapi ingatkan seketika itu terputar akan memori yang hampir tenggelam dalam pikirannya.
"Kamu?"
"Ada apa, Gibran? Kamu kenal dengan Aqila?" Helena bertanya pada keponakannya yang terlihat sedikit terkejut saat melihat wajah Aqila barusan.
Gibran seakan tersadar menggeleng kepalanya pelan. "Tidak ada," jawabnya. Gibran segera mengecup kening Aqila setelah itu ia memposisikan dirinya seperti semula, begitu juga dengan Aqila.