Dua hari kemudian Hilda akhirnya tersadar. Wanita paruh baya itu hanya bisa terbaring di tempat tidur dengan tubuh yang tidak bisa digerakkan. Hilda dinyatakan stroke oleh dokter hingga membuat Jimmy yang mendengarnya menangis mengetahui fakta jika wanita yang ia cintai mengalami stroke.
"Mama mau makan?" Jimmy segera mendekat saat melihat bibir istrinya bergerak.
"G-giblan," ucap Hilda. Wanita paruh baya itu menyebutkan nama putranya yang tidak terlihat di ruangannya saat ini.
"Gibran?"
Hilda mengangguk pelan membuat Jimmy segera bergegas keluar memanggil Gibran yang sedang duduk di luar ruangan Hilda. Putranya itu ternyata sedang membahas sesuatu dengan bawahannya dan harus terjeda karena kehadirannya.
"Kenapa, Pa?" tanya Gibran saat melihat kehadiran papanya.
"Kamu dipanggil mama."
Gibran segera bangkit dari duduknya kemudian mengikuti sang papa masuk ke dalam ruangan.
"Kenapa, Ma?" Gibran mengambil kursi dan duduk disebelah mamanya. Pria itu mendekatkan kepalanya ke arah sang mama yang menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Lalu, tetes demi tetes air mata jatuh membasahi pipi Hilda, membuat Gibran segera mengusap dengan lembut wajah mamanya.
"Mama kenapa menangis? Mama mau apa? Bilang sama Gibran, Ma. Gibran akan menuruti semua kemauan mama." Gibran mengusap lembut kepala sang mama. Sementara Jimmy sendiri berada di seberang tempat tidur Hilda berada.
"Nikah." Suara Hilda terdengar pelan dan terbata ketika menyebutkan satu kata. Hal tersebut membuat baik Gibran maupun Jimmy mengerut dahi mereka.
"Nikah?" ulang Gibran.
Hilda menganggukkan kepalanya pelan. Sementara air matanya tak berhenti menetes membuat Gibran dan Jimmy saling menatap.
"Maksud Mama, apa aku menikahi Salma atau tidak?" Gibran menerka-nerka satu kalimat dari sang mama. Namun, mamanya justru menggeleng kepalanya.
"Kamu menikah." Hilda mengulang kalimatnya dengan sedikit lebih jelas.
"Maksud Mama, Gibran harus menikah?"
Kali ini Jimmy bertanya menatap sang istri yang terlihat sulit sekali untuk mengucapkan beberapa patah kata.
"Aku akan menikah, Ma. Tapi, tunggu Mama sehat dulu, ya. Setelah itu, aku akan mencari calon istri yang baik untuk mama." Gibran akhirnya mengerti dengan maksud sang Mama yang memintanya untuk segera menikah. Pria itu menggenggam tangan sang mama sambil mengusap air mata mamanya yang tidak berhenti menetes.
Hilda menggeleng kepalanya. Wanita itu kembali mengucapkan sebuah nama yang membuat Jimmy mengerti keseluruhan dari keinginan sang istri.
"Maksud Mama, Gibran harus menikahi Aqila?" tanya Jimmy, membuat Hilda menganggukkan kepalanya.
Hilda menatap Gibran dengan tatapan memohon agar sang putra mengabulkan keinginannya. Hilda hanya ingin putranya mendapatkan istri yang baik. Tidak memandang sosok putranya sebagai seorang anak konglomerat, melainkan seorang lelaki yang membutuhkan bimbingan untuk bisa kembali ke jalan-Nya.
"Aqila siapa, Pa?" Gibran menoleh menatap sang papa dengan tatapan bertanya. Pasalnya, ini kali pertama Gibran mendengar nama tersebut.
"Aqila itu gadis yang bersama pak Mardi dan Bu Mirna tadi. Aqila adalah keponakan pak Mardi." Jimmy menjawab sambil mengusap kepala sang istri dengan sayang. "Mamamu memang pernah cerita kalau beliau ingin memiliki menantu seperti Aqila. Tapi, keinginannya harus terpendam karena kamu sudah memiliki wanita pilihanmu sendiri."
Jimmy kemudian menegakkan tubuhnya menatap sang anak yang masih menampilkan ekspresi dingin.
"Sekarang kamu batal menikahi Salma. Apa kamu bisa mengabulkan permintaan mama? Kalau kamu keberatan, papa rela bersujud di depan kamu dan memohon supaya kamu mau mengabulkan permintaan mama." Jimmy menghela napas menatap sang anak dengan mata berkaca-kaca. "Papa mohon Gibran, tolong kabulkan keinginan mama," mohon Jimmy pada putra satu-satunya.
Gibran sendiri tengah memikirkan permintaan mamanya. Gibran bahkan tidak mengenal sosok perempuan yang diinginkan sang Mama untuk menjadi menantu. Namun, jika Gibran menolaknya, apakah Gibran sanggup untuk mengecewakan mamanya untuk yang kesekian kalinya? Gibran rasa, ia tidak akan sanggup melakukannya. Akhirnya, dengan kepasrahannya, Gibran mengangguk setuju untuk mengabulkan permintaan sama mama.
"Aku akan mengabulkan permintaan Mama. Aku harap, mama bisa bahagia dan sehat selalu."
Hilda tersenyum sementara air mata kebahagiaannya berderai haru menatap sang anak dengan penuh kasih sayang. Hilda sendiri tidak menyangka jika putranya akan menuruti keinginannya ini.
"Makasih."
"Pokoknya mama harus sembuh. Supaya bisa menyaksikan pernikahanku dengan perempuan pilihan mama."
Hilda tersenyum sambil mengangguk pelan kepalanya. Ia juga berharap semoga Tuhan memberinya umur panjang untuk menyaksikan perubahan pada sang putra ke jalan yang lebih baik lagi.
____
Aqila meremas tangannya gugup saat semua mata kini menatap ke arahnya. Aqila merasa cemas dan takut akan pilihan yang akan ia ambil.
Baru saja beberapa menit yang lalu Jimmy pulang dan langsung mengatakan keinginan Hilda untuk menjodohkan Aqila dengan Gibran.
Awalnya Aqila tidak percaya dengan pendengarannya. Namun, setelah Jimmy meyakinkannya beberapa kali barulah Aqila percaya jika keinginan tersebut adalah fakta.
Awalnya, Aqila berusaha untuk mengelak dan menolak karena selain ia tidak pernah melihat anak majikannya itu, Aqila juga merasa tidak pantas. Status sosial mereka cukup berbeda jauh, dan ia merasa tidak akan sanggup untuk hidup bersama laki-laki yang sejak lahir sudah hidup dalam kemewahan. Berbeda sekali dengan Aqila yang selalu hidup dalam kesederhanaan.
"Aqila, saya mohon untuk mengabulkan keinginan istri saya. Beliau sangat mengharapkan kamu untuk menjadi menantunya." Jimmy menarik napasnya berat. "Bisa saja, ini juga merupakan keinginan terakhirnya."
"Pak, jangan bicara seperti itu. Bu Hilda pasti bisa sehat dan sembuh seperti sedia kala." Aqila buru-buru menyanggah ucapan Jimmy. "Aku hanya merasa ini sangat tidak mungkin untuk aku bisa menikahi anak bapak. Di sini, aku bekerja sebagai tukang bersih dan masak. Apa kata orang, kalau tahu aku adalah pekerja disini?"
Aqila kembali menundukkan kepalanya. Tidak mengerti dengan jalan pikiran Bu Hilda yang menginginkannya menjadi menantu. Ada banyak wanita di luar sana yang bisa menjadi istri dan menantu di rumah ini. Pastinya, mereka sederajat. Tidak seperti dirinya, pikir Aqila.
"Apa kamu berpikir kami adalah keluarga yang memandang status sosial seseorang?"
Jimmy bertanya seraya menatap Aqila. Sementara Mirna dan Mardi hanya diam menunggu keputusan keponakan mereka. Diterima atau tidaknya, mereka akan tetap mendukung Aqila.
Aqila terdiam sejenak kemudian ia menggeleng pelan kepalanya.
"Apa perlu bapak bersujud di kaki kamu, Nak, supaya kamu mau mengabulkan keinginan ibu?" Jimmy bersiap untuk bangkit berdiri dan melakukan sujud di bawah kaki Aqila. Namun, gerakannya tertahan oleh Mardi yang buru-buru berdiri dan menahan gerakan Jimmy.
Aqila segera berdiri kemudian menggeleng kuat kepalanya menolak keinginan sang majikan untuk bersujud di kakinya. Hal yang tentu saja tidak boleh dilakukan oleh orang yang lebih tua pada anak yang lebih muda.
"Jangan seperti itu, Pak. Tolong." Jantung Aqila berdebar kencang menghadapi situasi seperti ini. Gadis itu kemudian meremas tangannya gugup membuat Mirna tak tega dan segera menenangkan sang keponakan.
"Qila, Bu Hilda dan Pak Jimmy adalah orang baik. Putra mereka pun adalah pria yang baik. Bibi bisa memastikan itu." Mirna mengusap pelan punggung keponakannya. "Kamu bisa menerima permintaan Bu Hilda dan mempertimbangkan kebaikan beliau. Tapi, jika seandainya hati kamu menolaknya, langsung katakan dengan tegas."
"Iya, Qila. Paman juga berharap kamu bisa mengabulkan permintaan Bu Hilda. Bukan Paman ingin kamu menikah dengan orang kaya, tapi, pertimbangkan juga kebaikan Bu Hilda selama ini pada kita." Mardi menatap keponakannya itu. "Bu Hilda dan pak Jimmy adalah orang baik. Begitupun juga anaknya. Kamu tidak perlu takut. Tapi, kalau memang kamu menolak, paman dan bibi tidak masalah. Semua keputusan ada di kamu."
Aqila terdiam dengan pikirannya sendiri. Memikirkan keputusan apa yang akan diambil untuk masa depannya. Namun, jika ini adalah keinginan Bu Hilda sendiri, Aqila juga tidak kuasa untuk menolaknya.
Gadis itu hanya mengangguk dua kali sebagai tanggapannya.
"Maksud anggukan itu apa?" Jimmy bertanya seraya menatap Aqila tak mengerti.
"Aku mau, Pak."
"Alhamdulillah." Jimmy mengucapkan rasa syukur karena Aqila mau menerima permintaan sang istri sehingga Jimmy bisa kembali ke rumah sakit dengan perasaan riang membawa kabar bahagia untuk sang istri tercinta.
"Maafkan paman dan bibi, ya, Qila karena terkesan memaksa kamu tadi." Mardi mendekat ke arah Aqila dengan tatapan menyesal karena mengucapkan kata-kata seperti tadi. "Kondisi Bu Hilda sekarang sedang naik turun. Kalau seandainya kamu menolak, paman dan bibi takut itu akan memperparah kondisi beliau. Kamu paham 'kan maksud paman?"
Aqila mengangguk dua kali dan menjawab, "iya, Paman. Aku mengerti."