Panglima Guardian

1649 Kata
Jumat (15.16), 28 Mei 2021 --------------------- Beberapa makhluk dari Immorland masih memperhatikan langit malam yang mendadak berubah lebih pekat daripada biasanya. Sesekali tampak kilat merah menyambar, membuat langit tampak akan terbelah. Suasana mencekam ini sudah terjadi sejak siang tadi. Langit yang sebelumnya cerah mendadak berubah hitam seolah mendung tengah menggantung. Keadaan itu terus bertahan hingga kini, membuat para makhluk yang disebut-sebut jauh lebih kuat dari manusia itu merasa ketakutan. Di kerajaan Ackerly pun tak jauh beda. Semua orang diliputi perasaan ngeri. Dalam hati bertanya-tanya apa yang tengah terjadi. Sebagian besar malah tak berani keluar istana, memilih hanya mengintip keadaan di luar. Kevlar Kaiven—makhluk dari kaum guardian yang menguasai kerajaan Ackerly saat ini—juga melakukan hal yang sama. Dia tengah menatap langit dari balkon istana, didampingi empat panglima guardian andalannya. “Dia sudah kembali.” Gumaman Kevlar membuat keempat panglimanya mengerutkan kening. “Siapa yang Anda maksud, Yang Mulia?” tanya Rigel, salah satu panglimanya yang sangat menyukai pistol, alih-alih menggunakan pedang seperti panglima yang lain. Ya, di zaman modern seperti sekarang, di Immorland pun mengikuti perubahan yang dibuat manusia. Mulai dari pakaian hingga alat-alat yang dibutuhkan sehari-hari. Kecuali bangunan istana yang masih mempertahankan keasliannya. Jadi tidak heran jika menemukan banyak kendaraan seperti di dunia manusia. Walau makhluk Immorland memiliki kekuatan, namun teknologi yang dibuat manusia bisa membantu meringankan kegiatan mereka sehari-hari. “Kingsley. Makhluk hasil percobaan yang dulu berusaha dibunuh para penduduk Immorland. Dia sudah kembali.” Lagi-lagi keempat panglima itu hanya terdiam dengan perasaan bingung. Mereka sama sekali tidak mengerti siapa yang dimaksud raja mereka. Seolah mengerti mengapa keempat panglimanya terdiam, Kevlar melanjutkan. “Tidak heran kalian merasa asing dengan nama itu. Dia sudah cukup lama tertidur. Jauh sebelum kalian lahir.” Memang jika dibandingkan usia Kevlar, keempat panglima itu termasuk masih sangat muda. Usia mereka mungkin tidak sampai seperempat usia Kevlar. Kevlar dikenal sebagai salah satu tetua yang berhasil menegakkan kedamaian di Immorland setelah perang besar terjadi. Tidak heran usia Kevlar bisa sangat panjang mengingat bangsa guardian saat ini merupakan bangsa dengan usia terpanjang meski tidak abadi. “Yang Mulia, Anda tadi bilang ‘percobaan’. Apa maksudnya?” Eoghan—panglima guardian dengan tato sayap malaikat di salah satu sisi lehernya—bertanya penasaran. Tampak kilat merah kembali menyambar di langit, membuat suasana menjadi gelap terang selama beberapa saat. “Di dalam tubuhnya mengalir darah seluruh makhluk Immorland, bahkan juga manusia. Ayahnya adalah seorang malaikat gila yang terobsesi pada kekuatan. Menurut cerita, ibunya yang seorang manusia diharuskan meminum darah dari seluruh makhluk selama kehamilan. Begitu perbuatan malaikat gila itu diketahui, kaum malaikat berbondong-bondong turun dari kerajaan mereka untuk mencari keberadaannya. Begitu ketemu, dia langsung mendapat hukuman pancung.” Kevlar terdiam, berusaha mengingat. Dia tidak melihat langsung kejadian yang pernah ramai dibicarakan itu. Selain usianya masih terlalu muda, pada masa itu kaum nephilim tidak berani menampakkan diri terutama di depan kaum malaikat yang dianggap sebagai penguasa. “Lalu Kingsley dan ibunya, apa yang terjadi pada mereka?” kali ini Theo yang bertanya. Dia adalah panglima guardian dengan rambut jabrik berwarna perak. “Mereka berhasil melarikan diri dan bersembunyi dalam waktu lama. Sepertinya sang malaikat gila berhasil menciptakan pelindung yang menyembunyikan keberadaan istri dan putranya. Tapi saat menginjak usia remaja, Kingsley lepas kendali dan membunuh ibunya sendiri.” Keempat panglima di belakang Kevlar terbelalak. Bahkan Tristan juga, panglima yang dikenal paling kuat dan paling tampan di antara mereka dengan rambut lurus hitam panjang hingga pinggang. Tristan juga cenderung pendiam, namun menyimpan sifat keji dalam dirinya. Dia bisa sangat mengerikan ketika melaksanakan tugas kaum guardian, yaitu memastikan seluruh makhluk di Immorland mengikuti aturan. “Kenapa dia melakukan itu?” Theo kembali bertanya, tak bisa menyembunyikan kengerian dalam suaranya. “Tidak ada yang tahu alasannya. Yang jelas, kematian ibu Kingsley membuat keberadaannya terungkap. Kaum malaikat kembali turun tangan dengan dibantu orang-orang kuat dari bangsa lain. Namun kekuatan dalam diri Kingsley begitu besar nan mengerikan. Dalam sekejap, dia berhasil membantai orang-orang yang hendak menangkapnya.” “Dan saat itu dia masih remaja,” gumam Eoghan dengan nada tak percaya. “Ya, masih remaja. Namun sudah puluhan nyawa melayang di tangannya,” Kevlar membenarkan. “Lalu bagaimana?” lagi-lagi Theo bertanya. “Apakah ada yang berhasil membunuhnya? Tapi, kenapa Anda tadi bilang dia telah kembali?” “Tidak ada yang bisa membunuhnya. Lalu beberapa tahun kemudian dia memperkosa ratu bangsa dryad dan menyerap kekuatan abadi yang dimiliki sang ratu, membuatnya semakin mustahil dibunuh. Akhirnya secara diam-diam seluruh kaum di Immorland bersekutu, termasuk ratu bangsa dryad yang saat itu telah dijadikan istri secara paksa oleh Kingsley. Dan akhirnya, mereka mengetahui saat Kingsley berada di titik lemah lalu berhasil membuatnya tertidur.” “Tapi sekarang dia terbangun,” gumam Rigel. “Itu artinya ada seseorang yang tanpa sengaja membangunkannya. Mungkin ini kesialan bagi kita yang hidup di masa ini. Tapi juga keuntungan karena menurut cerita yang sudah lama berkembang, kali ini Kingsley bisa dibunuh.” “Bagaimana caranya?” desak Eoghan penasaran. Mata Kevlar berkilat dengan tatapan masih mengarah ke langit gelap. “Dengan cara membunuh orang yang telah membangunkannya.” *** Queenza masih mematung di dekat pintu depan kediaman Bibi Marlene. Kebingungan tampak jelas di raut wajahnya. “Queenza, ada apa, Nak? Kau baik-baik saja? Kenapa kau terlihat pucat.” Wanita paruh baya yang masih tampak sangat cantik itu mendekat lalu memegang lembut lengan Queenza. “Eh, itu—aku sedikit demam tadi siang. Makanya tidak bisa datang dan tidak bisa menghubungi Bibi.” Queenza berusaha menampilkan raut menyesal meski dalam hati masih diliputi perasaan bingung mengapa dirinya bisa langsung tiba di rumah sang Bibi begitu membuka pintu depan rumahnya sendiri. Mati-matian Queenza menahan diri agar tidak membuka pintu di belakangnya untuk memastikan apa rumahnya mendadak pindah tempat. “Oh, Sayang. Seharusnya kau biarkan Bibi yang datang ke sana.” Bibi Marlene memeluk Queenza sekilas lalu segera melepasnya kembali saat teringat sesuatu. “Sebenarnya Bibi memang ke rumahmu karena kau tidak kunjung datang. Tapi—” kening Bibi Marlene berkerut bingung. “entah kenapa Bibi tidak bisa menemukan rumahmu. Rasanya kami hanya berputar-putar saja.” “Benarkah?” Apa itu perbuatan Kingsley? “Apa Bibi pergi sendirian?” “Bersama Pamanmu. Dia juga sama bingungnya dengan Bibi.” Bibi Marlene sedikit menarik lengan Queenza agar mengikutinya. “Sebaiknya kita berbincang di dalam. Kebetulan Bibi hendak makan malam. Beruntung kau segera datang. Jadi Bibi tidak akan makan malam sendirian.” Queenza bersyukur sang Bibi membahas hal lain. Dia tidak tahu harus menanggapi seperti apa mengenai sang Bibi yang tidak bisa menemukan rumahnya. “Memangnya Paman Paul ke mana?” “Dia harus mengantar pesanan, jadi sudah harus berangkat sebelum makan malam siap. Mungkin larut malam baru akan tiba di sini.” Bibi Marlene menjelaskan seraya menghela Queenza duduk di salah satu kursi meja makan lalu dia duduk di sebelahnya. Bibi Marlene dan suaminya, Paman Paul, bekerja menerima pesanan kue-kue. Tak jarang juga Paman Paul harus mengantar kue malam-malam seperti sekarang dan biasanya dia akan menerima bayaran tiga kali lebih besar dari siang hari sebagai ongkos kirim. “Mendapat pembeli yang banyak maunya lagi, ya?” “Tidak juga. Dia pelanggan tetap. Memesan terlalu sore dan ingin kuenya diantar dalam keadaan hangat.” Bibi Marlene angkat bahu seraya menghidangkan nasi di piring Queenza. “Yah, meski Bibi ragu apa kuenya masih hangat begitu tiba di rumahnya. Cuaca sekarang lumayan dingin.” “Kasihan Paman Paul harus keluar di malam yang dingin seperti ini.” Bibi Marlene mengibaskan tangan. “Tidak perlu kasihan. Dia memang suka keluyuran, tidak peduli meski di luar sedang terjadi badai. Kadang Bibi curiga dia punya wanita lain di luar sana.” Queenza tidak tahu apa Bibinya sedang serius atau bercanda. Nada suaranya terdengar lelah namun raut ada sinar jahil dalam matanya. Akhirnya Queenza hanya bisa memegang lembut tangan sang Bibi yang berada di atas meja. “Jangan bicara seperti itu. Paman Paul sangat mencintai Bibi,” sahut Queenza yakin. Bibi Marlene tersenyum geli seraya menepuk pelan punggung tangan Queenza. “Bibi hanya bercanda.” Queenza merengut. “Aku pikir Bibi serius.” Lalu dia balas tersenyum sebelum menunduk memperhatikan nasi di piringnya dan lauk serta sayur di atas meja. Entah mengapa dia sama sekali tidak merasa lapar. Padahal Queenza ingat belum makan sejak siang. Dan makanan lezat di hadapannya sama sekali tidak menggugah selera. “Kenapa diam? Ayo, makan!” “Ah, iya.” Queenza menyendok lauk dan sayur ke piringnya lalu mulai makan. Tidak ada yang aneh. Masakan Bibi Marlene enak seperti biasa. Tak sadar, Queenza telah menghabiskan sepiring nasi. “Ayo, tambah lagi.” “Tidak, Bibi. Aku sudah kenyang.” Queenza tersenyum meyakinkan meski sebenarnya dia tidak merasa kenyang ataupun lapar. Rasanya makanan itu tidak menimbulkan efek apapun pada dirinya. “Kalau begitu, ayo pindah ke balkon di lantai dua. Biar Jetta yang membereskan semua ini.” Jetta adalah pembantu yang tinggal menetap di kediaman Bibi Marlene sejak suami dan anaknya meninggal dalam sebuah kecelakaan. Queenza mengangguk lalu mengikuti langkah sang Bibi menuju lantai dua. “Kejadian tadi siang masih membuat Bibi bingung,” Bibi Marlene kembali mengungkit pembicaraan yang ingin dihindari Queenza seraya duduk di sofa panjang yang menghadap keluar jendela balkon yang dibiarkan terbuka. “Mungkin Bibi salah alamat.” “Bibi belum sepikun itu sampai lupa alamat rumahmu,” gerutu Bibi Marlene. Queenza terkekeh. “Sudahlah, Bibi. Lupakan saja. Yang penting aku sudah ada di depan Bibi, tampak sehat seperti biasa.” “Rasanya Bibi tidak bisa melupakan hal itu.” Bibi Marlene mendesah. “Tapi ya, baiklah. Kalau begitu, ceritakan tentang kepergian diam-diammu.” Queenza merengut. Otaknya memutar mencari alasan agar sang Bibi tidak bertanya lebih jauh. “Aku sudah bilang hanya ingin menyendiri. Dan aku tidak mau membahasnya.” Lagi-lagi Bibi Marlene mendesah. “Kalau kau tidak mau menceritakannya, Bibi tidak bisa memaksamu.” Akhirnya pembicaraan mereka berubah hanya seputar hal-hal umum yang membuat Queenza merasa lega karena tidak harus berbohong lebih jauh lagi. --------------------- ♥ Aya Emily ♥
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN