Kaisar Tampan

1583 Kata
Jumat (15.08), 28 Mei 2021 --------------------- Dengan napas putus-putus, Kingsley membaringkan tubuh Queenza di ranjang. Dadanya begitu sakit seolah jantungnya ditarik perlahan. Rasa sakit fisik yang tidak pernah Kingsley rasakan seumur hidup. Jujur, Kingsley tidak tahu harus melakukan apa untuk menyelamatkan mereka berdua. Lalu dia ingat bahwa darah Queenza bisa menyembuhkan luka fisik. Tapi, bagaimana dengan gadis itu sendiri? Dia tidak bisa menyembuhkan diri sendiri. Kalau dulu, luka-luka fisik yang dialami Queenza bisa sembuh setelah mereka b******a. Tapi mereka tidak mungkin b******a sekarang, dalam kondisi tubuh Kingsley yang belum sempurna. Mendadak sesuatu melintas di benak Kingsley. Kalau dirinya bisa sembuh dengan meminum darah Queenza, akankah Queenza juga sembuh dengan meminum darahnya? Ide itu tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Bahkan dulu pun mereka tidak pernah melakukannya. Karena itu, Kingsley tidak tahu cara ini bisa berhasil atau tidak. Tapi tidak ada salahnya dicoba, kan? Sama seperti yang dia lakukan untuk masuk ke alam banshee tadi. Memaksakan tubuhnya yang mulai lemas bergerak, Kingsley menunduk di atas perut Queenza lalu menghisap darah gadis itu dengan rakus. Selanjutnya dia menggigit lidahnya sendiri, menunggu sebentar hingga darah terkumpul, lalu mengarahkan mulutnya ke mulut Queenza. *** Queenza tidak pernah merasa sesegar ini saat baru terjaga dari tidurnya. Seolah tubuhnya dipenuhi energi yang membuatnya merasa ringan dan bersemangat. Perlahan dia menggeliat, lalu mengubah posisi berbaringnya menjadi duduk. Kening Queenza berkerut bingung. Dia tidak ingat kapan naik ke ranjang lalu tidur. Ingatan terakhirnya adalah saat dia berjalan hendak menuju rumah Bibi Marlene. Tapi dalam perjalanan tiba-tiba lima lelaki— Refleks Queenza terkesiap seraya menutup mulut dengan kedua tangan. Tubuhnya mendadak menggigil saat memorinya memutar kejadian itu. Terutama ketika tangan salah satu makhluk itu menusuk perutnya dari belakang. “Kau baik-baik saja?” Suara yang familiar itu membuat Queenza buru-buru menoleh hendak mengadu. “Kingsley! Ada orang—” Seketika Queenza tertegun melihat sesosok pria sangat tampan duduk di ranjang di sebelahnya. Tanpa sadar, Queenza mundur menjauh. Ketampanan pria itu membuatnya takut. Dia yakin pria di depannya bukanlah manusia. Matanya berwarna biru langit dan menyorot tajam. Alisnya tampak membentuk garis lurus yang tegas. Hidungnya ramping seperti kayu yang dipahat. Bibirnya melengkung bagai ombak. Lebih tebal di bagian bawah, membuatnya terlihat sangat seksi dan mengundang. Bahkan telinganya yang tampak tidak biasa—sedikit meruncing di bagian atasnya—sama sekali tidak mengurangi kesempurnaan wajah itu. Malah membuatnya terlihat semakin menarik. Salah satu alis hitam pria itu terangkat melihat reaksi Queenza. “Kau takut padaku?” Ada nada geli dalam suara lelaki itu yang membuat Queenza kian takut. Bukankah psikopat cenderung senang calon korbannya ketakutan? Apalagi Queenza semakin jelas merasakan aura gelap yang menyelubungi lelaki itu. “Siapa kau? Apa kau salah satu makhluk yang menginginkan darahku?” Queenza berhasil membuat suaranya terdengar tegas dan tidak bergetar. Bibir seksi itu membentuk senyum tertahan yang membuat wajah bak bangsawannya terlihat lebih ramah. “Apa kubilang. Aku sangat tampan. Sekarang kau mengakuinya, kan?” nadanya terdengar sombong. Selama beberapa saat, Queenza hanya terus memandangi lelaki itu. Perlahan tatapannya beralih dari wajah yang bisa membuat wanita hamil langsung melahirkan. Baiklah, dirinya berlebihan. Tapi yang jelas, Queenza ingat betul pakaian yang dikenakan lelaki itu adalah pakaian yang dibelikan Queenza untuk Kingsley. “King—Kingsley?” tanya Queenza ragu. Kali ini lelaki itu tersenyum lebar. Menampakkan gigi-gigi putih yang terawat. “Ya, siapa lagi?” “Kau operasi plastik?” mata Queenza melebar. “Tentu saja tidak. Bahkan dokter terhebat pun tidak akan bisa menciptakan wajah sempurna seperti wajahku.” Lelaki itu nyengir. Mata Queenza menyipit curiga. “Kau tidak mungkin Kingsley.” Lagi-lagi, salah satu alis lelaki itu terangkat. Membuatnya tampak lebih memikat. “Kenapa tidak?” “Kingsley tidak mungkin mengerti operasi plastik atau dokter. Dia pasti akan bertanya.” Mata lelaki yang mengaku Kingsley itu berkilat geli. Warna birunya jadi lebih cerah. “Ya, aku juga tidak menyangka. Seharusnya kita b******a dulu, baru bisa bertukar kenangan. Tapi ternyata kita bisa melakukannya hanya dengan bertukar darah. Bahkan kau yang terluka parah bisa sembuh dengan cara itu. Ini semua di luar pengetahuanku,” Kingsley angkat bahu. “Jadi—kau benar-benar Kingsley?” Dia mengangguk pelan. “Astaga, ini gawat!” seru Queenza, mendadak turun dari ranjang lalu berjalan mondar-mandir. Kening Kingsley berkerut bingung. “Apanya yang gawat? Bukankah bagus tubuhku kembali utuh? Kau tidak perlu khawatir akan ada orang-orang yang menangkapku untuk dijadikan bahan penelitian.” “Itu dia masalahnya. Kau—” Queenza berhenti seraya menunjuk wajah Kingsley. “Kau terlalu tampan untuk jadi manusia.” Kingsley berdehem seraya menegakkan punggung dengan sikap bangga. “Dari awal aku sudah bilang. Aku sangat tampan.” “Pokoknya aku tidak mau terlihat jalan bersamamu.” “Kenapa?” tanya Kingsley bingung. “Aku tidak mau jadi pusat perhatian juga,” Queenza mendesah. Kingsley ternganga. “Saat aku jelek kau tidak mau jalan bersamaku. Saat tampan kau tetap tidak mau jalan bersamaku. Jadi kau ingin aku seperti apa?!” Queenza tersentak mendengar nada membentak Kingsley. Tapi beberapa saat kemudian, dia tertawa geli. “Kenapa malah tertawa? Bilang saja kalau kau tidak mau terlihat bersamaku tidak peduli aku tampan atau jelek,” nadanya terdengar merajuk. “Lucu saja. Akhirnya kau mengakui bahwa sebelumnya wajahmu jelek,” Queenza tertawa lebih keras. “Sama sekali tidak lucu.” Kingsley turun dari ranjang lalu bergegas keluar kamar. Tawa Queenza berhenti. Dia meringis menatap pintu kamar yang tertutup. “Apa dia benar-benar marah hanya karena aku tidak mau terlihat bersamanya?” Tak bisa dipungkiri, ada perasaan senang di hati Queenza. Bagaimana tidak? Lelaki tampan itu merajuk karena hal itu. Bukankah harusnya dia yang tidak mau terlihat jalan bersama wanita biasa seperti Queenza? Dasar aneh! Meski dia sudah memiliki kenangan Queenza yang bisa membuatnya beradaptasi lebih mudah dengan dunia modern, dia tetap saja aneh. Hah?! Mata Queenza melebar saat dirinya menyadari sesuatu yang sebelumnya ia lewatkan. Kingsley memiliki kenangan Queenza! Kenangan yang mana? Apa dia juga tahu bahwa Queenza dulu pernah membayangkan menikah dengan salah satu aktor tampan pujaannya? Queenza bahkan membayangkan dirinya yang dicium aktor itu saat menonton salah satu filmnya. Seketika wajah Queenza merah padam karena malu. Otaknya berputar cepat, mengingat-ingat apa dia pernah memikirkan sesuatu yang lebih parah dari sekedar ciuman. Astaga! Ini benar-benar memalukan. Queenza berniat segera keluar kamar untuk bertanya pada Kingsley. Tapi perhatiannya terpaku pada jendela kamar yang terbuka. Seketika matanya terbelalak kaget melihat di luar sudah gelap. “Bibi Marlene,” gumam Queenza seraya menyambar jaket dari gantungan baju lalu bergegas keluar kamar. “Kingsley!” seru Queenza seraya bergegas menuju dapur. Tiba di dapur, dia membuka kulkas lalu mengambil botol air mineral yang langsung diteguknya tanpa menggunakan gelas. “Kenapa mencariku?” Queenza memekik kaget hingga terbatuk-batuk. Dia sama sekali tidak menyadari bahwa Kingsley sedang duduk di kursi meja makan sambil menyantap anggur. “Sejak kapan kau di situ?” “Aku sudah di sini sebelum kau keluar kamar sambil teriak-teriak.” Queenza meringis seraya meletakkan kembali botol air ke dalam kulkas. Dia bisa mendengar jelas nada merajuk dalam suara Kingsley. Rupanya lelaki itu belum melupakan pembicaraan mereka tadi. “Dengar, aku harus ke rumah Bibi Marlene. Dia pasti bingung dan khawatir karena aku tidak datang siang tadi.” “Lalu?” “Hah?” tanya Queenza tidak mengerti. “Lalu kenapa kau memberitahu hal itu padaku? Kalau mau pergi, pergi saja.” Kingsley mengibaskan tangan tanda mengusir lalu kembali menikmati anggurnya. Astaga! Dia kalau merajuk benar-benar seperti anak kecil. “Yah, aku hanya berpamitan. Agar kau tidak bingung mencariku.” “Untuk apa aku mencarimu?” terdengar nada mengejek dari pertanyaan itu. Queenza berdecak. “Ya, sudah. Aku pergi saja.” Sebelum Queenza keluar dari dapur, Kingsley bertanya, “Kau tetap tidak mau kutemani setelah kejadian tadi siang?” Queenza tertegun. “Iya, kau benar. Aku tidak bisa pergi sendiri. Apalagi sekarang sudah malam.” Kingsley menahan senyum. Akhirnya mau tidak mau Queenza akan tetap jalan bersamanya. “Kalau begitu, bisakah kau menemaniku ke rumah Bibi Marlene? Tapi tolong jaga jarak beberapa meter di belakangku.” Wajah Queenza tampak penuh harap. Senyum Kingsley langsung lenyap. “Jangan bicara lagi denganku.” Segera dia berdiri lalu berderap menuju kamar Queenza. BRAKK! Queenza tersentak kaget mendengar suara pintu yang ditutup keras. Sepertinya perubahan yang dialami Kingsley bukan hanya terjadi pada tubuhnya. Selain menyerap kenangan Queenza, tampaknya Kingsley juga berubah seperti anak kecil yang gampang merajuk. Atau memang seperti itukah sifat aslinya? Tidak mau terlalu lama memikirkan tingkah kekanakan Kingsley, Queenza bergegas menuju pintu depan. Namun langkahnya terhenti kurang dari tiga meter dari pintu. Mendadak perasaan takut melingkupi dirinya. Bagaimana jika ada yang menyerangnya lagi? Akankah kali ini Kingsley bisa menyelamatkan dirinya tepat waktu lagi? Ah, iya. Yang tadi siang saja Queenza belum tahu bagaimana cara Kingsley menyelamatkannya. Dia pasti akan bertanya nanti. Tapi sekarang yang paling penting menemui Bibi Marlene. Seraya menghela napas sejenak, Queenza meyakinkan diri. Tidak akan ada yang terjadi. Dirinya pasti tiba di rumah Bibi Marlene dengan selamat. Mungkin mereka akan berbincang sejenak ditemani kue dan teh hangat. Lalu Queenza akan berpamitan pulang. Mungkin menginap jika sudah terlalu malam. Ya, sesederhana itu. Tidak akan ada hal buruk yang terjadi. Dengan penuh tekad, Queenza kembali bergegas. Dia segera membuka pintu depan lalu menutupnya lagi. Kakinya sudah siap bergerak cepat melintasi jalanan beraspal di depan rumahnya. Namun tubuhnya membeku dengan tatapan bingung ke arah sekelilingnya. “Queenza, kaukah itu?” suara Bibi Marlene terdengar mendekat. “Astaga, akhirnya kau datang juga. Bibi sudah cemas menunggumu sejak siang.” Queenza melongo dengan tatapan mengarah pada wajah khawatir sang Bibi. Apa yang sebenarnya terjadi? -------------------- ♥ Aya Emily ♥
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN