Semakin banyak teka-teki...

1917 Kata
Jumat (15.39), 28 Mei 2021 ---------------------- Dengan ragu sekaligus penasaran, Queenza mengambil kain dengan bercak merah—yang tampak jelas seperti darah—dari keranjang sampah di belakang rumah. Kain itu sudah tak berbentuk hingga sulit dikenali. Namun Queenza yakin bahwa itu adalah pakaiannya. Bukankah ini baju yang ia kenakan saat diserang makhluk mengerikan dalam perjalanan ke rumah Bibi Marlene? Refleks Queenza melempar baju itu kembali ke keranjang sampah. Bulu kuduknya langsung meremang, teringat rasa sakit dan ngeri saat tangan makhluk itu menembus perutnya dari belakang. “Ternyata baunya dari sini. Aku lupa belum membakarnya.” Queenza tersentak kaget mendapati Kingsley sudah berdiri di sampingnya. Tatapan lelaki itu lurus ke arah keranjang, tepatnya pada baju Queenza yang telah koyak dan berlumuran darah kering. Perlahan baju itu mengkerut, seperti plastik yang terkena panas. Terus mengkerut hingga akhirnya hanya tersisa gumpalan hitam sekepalan tangan balita. “Wow, itu hebat sekali,” gumam Queenza takjub. “Tentu saja,” sahut Kingsley dengan nada bangga. “Jangan lupa bahwa aku adalah seorang Kaisar.” “Tapi kenapa hanya baju koyak itu? Kenapa tidak semua sampahnya juga kau bakar?” Queenza menunjuk keranjang sampah yang penuh. “Kalau aku semua yang melakukannya, lalu kerjaanmu apa?” Kingsley balik tanya dengan tak acuh lalu menghilang dari samping Queenza. “Hah, apa?” Queenza berjalan sambil mengentakkan kaki saat bergegas masuk rumah mencari Kingsley. “Enak sekali kau bertanya begitu padahal aku yang mengerjakan semua di rumah ini sementara kau hanya bersantai.” Mendadak langkah Queenza membeku saat dirinya baru mencapai ruang tengah karena teringat sesuatu. Lalu dia mempercepat langkah menghampiri Kingsley yang sedang duduk nyaman di sofa depan tv-nya yang masih rusak akibat ulah lelaki itu. “Kingsley, siapa yang mengganti pakaianku saat aku terluka?” tanya Queenza begitu duduk di samping Kingsley. Kingsley angkat bahu dan dengan raut polos berkata, “Tidak tahu.” “Apanya yang tidak tahu?” Queenza memukul kesal lengan Kingsley. “Hanya kau yang ada di rumah ini.” “Kalau begitu kenapa masih bertanya?” “Jadi—jadi kau sudah melihat tubuhku?” Queenza bergeser mundur menjauhi Kingsley seraya menyilangkan kedua tangan di depan d**a. Kingsley berdecak malas. “Dulu aku juga sudah sering melihat tubuh telanjangmu. Lagipula tidak ada yang bisa dilihat dari tubuh remajamu yang masih rata itu.” “Dasar Kaisar m***m,” geram Queenza. Ingin rasanya dia mengamuk dan mengumpati Kingsley namun menahan diri karena itu akan membuatnya semakin malu. Lalu perhatian Queenza mengarah pada rambut panjang Kingsley yang tergerai hingga punggung. “Kau harus memotong rambutmu!” Kingsley melotot. “Jangan coba-coba mengusik rambutku!” “Memangnya kenapa? Apa itu kelemahanmu?” “Aku tidak punya kelemahan,” sahut Kingsley sombong. “Rambut panjang ini membuatku tampak lebih tampan, berwibawa, dan berkelas.” “Cih. Awas ada banci yang membuntutimu gara-gara rambut panjang itu.” Mendadak raut wajah Kingsley berubah serius. “Aku sudah memikirkannya. Wajah tampanku memang kadang menjadi musibah. Karena itu kuputuskan tidak akan lagi menampakkan diriku di depan manusia.” “Hah? Benarkah?” Queenza mendengus. “Kalau begitu silakan mengurung diri sendiri di dalam rumah ini. Sementara aku harus pergi sekolah.” Queenza hendak berdiri menuju kamar mandi namun urung karena teringat sesuatu. “Kemarin saat aku terluka, apa tidak ada yang datang ke sini? Bibiku bilang dia ke sini karena cemas tapi malah hanya berputar-putar di sekitar sini.” “Bibi? Yang kau panggil Bibi Marlene?” “Iya.” “Ternyata benar yang waktu itu kau temui adalah istri guardian.” “Apa maksudmu?” Kingsley tidak menanggapi. Dia terdiam karena teringat sesuatu. Dilarang menjalin hubungan asmara dengan manusia! Bukankah itu aturan keras yang dibuat oleh kaum guardian sendiri? Tapi kenapa mereka dengan seenaknya melanggar? Apakah para petarung dan petinggi guardian tidak tahu bahwa ada kaumnya yang melanggar aturan? Atau sebenarnya ada permainan licik dibalik kepemimpinan kaum guardian? “Hei, kenapa malah diam? Aku bertanya padamu.” Tatapan Kingsley yang semula termenung lurus ke depan, beralih menatap Queenza tajam hingga yang ditatap merasa risih. “Kenapa melihatku seperti itu?” Kalau benar istri guardian itu bibi Queenza, apakah pertemuannya dengan Queenza di kehidupan ini sudah direncanakan? Mata biru Kingsley perlahan berubah menjadi merah saat teringat kejadian kemarin dan perlahan menghubungkannya dengan informasi yang diketahuinya sekarang. Dari dulu dia tidak pernah menduga bahwa Queenza akan menjadi kekuatan sekaligus kelemahannya. Tapi entah bagaimana, hal itu terjadi sekarang dan sepertinya kaum guardian mengetahuinya dan sengaja menjadikan Queenza sebagai alat pembunuh Kingsley. Tapi, kenapa mereka ingin membunuh Kingsley padahal dirinya dalam kondisi tak berdaya karena tertidur? Apakah dirinya masih menjadi ancaman bahkan setelah ratusan, atau mungkin ribuan tahun tak menampakkan diri? “Kingsley, jangan membuatku takut,” ujar Queenza pelan dengan tatapan cemas mengarah pada mata merah Kingsley. Menyadari ketakutan Queenza, Kingsley mengalihkan pandangan. “Pergilah. Kau bilang ingin sekolah, kan?” Queenza tidak langsung menjawab. Dia masih menatap cemas ke arah Kingsley tapi kemudian bangkit berdiri. “Ya, aku harus sekolah. Tapi kau tidak berencana untuk menghancurkan rumahku, kan?” Kingsley kembali menatap Queenza. Kali ini matanya kembali berwarna biru langit. Bibirnya melengkung membentuk senyuman saat berkata, “Kalau begitu jangan pergi dan awasi aku.” Queenza mendengus kesal mendengar jawaban itu. Dia segera berbalik menuju kamar mandi tanpa menanggapi. *** Seperti hari-hari biasa, ruang kelas akan selalu riuh dengan celoteh para murid yang baru tiba di sekolah. Semua siswa tampak semangat menyambut hari baru, yang juga berarti cerita baru untuk mengisi kenangan masa sekolah mereka. Namun tidak seperti kelas lain yang penuh suka cita, beberapa siswa di kelas XI IPA 1 tampak murung. Salah satu teman mereka menghilang tanpa kabar, membuat mereka terus merasa cemas memikirkannya. “Apa menurut kalian Queenza sudah—” Jeffrey sengaja menggantung kalimatnya. “Sudah apa?” sergah Aila kesal. “Jangan bicara sembarangan, Jeff!” Belva melotot ke arah Jeffrey. Aila dan Belva adalah orang terdekat Queenza. Mereka bertiga sudah bersahabat sejak SMP. Dan kebetulan di kelas XI, mereka menjadi teman sekelas. “Yah, Jeffrey tidak salah sih,” Fara menimpali. “Aku juga sempat berpikir—hmmpp!” Sebelum Fara sempat menyelesaikan kalimatnya, Aila menyumpal mulut Fara dengan roti yang dipegangnya. “Queenza baik-baik saja. Dia akan masuk sekolah kembali setelah merasa siap.” Aila berkata pasti. “Ya, tapi tidak perlu sampai menyumpal mulutku seperti ini.” Fara berkata kesal sambil mengunyah. “Wah, pagi-pagi sudah bergosip,” gumam Rory yang baru datang. Setelah meletakkan tas di bangkunya, dia bergabung dengan keempat siswa itu. “Aku punya berita.” “Tadi mengejek kami bergosip. Tapi ternyata kau sendiri yang ingin bergosip,” sindir Belva. “Ini bukan gosip. Ini tentang Queenza.” “Hah?” “Queenza.” Rory tersenyum melihat antusiasme keempat temannya. “Kemarin aku bertemu dengannya.” “Serius?” Jeff bertanya penasaran. “Di mana?” desak Belva. “Queenza!” Belum sempat Rory menjawab pertanyaan teman-temannya, Fara berseru seraya menunjuk pintu. Refleks semua menoleh dan seketika ruang kelas riuh. Semua berkumpul menyambut Queenza dan saling berebut untuk bertanya. Queenza bukanlah murid yang menonjol. Selain namanya yang unik, dia sama seperti murid lainnya. Tapi menghilangnya Queenza secara misterius menarik perhatian teman-temannya. Otak mereka memikirkan alasan yang masuk akal hingga yang tidak masuk akal seperti Queenza diculik alien. BRAKK. “Berhenti, kalian semua!” Belva berseru kesal sambil menggebrak meja. Dia memang dikenal berwatak keras dan sulit menahan emosi. “Kalau kalian mengerubutinya seperti lalat begitu, yang ada Queenza malah jatuh pingsan.” Queenza meringis seraya memeluk lengan Belva. Dia segera menengahi sebelum terjadi keributan karena tampaknya beberapa temannya tidak suka dengan kalimat yang Belva lontarkan. “Ayo mengobrol sambil duduk. Tapi kalian harus bertanya bergantian agar aku bisa menjawabnya.” Queenza duduk di bangkunya sendiri sementara yang lain langsung memilih posisi ternyaman untuk mendengarkan. Pertanyaan pertama yang dilontarkan Jeffrey membuat Queenza mengatakan cerita yang telah dikarangnya. Tapi inti cerita itu sama seperti yang ia katakan kepada Bibi Marlene. Dia ingin menyendiri. Teman-temannya sedikit mengeluh karena Queenza tidak mau menceritakan lebih detail. Tapi keluhan itu langsung reda begitu bel masuk berbunyi. Semuanya segera pindah ke bangku masing-masing karena pelajaran pertama adalah matematika. Pak Hendri, guru matematika, terkenal selalu tepat waktu dan sangat disiplin. Dia tidak suka begitu tiba di kelas dan menemukan siswa yang belum duduk di bangkunya. Jika terjadi, Pak Hendri tidak akan segan-segan menyuruh siswa itu keluar dari kelasnya. Tak lama kemudian, Pak Hendri datang. Guru berperawakan tinggi kekar dengan kumis tebal itu sempat berhenti melangkah, tapi kemudian segera melanjutkan jalannya menuju meja guru. Tiba di sana, perhatiannya menyapu para siswa lalu berhenti pada Queenza. “Queenza?” tanyanya dengan mata menyipit. “Eh! Iya, Pak?” Pak Hendri tidak melanjutkan. Dia terus menatap tajam ke arah Queenza hingga yang ditatap merasa gelisah seraya menyikut Belva yang duduk di sampingnya. “Iya, Pak. Ini Queenza. Dia sudah selesai bertapa dan memutuskan kembali masuk sekolah.” Kalimat Belva disambut tawa teman-teman sekelasnya. Aila yang duduk tepat dibelakangnya mendorong kepala Belva sementara Queenza memelototi sahabatnya itu. “Sudah, tenang.” Pak Hendri mengisyaratkan agar muridnya diam lalu kembali menatap lurus ke arah Queenza. “Kalau begitu selamat datang kembali, Queenza. Dan jangan menghilang seperti itu lagi. Kau membuat banyak orang cemas.” “Iya, Pak,” sahut Queenza sambil menunduk malu. Rasa bersalah mencengkeram hatinya. “Sekarang kita lanjutkan pelajaran. Dan Queenza, jangan lupa untuk menyalin materi selama kau tidak masuk sekolah.” “Iya, Pak.” *** Selesai mengajar kelas XI IPA 1, Hendra bergegas menuju ruang kepala sekolah. Sejenak dia mengetuk, lalu segera masuk begitu dipersilakan. “Ada  apa, Pak Hendra?” tanya Jervis, sang kepala sekolah tanpa mengalihkan perhatian dari dokumen di mejanya. “Pak, sepertinya gadis yang dimaksud memang Queenza.” Kening Jervis berkerut saat mendongak menatap Hendra. “Queenza? Siswi kelas sebelas yang hilang itu?” “Iya, Pak. Dia sudah kembali. Dan bau darahnya terasa semakin tajam. Manis dan lezat. Saya hampir tidak bisa menahan diri untuk menerkamnya.” Jervis terbelalak. “Tapi dia manusia, kan?” Hendra mengangguk. “Aura dan aromanya memang manusia. Mungkin desas-desus itu benar. Darahnya memiliki khasiat yang sangat luar biasa. Bisa menyembuhkan dan memberi kekuatan.” “Kalau begitu aku harus mendapatkannya. Aku harus menyelamatkan putriku,” ujar Jervis berapi-api. “Kalau begitu saya akan mencari cara untuk menculiknya.” “Aku mengandalkanmu!” *** Kingsley berdecak malas mendengar pembicaraan dua orang dalam ruang kepala sekolah. Dia yang semula bersandar nyaman di dinding samping pintu masuk ruang kepala sekolah langsung menegakkan tubuh begitu obrolan terhenti. “Bangsa harpy yang merepotkan,” gumam Kingsley seraya menuju kelas Queenza kembali. Dia memang sengaja mengikuti Queenza setelah menyadari keberadaan gadis itu memang hendak dijadikan senjata untuk membunuhnya. Dan sesuai dugaan Kingsley, lagi-lagi Queenza berada dalam bahaya. Tapi dari pembicaraan yang ia dengar, tampaknya mereka tidak ada sangkut pautnya dengan bangsa guardian. Mereka ingin menculik Queenza dengan tujuan lain, bukan untuk membunuh Kingsley. Sungguh merepotkan. “Kemampuan membaca aura Queenza masih sangat lemah,” gumam Kingsley lagi sambil terus berjalan. Semakin tinggi tingkat kekuatan suatu kaum, semakin sulit pula mengendus keberadaannya melalui aura dan aromanya. Bahkan kaum malaikat bisa menyembunyikan aura dan aromanya hingga makhluk lain tidak dapat mengendus keberadaan mereka. Jadi tidak heran jika Kingsley dan kaum guardian juga bisa melakukan hal itu. Karena mereka sendiri adalah keturunan malaikat. Kingsley terus berjalan dengan santai. Tidak ada yang memperhatikannya meski penampilannya tampak mencolok dengan rambut panjang dan telinga agak runcing di bagian atasnya, serta ketampanannya yang tidak biasa. Bahkan Queenza sekalipun, tidak menyadari kehadiran Kingsley yang memperhatikannya di dekat pintu kelas. ------------------- ♥ Aya Emily ♥
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN