"Sejak kapan?" Tanya Denis, namun ia tidak menatap lawan bicaranya. Ia justru menatap keluar jendela tanpa menoleh ke arah Airin yang masih terbaring lemah. "Denis." Balas Airin pelan. Airin mengerjap perlahan, mencoba menahan sakit dan mual yang semakin membuatnya tidak berdaya. "Apa kamu memang sengaja melakukan semua ini?!" Denis berbalik menghadap Airin dengan raut wajah penuh emosi. Denis tidak memperdulikan kesehatan Airin, emosi benar-benar sudah menguasai dirinya. "Kamu benar-benar licik!" "Aku tidak mengerti. Maksudmu apa?" Airin justru merasa bingung dengan kehadiran Denis di ruang kerjanya dan langsung bersikap seperti itu padanya. "Tolong bicara perlahan," Pinta Airin karena hal terakhir yang mampu diingatnya yaitu ketika ia membaca undangan pernikahan Denis dan bicara