Episode 5

1604 Kata
"Ahh sial!" Setengah melempar sendok, Nadira menggeram kesal. "Kenapa, sayang?" Dini yang mengamati raut wajah Nadira yang tampak kesal. "Gak apa-apa, Bu. Sotonya asin!" Nadira berdalih. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan rasa soto yang ibunya beli, hanya saja otak Nadira masih terus terbayang-bayang dengan kejadian yang baru ia melihat beberapa menit yang lalu. Beruntunglah dia sampai di kamar sebelum Ibunya datang setelah membeli soto, jadi dia tidak perlu memberikan alasan mengapa ia keluar kamar. Bayangan Denis dan perawat Hani yang masih berputar-putar dalam benaknya, membuat Nadira bergidik ngeri. Meskipun begitu, jauh di dalam dirinya, di bagian inti tubuhnya justru dia merasakan suatu getaran aneh yang menjalar panas. Raut wajah keduanya yang saling berlomba mencari kepuasan, membuat jantung Nadira berpacu lebih cepat, dan keringat dingin yang mulai membasahi tubuhnya. Astaga! Bagaimanapun juga dia wanita normal. "Kamu demam lagi?" Dini menempelkan telapak tangannya di dahi Nadira, memeriksa suhu tubuhnya karena Nadira tampak berkeringat. "Tapi gak panas." Ucapnya lagi, sambil menarik kembali tangannya. "Mungkin gerah kali, Bu." Balas Nadira. Mata Dini melirik temperatur suhu pendinginan yang menempel di dinding, ia mengerutkan alisnya karena alasan Nadira tidak masuk akal sebab suhu ruangan sudah berada di angka paling rendah. "Kamu kepanasan?" "Tadi sih iya, sekarang nggak!" Dini akhirnya mengangguk. "Selesai makan, langsung istirahat ya." Tidak ada jawaban dari Nadira, karena ia langsung membaringkan tubuhnya begitu Dini membereskan semua peralatan makan. Lampu kamar sudah dimatikan, dengkuran halus terdengar samar pertanda orang tersebut sudah masuk kedalam dunia mimpinya. Namun tidak dengan Nadira, ia masih terjaga. Entah mengapa matanya sulit sekali terpejam dan rasa kantuk benar-benar hilang begitu saja. Lenguhan dan desahan Denis dan Hani, sungguh masih terekam jelas dalam ingatannya, "Astaga! Kenapa aku inget terus!" Nadira bangun dan memilih duduk, ia mengusap wajahnya beberapa kali mencoba menghapus semua penglihatan yang secara tidak sengaja melihatnya. Melirik ke arah Ibunya berada, dan ia sudah mendapati Dini tertidur dengan pulas. Nadira merasa bosan, karena ia tidak mungkin kembali menyalakan televisi karena bisa saja suara televisi membamgunkan ibunya hingga akhirnya ia memilih opsi lain yaitu mengambil ponsel selular miliknya. Ada beberapa notifikasi pesan dan panggilan masuk, salah satunya dari Lita dan juga Nindy. Mungkin Ibunya menceritakan keadaannya pada Nindy, saat dirinya tidak sadarkan diri sehingga kedua teman barunya itu mengirim banyak pesan, dan menanyakan kondisi dirinya saat ini. Meskipun waktu sudah menunjukan pukul dua belas lebih, Nadira mencoba membalas satu persatu pesan yang dikirimkan kedua temannya itu. Selang beberapa menit kemudian Nindy membalas pesannya, tidak lama Lita pun menyusul. Nadira kerepotan membalas setiap pesan yang dikirim keduanya, hingga akhirnya Nadira menjadikan mereka bertiga dalam satu grup, yang ia beri nama 'perempuan penyakitan'. Nadira tersenyum geli, ketika memberi nama untuk grupnya, bahkan Lita sempat protes karena menurutnya nama yang diberikan Nadira tidak bagus, dan meminta Nadira menggantinya dengan nama 'perempuan cantik' Namun Nadira tidak menuruti keinginan Lita dan mengabaikan protes darinya, sementara itu Nindy member termuda memilih setuju saja dan tidak memberikan protes apapun. Saling mengirim pesan dan celotehan konyol, membuat Nadira tersenyum geli. Ternyata kedua temannya itu benar-benar polos dan lugu, bahkan mereka berdua berjanji esok pagi mereka akan datang menjenguk Nadira dan membawa sekotak strobery buah kesukanan Nadira. Tanpa terasa mereka saling membalas pesan hingga pukul dua pagi, dan Nadira pun akhirnya terpejam dengan sendirinya dan bisa sedikit melupakan kejadian memalukan yang dilihatnya. Kedua temannya itu memang lugu, bahkan Nadira terkadang kesal dengan tingkah laku mereka yang menurut Nadira mereka aneh. Namun jauh didalam hatinya, kehadiran kedua temannya itu membuat hatinya sedikit menghangat, bahkan bibirnya tidak pernah berhenti tersenyum ketika ia membalas setiap pesan yang dikirim kedua temannya itu. Perasaan yang sudah sejak lama tidak pernah ia rasakan, perlahan kini mulai kembali mengisi salah satu sudut hatinya. Bahkan Nadira terlelap sambil memeluk ponselnya, Matahari mulai menunjukan sinarnya, cahaya terang yang mulai menerangi seisi bumi, memberi pertanda pagi telah tiba dan sudah saatnya seluruh penghuni bumi untuk kembali beraktifitas seperti biasa. "Sayang, bangun. Udah siang, jalan-jalan yuk," ajak Dini, menyingkap selimut yang masih menutupi separuh wajah Nadira. "Masih pagi, Bu. Aku masih ngantuk." Rengek Nadira, kembali menarik selimut. "Udara pagi bagus untuk kesehatan. Keliling taman sebentar, nanti kamu boleh istirahat lagi." Kembali Dini membuka selimut, hingga tidak lagi menutupi tubuh Nadira. Jangankan tersenyum bersemangat pun tidak, bahkan semenjak keluar dari kamar Nadira menekuk wajahnya, kesal. Karena Dini memaksanya untuk keluar menikmati udara pagi. Nadira menolak menggunakan kursi roda dan memilih berjalan, di iringi sang Ibu yang memegangi tiang infus. "Duduk disini dulu ya, Ibu mau beli sarapan sebentar. Kamu mau apa?" Tanya Dini setelah ia menyuruh Nadira duduk di salah satu bangku, yang berada di tengah-tengah sebuah taman kecil yang dikelola pihak Rumah sakit. Nadira tidak menjawab, ia hanya bergumam sambil memandangi beberapa binatang kecil yang mulai berterbangan mengelilingi sekuntum bunga mawar putih yang sudah tampak layu. Dini tau, putrinya tidak pernah suka setiap kali ia mengajaknya berjalan-jalan pagi seperti ini, karena sejujurnya Nadira tidak menyukai keramaian. Menurut Nadira ia seperti dipajang, dan seolah memberi tahu semua orang jika dirinya memang benar-benar sakit. Mata Nadira menjelajah setiap tempat, membuat Nadira tersenyum getir karena tanpa ia sadari semua orang yang berada di taman sama seperti dirinya. Sakit. Seharusnya ia tidak merasa sendiri karena kenyataannya banyak sekali orang yang bernasib sama seperti dirinya, namun jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, ada lubang besar yang masih terbuka lebar dan sakit setiap kali mengingatnya. Bahkan rasa sakit itu masih terasa, mencekik dan mencabik-cabik hatinya. Ia masih butuh waktu, meskipun tidak pernah sekalipun ia dan keluarganya membahas kejadian satu tahun lalu, tetap saja tidak mengurangi rasa sakit yang masih ia rasakan. Bahkan tanpa seringkali ia masih menangis dalam diam, menangis tanpa ingin siapapun melihat. Samar-samar dari kejauhan tampak seorang lelaki berjalan gontai, penampilannya sudah tidak serapi biasanya, bahkan beberapa kali ia menguap dan mengucek matanya bergantian. Nadira bergegas segera menghindari pertemuannya. Nadira merasa canggung jika ia harus kembali bertemu dengannya, namun baru saja ia berdiri lelaki itu sudah menyadari kehadiran Nadira. Tatapan tajamnya terasa menembus kepala Nadira. Seharusnya ia tidak perlu merasa bersalah karena Nadira tidak sengaja melihatnya, namun tatapan Denis seolah mengintimidasinya, membuat Nadira canggung bahkan ia merasa dirinyalah yang bersalah. Denis mempercepat langkah kakinya, hanya dalam waktu beberapa detik saja tubuh tingginya sudah berdiri persis di hadapan Nadira. "Apa sekarang hobimu menjadi penguntit?" Tanya Denis, menyeringai penuh ejekan. Postur tubuh Denis yang lebih tinggi darinya, membuat Nadira mendongak menatap sorot mata tajam Denis. Namun ia tidak mendengar jelas pertanyaan Denis, ia justru lebih fokus pada sorot mata Denis, dan kembali terbayang ketika mata hitam itu terpejam penuh kenikmatan dengan bibir mendesah pelan setiap ia menghujamkan miliknya. "Atau kamu justru punya kelainan?" Otak Nadira sungguh tidak bisa diajak bicara, ia tidak mendengar apapun yang ia lihat hanya bibir Denis bergumam dan terlihat sexy dari jarak sedekat ini. "Nadira!" Bentak Denis. Nadira mengerjapkan matanya berulang kali, dan mulai menyadari kebodohannya. "Apa? Kenapa bentak-bentak. Aku dengar kok!" Balas Nadira tak mau kalah. "Terus kenapa gak jawab dari tadi?" Kini Nadira mulai kelimpungan, karena ia tidak menyimak bahkan ia tidak mendengar pertanyaan Nadira. Terkutuklah otak mesumnya. "Aku gak akan bilang siapapun. Lagipula aku tidak melihat apapun," elak Nadira membuat Denis memicingkan matanya, mencari kebenaran dari sorot mata Nadira. "Lagipula apa untungnya menceritakan kegiatan m***m seperti itu," gumam Nadira pelan, namun masih bisa didengar jelas oleh Denis. "m***m? Berarti kamu melihatnya bukan?" "Aku cuman lihat sedikit! Itupun aku tidak berniat melihat kegiatan jorok seperti itu." Cibir Nadira. "Jorok katamu? Atau jangan-jangan kamu memang belum pernah merasakannya?" Kini Denis menyeringai jahil, melihat wajah Nadira memerah seperti kepiting rebus. "Benar bukan? Astaga! Berapa umurmu saat ini? Pasti kamu sudah lebih dari dua puluh lima tahun bukan? Dan kamu belum pernah melakukan itu?" Kini Denis tertawa terbahak, membuat Nadira kesal. "Sok tau!" "Nyatanya kamu bilang kegiatan menyenangkan seperti itu dengan sebutan jorok. Astaga kamu naif sekali!" Denis merasa puas karena ia akhirnya tahu kelemahan Nadira. "Kamu seperti perempuan jaman dulu aja." Ledeknya sambil mengguyar rambutnya dan berlagak tengil. "Apa jadinya jika dokter Airin tau kelakuan kekasihnya?" Senyum Denis hilang seketika. "Mengancam?" "Nggak! Aku cuman berandai aja," "Kalau sampai dia tau berarti itu dari kamu." Nadira mengangguk-anggukan kepala, ia tidak lagi merasa takut dengan ancaman Denis. "Kamu tidak berniat menceritakannya kan?" "Tergantung." Balas Nadira, acuh. "Kalau kamu mau menuruti semua kemauanku, rahasiamu aman. Tapi jika sebaliknya, kamu tau kan perawat Hani memiliki suami seperti tukang pukul?" Sepertinya Denis perlu lebih hati-hati dengan perempuan bernama Nadira, karena selain ia mengetahui hubungan rahasanya dengan Hani, juga karena Nadira tahu status Hani. "Aku rasa kamu masih mencintai wajahmu. Sayang sekali kalau rusak, korea jauh kalau operasi di thailand nanti bukan wajahmu yang berubah tapi kelaminmu yang berubah." Ejek Nadira sambil menunjuk sesuatu di area s**********n Denis dengan dagunya. "Kamu benar-benar wanita licik." "Aku gak licik. Aku cuman kasih kamu pilihan." Denis mendengus kesal, ternyata tidak mudah berhadapan dengan perempuan licik bernama Nadira. Sebenarnya ia tidak perlu merasa takut dengan ancaman Nadira, hanya saja ia masih mencintai Airin karena untuk meluluhkan hati perempuan beranak satu itu sangatlah tidak mudah. "Apa kamu berencana menjadikanku pembantu, menyuruh ini dan itu seperti kebanyakan drama?" Nadira terkekeh geli, "Astaga! Bukan seperti itu." Elak Nadira sambil mengibaskan tangannya. "Aku cuman minta kamu temenin aku pergi aja." "Kamu pikir aku sopir?" "Aku punya beberapa tempat yang belum pernah aku kunjungi, dan orang tuaku selalu melarang setiap kali aku berencana pergi. Mungkin pergi dengan seorang dokter bisa membuat ibuku percaya, meskipun kamu dokter gigi bukan dokter spesialis penyakitku." Jelas Nadira. Denis mencoba mencocokan antara logika dan alasan yang diberikan Nadira. Alasan Nadira bisa ia terima, meskipun masih terdengar menggelikan jika ia harus menuruti kemauan seorang perempuan. "Oke deal. Tapi aku cuman jadi pengantar, bukan pembantu. Tapi tidak hari ini, aku capek." "Oke, lagipula hari ini aku masih dipenjara." Denis pun pergi setelah menyetujui kesepakatan konyol antara dirinya dan Nadira. Namun tanpa Denis sadari Nadira justru menyeringai, memperhatikan kepergiannya. "Lelaki b******k yang perlu diberi pelajaran." Umpat Nadira. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN