Episode 6

1252 Kata
Nadira hanya menghela lelah melihat Nindy menangis. Entah apa yang gadis kecil itu tangisi, membuat Nadira dan juga Lita menatap heran. "Kamu kenapa nangis sih?" Tanya Lita sambil memberikan satu kotak tisu padanya. "Aku,,, aku sedih lihat kak Nadira kayak gini. Padahal aku udah mau jodohin kak Nad sama uncle Feb." Ucapnya sambil terisak pelan. "Apa?!" Nadira dan Lita serempak. "Iya,,, aku suka lihat kak Nad, kak Nad cantik meskipun judes. Jadi aku berencana menjodohkan kak Nad. Tunggu,,, aku mau suruh uncle kesini dulu." Nindy merogoh ponsel dari tas selempang kecil yang ia bawa. "Hei,,, aku tidak mengijinkan dia kesini." Larang Nadira. Namun seakan tidak menghiraukan larangannya, Nindy justru beranjak dari kursi. Entah apa yang mereka bicarakan karena setelah itu Nindy keluar dari kamar Nadira. Perlahan Nadira melirik Lita yang masih berada di samping tempat tidurnya. Wajah berserinya kini berubah masam, bahkan Lita bergumam tidak jelas sambil mencabik-cabik kulit jeruk yang berada di tangannya. "Kamu marah?" Goda Nadira, membuat Lita menoleh dan mengangkat bahunya. "Aku lebih dulu kenal dengannya, tapi dengan mudahnya dia menjodohkan Febian denganmu." Keluh Lita sambil menunduk, membuat Nadira terkikik geli. "Belum tentu juga dia mau padaku." "Kamu cantik, Nad." "Cantik tidak menjamin seseorang akan memilihmu. Jika semua orang berfikir aku cantik, aku aku tidak mungkin ditinggalkan tunanganku." "Tunangan? Maksud kamu?" Lita tampak bingung, namun Nadira tidak ingin menceritakan lebih jauh pada teman barunya itu. Menurut Nadira dengan menceritakan semua masa lalunya sama saja dengan kembali mengingat Jupiter. Meskipun ia belum berhasil menggeser kedudukan Jupiter di hatinya, tapi Nadira tetap berusaha melupakan Jupiter yang kini sudah menikah dan bahagia dengan sahabat baiknya Kara. "Tenang, aku pasti bantu supaya kamu bisa dekat dengan Febian." Lita tampak tersenyum senang mendengar ucapan Nadira, meski ia pun tidak yakin Febian akan tertarik padanya atau justru malah tertarik pada Nadira. Pintu terbuka lebar, membuat Nadira dan Lita melirik bersamaan. Nindy benar-benar membawa Febian ke kamar Nadira, meskipun terlihat jelas Febian tampak enggan. Ko"Hai,,," dengan canggung Lita menyapa Febian, sedangkan Nadira memilih menyibukan diri mengupas buah. "Hai," balas Febian canggung. "Kak Lit, ikut aku sebentar yuk." Tiba-tiba Nindy menarik Lita, bahkan Nindy segera menyeret Lita sebelum perempuan itu menolaknya. Nadira benar-benar dibuat takjub dengan kelakuan gadis kecil itu, dia benar-benar berniat menjodohkannya dengan Febian. Hening tidak ada yang bicara antara Febian dan juga Nadira, bahkan Febian masih diam berdiri. Sesekali lelaki itu menggaruk kepalanya, merasa bingung karena tidak tau harus berbuat apa. "Kamu boleh keluar kalau keberatan. Nanti aku bilang Nindy kamu ada urusan." Akhirnya Nadira bicara, mengakhiri kesunyian di antara mereka berdua. "Bagaimana kabarmu?" Nadira mendongkak, memperhatikan Febian yang justru menggeser sebuah kursi dan duduk di sebelah ranjangnya. "Aku tidak perlu menjelaskan bagaimana keadaanku, pasti kamu bisa lihat sendiri bukan?" Balas Nadira dingin. Meskipun sudah lama tidak bertemu, tidak membuat Nadira merasa perlu bersikap manis pada Febian, karena bagaimanapun juga Febian salah satu orang yang membuat Kara dan Jupiter bersatu. "Kamu masih membenciku?" "Aku tidak pernah membenci siapapun. Termasuk kamu." Jawab Nadira santai, namun penuh penegasan membuat Febian tersenyum miring. "Mungkin memang sebaiknya kita melupakan semua kejadian yang terjadi di masa lalu. Aku memang tidak akan minta maaf untuk semua yang aku lakukan kecuali tentang kakakmu." Nadira masih sulit mempercayai bagaimana cinta bisa membuat Febian sampai mencelakai kakaknya Nadia, hingga Nadia kehilangan nyawa. Meskipun begitu, Nadira tidak pernah mengungkit atau menanyakan bagaimana kecelakaan itu terjadi, apakah benar disengaja atau murni hanya kecelakaan. Ia memilih diam dan meminta keluarganya untuk tidak lagi mengusut kasus kematian Nadia. "Aku berharap di masa yang akan datang, kamu tidak lagi menggunakan cinta sebagai alasan untuk menyakiti orang lain. Karena menghilangkan nyawa seseorang tetap termasuk perbuatan keji, apapun alasannya." "Mungkin kita berjodoh. Bagaimana kalau kita mencoba menjalin hubungan, dan melupakan semua yang terjadi. Sepertinya Nindy sangat menyukaimu." Entah bercanda atau tidak, tapi Nadira tidak suka mendengar ucapan Febian. "Apa aku terlihat se putus asa itu, sampai harus terlibat dengan lelaki yang mencintai perempuan yang sama? Aku tidak tau ucapanmu benar atau hanya mengejekku, tapi aku tegaskan sekali lagi, aku tidak akan terlibat dengan lelaki yang masih mencintai orang lain, apalagi perempuan itu adalah Kara." Tegas Nadira. "Aku tidak lagi menyukainya." Febian mendengus pelan, dan mengambil potongan apel dari tangan Nadira. "Aku rasa kamu benar-benar gila, jika masih mencintai istri orang lain." Sindir Nadira. "Mungkin. Tapi lebih menyenangkan bukan, jika kita bisa menjalin hubungan rahasia dengan istri orang lain." Febian terkekeh pelan. Nadira hendak menjawab ucapan Febian, namun kalimatnya tertahan ketika Febian tiba-tiba saja mencomot apel yang baru saja ia kupas. "Oh ya, apelnya manis. Aku yang beli." Febian menyombongkan diri, dan kembali mengambil potongan apel, membuat Nadira mengerjapkan matanya. "Kupas sendiri!" "Kamu cuman sakit, bukan lumpuh. Gak usah manja." Jawab Febian ketus, mengambil alih mengupas apel dari tangan Nadira. Febian, lelaki yang selalu bersikap seolah tidak terjadi apapun padahal ia menyimpan banyak rahasia besar yang masih ia sembunyikan hingga hari ini. Mungkin ia terlihat seperti lelaki yang memiliki cinta yang begitu besar untuk seorang perempuan bernama Kara, nyatanya tidak sesederhana yang terlihat. Ada sebuah rahasia besar yang masih ia sembunyikan hingga saat ini, dan tidak ada yang tau kecuali dirinya dan seseorang. Febian memang sudah sejak lama mengetahui Nindy keponakannya, satu Rumah sakit dengan Nadira, hanya saja ia selalu memperhatikan Nadira dari jauh dan terus memantau keadaan Nadira. Ia memang tidak memiliki kewajiban untuk menjaga Nadira, karena mereka memang tidak ada hubungan apapun lagi, namun karena ia masih merasa bersalah atas kematian Nadia. Melihat kondisi Nadira yang mulai membaik, meskipun penyakit yang menggerogoti tubuhnya tampak semakin ganas, membuat Febian memutuskan untuk menunjukan dirinya dengan meminta Nindy untuk menjodohkan dirinya dengan Nadira. Ide gila itu terlintas begitu saja, mungkin dengan mendekati Nadira ia bisa menebus sedikit rasa penyesalannya. "Uncle udah bicara dengan kak Nadira?" Tanya Nindy ketika mereka berada di dalam mobil, hendak pulang. "Udah," jawab Febian sambil terus memperhatikan jalan. "Dia judes, kenapa uncle suka? Menurutku lebih baik kak Lita, dia baik dan juga ramah. Kak Nad itu galak." Febian menoleh, mengacak-acak rambut Nindy gemas. "Dia gak galak, dia cuman kesepian." "Darimana uncle tau?" "Cuman nebak aja." Jawab Febian sambil mengangkat bahunya. Ia memang sengaja meminta bantuan Nindy untuk memulai aksinya mendekati Nadira. Febian tau, Nindy tidak begitu menyukai Nadira karena menurut gadis kecil itu, Nadira judes dan galak. Jika diperhatikan lagi, Nadira memang berubah. Kini ia lebih ketus setiap kali diajak bicara, terkesan galak dan sulit didekati. Febian mengerti mengapa Nadira berubah seperti itu, mungkin saja Nadira hanya membentengi dirinya sendiri agar orang lain tidak bisa melihat bagaimana hancur hatinya, dan memilih menjadi sosok yang sulit untuk didekati. "Uncle beneran mau pacaran sama kak Nad?" "Apa uncle terlihat bercanda?" "Kenapa harus kak Nad, dia sakit seperti Nindy. Mungkin aja tiba-tiba penyakitnya kumat, dan dia pergi untuk selama-lamanya." Ucapan Nindy tidak salah, memang segala kemungkinan buruk bisa saja terjadi. Salah satunya penyakit Nadira yang tidak bisa diprediksi. "Kenapa ngomong gitu. Setiap makhluk hidup pasti mati, bahkan mungkin saja sebelum kamu dan kak Nad, meninggal uncle Feb yang justru mati duluan." "Kok ngomong gitu sih uncle. Kalau uncle gak ada, aku sama siapa?" Rengek Nindy, bahkan mata gadis kecil itu sudah mulai berkaca-kaca. Febian menarik tubuh kurus Nindu mendekat dan memeluknya, semenjak kehilangan orang tuanya Febian memang menjadi orang tua pengganti untuk Nindy. Kemanapun gadis kecil itu pergi, Febian selalu mendampinginya, membuat Nindy begitu menyayangi Febian. "Tidak ada yang tau umur seseorang. Jangan pernah putus asa meskipun kemungkinan itu sangat kecil. Mengerti?" Nindy mengangguk, mengusap air mata yang sudah membasahi pipinya. Febian mengerti maksud dari ucapan Nindy, mungkin ia tidak ingin melihat Febian bersedih ketika suatu hari Nadira meninggal. Namun gadis kecil itu tidak pernah tau jika sebenarnya hati Febian lah yang sudah lama mati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN