Episode 7

1210 Kata
Kondisi Nadira perlahan membaik. Membaik dalam artian tidak memerlukan lagi rawat inap untuk saat ini, namun tidak membuat penyakitnya hilang. Dini merapikan beberapa pakaian dan perlengkapan yang lainnya dan memasukkannya kedalam tas. Sedangkan Nadira masih duduk sambil memperhatikan layar ponselnya. "Bu, hari ini jalinan kasih mengadakan perkumpulan lagi." Dini menghentikan kegiatannya, dan melirik kearah Nadira berada. "Lalu?" "Aku harus hadir," balas Nadira sambil menunjukan layar ponsel kepada Ibunya. "Kamu baru sembuh Nad, bisa kan hadirnya di pertemuan berikutnya aja?" Nadira langsung menggembungkan pipinya, mendengar larangan dari Ibunya. "Aku udah sembuh. Lagi pula acaranya kan di sini, kalau nih ya,,, kalau aku kenapa-kenapa tinggal dirawat lagi. Selesai kan?" "Kamu selalu menggampangkan sesuatu." Dini berjalan mendekati Nadira. Ia mengelus rambut Nadira perlahan, "Mulai saat ini ibu membatasi setiap kegiatan kamu, dan ibu harus ikut kemanapun kamu pergi." "Kok gitu sih bu! Aku bukan anak kecil," rajuk Nadira. "Memang kamu bukan anak kecil, tapi kamu bandel melebihi anak kecil." "Aku janji gak bakalan bandel, dan minum obat tepat waktu. Janji!" Nadira mengangkat kedua jari telunjuk dan jari tengahnya. "Ibu harus ikut. Titik gak ada penolakan." Dini menurunkan jari Nadira, kali ini ia tidak akan menuruti rajukan Nadira. Ia tidak akan luluh hanya karena rengekan Nadira, baginya sudah cukup satu kali ia lengah memantau kondisi Nadira. "Kamu boleh ikut acara jalinan kasih, ibu tunggu di kantin. Setelah itu kita pulang, itupun kalau kamu mau kalau nggak berarti kita langsung pulang. Bagaimana?" Nadira hanya bisa mendengus pelan, sambil mengangguk pasrah. Meskipun Nadira pasti akan menganggap dirinya tidak adil, dan sangat membatasi kegiatannya, namun hanya ini satu-satunya cara agar Dini bisa senantiasa memastikan kondisi putrinya. Sesuai perjanjian, Nadira langsung naik ke lantai paling atas untuk menghadiri acara jalinan kasih, sementara itu Dini menunggunya di kantin sesuai kesepakatan mereka tadi. Acara jalinan kasih baru dibuka beberapa menit lalu, tampak ruangan masih sangat sepi dan hanya ada beberapa orang saja yang sudah hadir. Nadira melirik ke setiap penjuru ruangan, berharap salah satu temannya sudah datang. Dan senyumnya langsung mengembang, begitu ia melihat Lita sudah duduk di bangku paling belakang, di pojok ruangan. Nadira segera menghampiri Lita yang saat itu tengah asik menatap layar ponselnya. "Hai,,," sapa Nadira dan langsung memilih duduk di sebelah Lita. Reaksi Lita berbeda dari biasanya, ia hanya menggumam pelan sebagai balasan sapa dari Nadira, membuat Nadira mengerutkan keningnya, merasa aneh. "Kamu sakit?" Tanya Nadira. Lita kembali menggeleng, ia masih mendiamkan Nadira membuat Nadira semakin aneh melihat tingkah Lita yang biasanya paling heboh di antara mereka bertiga. Nadira tidak lagi bertanya, ia mencoba mengingat-ingat kesalahan apa yang pernah ia lakukan pada Lita. Terakhir mereka bertemu dua hari lalu, ketika Nadira masih di rawat dan setelah itu mereka tidak pernah berkomunikasi sama sekali. Hanya dirinya dan Nindy yang saling balas pesan di grup. "Kamu marah gara-gara Nindy mau jodohin aku sama Febian?" Akhirnya Nadira mengingat sesuatu, dan ia yakin itu alasan Lita mendiamkannya. Pertanyaan Nadira ternyata sukses merebut perhatian Lita, gadis berparas manis itu langsung menurunkan ponsel dan balik menatapnya. "Ah,,, benar kan? Astaga Lita." Nadira tertawa dengan sangat keras, bahkan suaranya langsung membuat semua orang yang ada di ruangan itu memperhatikannya. "Ihh jangan keras-keras ketawanya. Bikin malu tau!" Lita membekap mulut Nadira dengan telapak tangannya. Nadira mengangguk, dan menunjuk tangan Lita, sebagai isyarat agar ia melepas bekapan di mulutnya. "Aku lepas, tapi jangan ketawa lagi!" Nadira kembali mengangguk, namun begitu tangan Lita terlepas, Nadira justru kembali tertawa, namun dengan suara lebih rendah. Lita semakin berdecak kesal melihat Nadira justru menertawakan nya, "Udah stop Nad, aku malu!" "Oke,,, oke. Sorry,,, kamu lucu sih!" Nadira menghentikan tawanya, sambil mengusap sudut matanya yang berair karena tertawa. "Kamu kenapa marah sih? Karena Febian? Ya ampun Lita, aku gak ada hubungan apa-apa sama dia. Lagian kalau pun Nindy menjodohkanku dengan Febian, kamu pikir aku mau?" Lita hanya mengangkat bahu acuh, "Dengar ya, aku tidak tertarik sedikitpun dengan lelaki bernama Febian. Kalau kamu beneran suka, aku bisa bantu." "Beneran?" Sikap acuh Lita mulai memudar. "Iya, aku bisa bantu kamu. Tenang aja." Nadira merangkul pundak Lita, "tapi jangan ngambek gak jelas lagi. Aku gak akan ngerti kalau kamu diem aja, aku bukan cenayang yang bisa mengerti isi hati seseorang hanya dengan menatapnya aja. Ngerti?" Lita mengangguk, dan akhirnya senyum manisnya kembali terukir dari bibirnya. Mungkin saat ini Nadira mulai menyadari jika akhirnya ia memang membutuhkan seorang teman dalam hidupnya, meskipun memiliki pengalaman buruk tentang persahabatan tapi, ia menyadari satu hal yaitu semua kesalah pahaman bisa diselesaikan dengan berbicara. Tanpa terasa waktu berjalan dengan begitu cepat, meskipun Nindy tidak ikut hadir namun mereka berdua akhirnya mulai menikmati jalinan kasih karena kini mereka selalu menantikan acara itu meskipun bukan untuk menambah pengetahuan tapi justru malah bergosip dan bercerita. "Kamu langsung pulang?" Tanya Lita. "Iya,,," jawab Nadira lemas. "Gak mau nongkrong di kantin dulu?" "Maunya sih gitu, tapi ibuku udah nunggu di kantin." Jelas Nadira sambil meringis. "Sekarang kegiatanku benar-benar diawasi. Dan ibu harus ikut kemanapun aku pergi." Lanjutnya. "Eh Nad, tuh lihat dokter Denis." Lita tiba-tiba menghentikan langkah Nadira, dan menunjuk seseorang di depan mereka. Mata Nadira langsung melihat ke arah telunjuk Lita, dimana ada dokter Denis dan dokter Airin tengah berjalan bersama. Nadira tersenyum sinis melihat perlakuan manis Denis pada Airin, bahkan sesekali Airin tampak tersenyum tersipu, dan pipinya merona. "Mereka memang beneran pacaran?" Tanya Nadira. "Menurut informasi yang aku dengar sih iya, lihat aja mereka kelihatan romantis ya. Padahal dokter Denis mantan pacarnya banyak loh." Jelas Lita. Denis dan Airin memang belum menyadari kehadiran Lita dan Nadira, yang tengah memperhatikan mereka berdua. Namun begitu jarak antara mereka semakin dekat, barulah Airin menyadari, "Hai Nad, masih disini?" Tanya Airin, ia pun melangkah semakin dekat. "Iya Dok, tadi ikut acara di atas," balas Nadira, namun matanya sesekali tertuju pada Denis. Berbeda dengan Nadira yang bersikap santai, Denis justru terlihat salang tingkah dan memilih membuang muka setiap kali tatapan mereka bertemu, bahkan terlihat jelas sikap tidak nyaman Denis ketika mereka berada di dalam satu waktu seperti ini. "Jangan lupa diminum obatnya ya, jaga kesehatan." Airin mengingatkan, agar Nadira tidak mengabaikan obatnya seperti tempo hari. Nadira hanya mengangguk sambil tersenyum, kemudian memilih pamit undur diri terlebih dahulu. Namun, begitu mereka sampai di persimpangan lorong, Nadira menghentikan langkahnya. "Tunggu, aku masih punya urusan. Kalau kamu mau pulang, sebisa mungkin jangan sampai Ibuku melihatmu. Oke?" "Kamu mau kemana Nad, aku ikut kamu aja kalau gitu, lagi pula aku gak mau buru-buru pulang?" Tanya Lita bingung. "Urusanku gak terlalu penting. Mendingan kamu pulang aja!" "Justru karena gak terlalu penting, jadi aku mau ikut. Udah ayo, kalau aku gak diajak aku bakal laporkan Ibu kamu." Nadira mengerjap tidak percaya dengan apa yang diucapkan Lita, namun Lita memang tidak mau tahu dan tetap memaksa, akhirnya Nadira pun kalah dan mengajak Lita bersamanya. "Kitq mau kemana sih Nad,?" Tanya Lita begitu mereka menaiki lantai tiga Rumah sakit. "Bukannya ini spesialis Dokter gigi?" Lanjut Lita, begitu ia menyadari setiap ruangan dan papan nama yang tertulis ri setiap pintu. "Ih,, jangan berisik." "Jangan-jangan kamu mau cari Dokter Denis?" Nadira menghentikan langkahnya, dan dengan wajah kesal ia menatap Lita. "Iya, aku mau cari Dokter cabuk itu. Kamu jangan berisik, dari tadi ngoceh mulu!" "Bilang dong dari tadi," kekeh Lita, sambil menutup mulut dengan punggung tangannya. "Kalau kamu bilang kan kita gak mungkin salah tempat kayak gini. Dokter Denis gak di bakal ada disini tapi dia ada di lantai bawah." Lanjut Lita. "Apa?" "Ini ruang prakteknya aja, kalau ruang kerja nya ada di bawah." Jelas Lita. "Bilang kek dari tadi!" Nadira menggerutu kesal, lalu berbalik arah meninggalkan Lita yang masih menatapnya bingung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN