Episode 8

1113 Kata
Jika ada seseorang yang mengatakan ia tidak akan membutuhkan bantuan orang lain, maka orang itu adalah Nadira. Kecewa yang pernah ia alami, bahkan ia merasa semua orang terus menerus menyalahkannya, tanpa pernah bertanya seperti apa isi hatinya saat itu. Semua orang selalu menghakimi tanpa pernah mau mengerti. Selalu ingin di mengerti tanpa pernah melihat bagaimana hancur dan menderita hatinya. Nadira pernah berjanji, ia tidak akan pernah mempercayakan apapun pada orang lain. Bahkan ia bertekad tidak akan pernah menerima persahabatan dalam bentuk apapun, ia hanya akan bersahabat dengan penyakit yang kini sudah menjadi satu di dalam tubuhnya. Namun, semua benteng pertahanannya itu runtuh tak berselang lama setelah Lita datang ke dalam hidupnya. Lita gadis lugu, dan pantang menyerah untuk mendapat perhatian Nadira akhirnya mampu merobohkan dinding pertahanan Nadira yang baru saja ia bangun dengan susah payah. Di Dalam mobil yang kini mereka tumpangi bergerak melaju menuju kediaman Lita. "Sayang, berapa lama kamu di rumah Lita?" Tanya Dini yang berada dalam mobil yang sama. "Sebentar ko bu, nanti sebelum jam tujuh malam aku udah pulang ko." "Tapi gak keluyuran kan?" Tanya Dini memastikan. Nadira menyikut tangan Lita, hingga gadis itu bersuara setelah sedari tadi ia hanya diam. "Iya,,, iya tante. Kita di rumah aja, gak kemana-mana." Jawab Lita, membuat Nadira tersenyum simpul. "Kalau gitu biar mang Ujang nunggu aja. Ibu pulang naik taksi." "Gak usah! Nanti aku diantar sopir Lita aja. Iya kan?" Nadira kembali menyikut tangan Lita. "Iya,,, biar nanti supir Lita aja yang antar." Meski nampak enggan mengizinkan putrinya berada jauh dari pengawasannya, namun Dini tetap merasa iba jika harus mengekang Nadira. Setelah memastikan jika Nadira aman, akhirnya Dini menurunkan Lita dan Nadira di depan rumah besar dan mewah di daerah Jakarta Timur. Sepintas bisa disimpulkan Lita memang berasal dari keluarga mapan, dilihat dari rumah yang berada di kawasan cukup bergengsi. "Jangan telat pulang ya. Tante titip Nadira ya Lita." "Iya tante." Lita dan Nadira sama-sama melambaikan tangan, hingga mobil hitam milik Nadira hilang di persimpangan jalan. "Akhirnya,,," Nadira menghela lega, begitu mobil yang ditumpangi ibunya sudah pergi. "Kamu kenapa sih Nad, ko tiba-tiba jadi kayak gini!" Tanya Lita dengan nada sinis. "Aku haus, boleh masuk dulu gak sih! Blom juga sampe udah protes aja!" Keluh Nadira, Mereka berdua akhirnya masuk kedalam rumah. Pandangan Nadira tidak henti-hentinya mengamati setiap interior rumah Lita. Bahkan sesekali ia berdecak kagum setiap kali ia melihat perabotan yang terlihat begitu mewah dan mahal. "Wahhh,, kamu beneran anak orang kaya. Gak salah aku pilih teman." Ucap Nadira, begitu Lita datang membawa nampan berisi air putih dingin sesuai pesanan Nadira. "Gak usah lebay. Kamu juga bukan orang gak punya." Protes Lita, yang hanya di tanggapi kekehan oleh Nadira. "Tapi aku gak sekaya kamu," balas Nadira tak mau kalah. "Ah,, udah gak usah bahas kaya-kaya. Sekarang aku mau tanya ada hubungan apa kamu sama Dokter Denis, jangan bilang kamu suka Dokter m***m itu?" Selidik Lita dengan satu alis terangkat, bahkan ia melipat kedua tangannya di atas d**a seolah ia memang sedang mengintrogasi Nadira. "Jangan sampe ya aku suka dia. Ih,, amit-amit." Nadira memukul-mukul pelan kepala dengan kepalan tangannya. "Terus ngapain tadi kamu nyamperin ruang kerja dia?" "Gimana ya jelasinnya. Ribet sih, tapi intinya dia bakal jadi pemandu wisataku selama dua minggu ini." "Hah? Kenapa? Ko bisa?" "Tanya satu-satu, gak usah borongan kaya mas-mas paket aja." Nadira meluruskan duduknya hingga ia berhadapan dengan Lita. "Gini, aku tuh anak kuper gak pernah kemana-mana. Apalagi semenjak aku penyakitan kayak sekarang. Aku gak pernah tau yang namanya jalan-jalan, atau sekedar tau setiap sudut kota Jakarta. Jadi aku minta dia yang anter, anggap aja bayaran tutup mulut." Jelas Nadira, sambil menyomot cemilan dalam toples. "Kenapa dia? Aku bisa ko!" Nadira menghela, "Jangankan kamu, Mang Udin aja bisa anterin kalau aku mau. Tapi bukan itu yang aku mau, aku pengen bener-bener menikmati sendiri, bukan diawasi." "Kenapa Dokter Denis?" "Haduh,,,Lita! Karena tu Dokter m***m punya hutang sama aku! Jadi dia harus bayar, udah gitu intinya!" "Tapi bukan karena alasan aja kan?" "Maksud?" "Ya kali aja kamu cuman cari alasan suapaya dekat sama dia. Bagaimanapun juga kan Dokter Denis ganteng." Nadira menatap Lita dengan pandangan jengah. "Iya,,, iya. Aku percaya, ih,, gitu aja marah." Lita memasukan cemilan kedalam mulut Nadira, hingga Nadira pun mengunyah dengan kesal. "Kamu kalau rese aku gak bakal kasih nomor Febian!" Ancam Nadira. "Aku kan bercanda Nad. Ya ampun,,," Nadira tersenyum geli melihat ekspresi Lita langsung berubah khawatir. "Gini, kita kerja sama. Aku bantu kamu deket sama Febuan, kamu bantu aku hari ini,gimana?" "Bantu apa?" "Hari ini Denis mau anter aku ke kota tua, tapi Ibu minta aku sampai rumah sebelum jam tujuh. Kamu bilang aja, kita masih nonton, dan pulang jam sepuluh. Gimana?" "Itu namanya bohong Nad?" "Mau nomor Febian gak?" "Iya,,, iya." "Nah,,gitu dong!" Nadira mencubit gemas pipi Lita, hingga gadis itu mengaduh kesakitan. Sesuai perjanjian akhirnya Denis menghubungi Nadira pukul enam sore hari, dan menjemputnya di kediaman Lita. Meskipun wajah Denis tampak tersiksa, dan masam, namun Nadira justru sangat menikmati dan sesekali tersenyum mencuri pandang. "Lain kali jangan main samperin gitu aja ke ruang kerjaku," ucap Denis. "Akhirnya ngomong juga, aku kira kamu bakal diem aja kayak patung." Ledek Nadira karena semenjak mereka berada di dalam mobil, tidak sedikitpun Denis bersuara. "Aku lupa, kalau kita belum tukar nomor ponsel, jadi aku nekat aja datengin ruang kerja kamu,daripada aku minta ke Dokter Airin kan berabe." Denis menghela kesal. Sebenarnya kekesalannya sudah sejak siang tadi, senjak Nadira tiba-tiba datang ke ruang kerjanya. Untung saja saat itu dia hanya seorang diri, jika saja ia kembali kepergok seperti waktu itu, mungkin Nadira pasti akan semakin mengerjainya. "Denger, meskipun aku sepakat nganter kemanapun kamu mau, tapi kamu harus tetep libatkan aku di setiap keputusan. Jangan main nyelonong aja!" "Iya,,, gitu aja marah ih,,, kamu takut aku pergoki lagi anu lagi?" "Bukan!" Sangkal Denis, meskipun di hatinya berkata iya, "Tapi kamu tau kan aku juga Dokter, aku punya pasien dan tanggung jawab. Jadi gak bisa seenaknya gitu." "Iya,,, nanti aku chat dulu deh." "Kita mau kemana?" Tanya Denis lagi. "Apa aja yang kamu tau di jakarta? Dan apa aja yang menarik?" Tanya Nadira penuh antusias. "Banyak. Club,," "Bukan! Bukan yang kayak gitu!" Nadira menyela sebelum Denis menyelesaikan ucapannya. "Terus kamu mau tempat yang gimana?" "Ya yang seru dong. Kayak Monas, Kota tua, Ancol." Nadira menyebutkan satu persatu tempat yang menurut cerita orang-orang, itu tempat paling seru yang ada di Jakarta. "Hah?! Maksud kamu tempat anak alay nongkrong?" "Ya,, ampun! Kamu selain m***m juga sombong ya!" Nadira menggelengkan kepalanya tidak percaya. "Apa yang membuat Dokter Airin dan perawat Hani begitu menggilai lelaki macem kamu?" Lanjutnya, seolah Denis sangat tidak layak untuk dua wanita cantik yang ia sebut. "Dengar ya! Aku ini tampan, hebat dalam segala hal!" Nadira hanya meringis geli, mendengar Denis menyombongkan dirinya. "Awas aja kalau suatu hari kamu juga tergila-gila sama aku! Aku gak minat sama perempuan tipis kayak papan triplek kayak kamu." Cibir Denis sambil memperhatikan Nadira dari atas hingga bawah. "Nggak akan!" Balas Nadira tak mau kalah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN