Entah berapa puluh kali Denis berdecak kesal. Mungkin jika saja ia memiliki kekuatan super, ia akan menghilang saat ini juga, karena kenyataan yang harus dihadapi saat ini.
Berbeda dengan Denis, Nadira justru sebaliknya. Tidak hentinya ia berdecak kagum, melihat air mancur dan pantulan cahaya warna warni yang menghiasi tugu paling terkenal di Jakarta, yaitu monas.
"Wah,,, aslinya bagus ya. Dari jarak deket gini, tinggi banget. Padahal kalau lihat kayak kecil,, banget." Nadira memperagakan bentuk Monas dengan tangannya, yang menurutnya jauh lebih bagus dari yang ia sering lihat.
"Serius kamu belum pernah kesini?" Tanya Denis.
Nadira mengangguk, "belum, dulu pernah waktu masih kecil."
"Kemana aja kamu selama ini, bertapa?" Sindir Denis, kini mereka tengah duduk di hamparan rumput di pinggir jalan.
"Iya,,aku semedi. Untung uban gak numbuh." Hanya sekilas, tapi Nadira bisa melihat seulas senyum tipis di sudut bibir Denis.
"Kamu pelit banget senyum kalau deket aku,bawaanya ketus mulu. Padahal kalau senyum kan bagus." Ucap Nadira, namun pandangannya masih tertuju arah lain.
"Gak ada kepentingan senyum-senyum sama kamu." Nadira memutar bola matanya, "ya,, aku tau!"
Bukan tidak menyadari, namun Nadira memang sengaja mengabaikan ponsel yang terus bergetar di saku celananya. Ia tau sudah melewati batas waktu yang ia janjikan pada Ibunya, dan ia sudah siap dengan segala resiko yang akan diterimanya begitu ia pulang.
Keinginan sederhana yang selalu ia impikan selama ini bukanlah pergi ke tempat mewah. Atau berbelanja barang-barang bermerek seperti yang dilakukan wanita seusianya. Nadira ingin merasakan dan menikmati keindahan setiap sudut kota yang tidak pernah ia tau, sebelum tiba-tiba penyakitnya mengganas dan benar-benar merenggut nyawanya.
Anggap saja saat ini ia memanjakan mata dan juga mencoba menenangkan hatinya, yang selalu dilanda rasa gelisah dan ketakutan. Karena bagaimanapun juga dia manusia biasa, merasa takut setiap kali Dokter memberitahu kondisinya. Namun semakin hari Nadira semakin menyadari, sekuat da sekeras apapun ia berusaha untuk sembuh, tapi jika penyakitnya semakin kuat hingga mengalahkan tubuhnya yang semakin melemah, ia pun tidak bisa berbuat apapun lagi.
"Anginnya dingin ya,,, kalau siang hari Jakarta panas banget." Nadira merentangkan kedua tangannya, menghirup udara malam yang terasa lebih sejuk.
"Kamu seharusnya senang, karena kamu jadi salah satu orang yang berjasa di hidupku. Meskipun kamu bukan orang penting di hidupku." Lanjut Nadira, masih memejamkan mata. Ia tidak menyadari jika Denis memperhatikannya dengan seksama.
"Mungkin sekarang aku bukan orang penting, tapi mungkin suatu hari aku malah jadi orang yang paling penting buat kamu." Balas Denis, sontak membuat Nadira membuka mata.
"Jangan sampe ya,,, aku gak mau ribut gara-gara cowok untuk yang kedua kalinya." Balas Nadira cepat.
"Aku gak ada niat untuk menjalin hubungan apapun dengan lawan jenis, jadi kamu gak usah kegeeran." Lanjutnya,
"Aku pegang janji kamu. Lagipula aku juga gak tertarik sama kamu,,,"
"Iya aku tau! Aku tipis dan krempeng, udah dua kali kamu bilang gitu!" Nadira menyela sambil berdiri dan menepuk pantatnya dari tanah yang menempel di celana.
"Udah ah,,, anter aku pulang."
"Dih,, marah?" Denis pun ikut berdiri, mengikuti Nadira yang sudah terlebih dahulu berjalan meninggalkannya.
Selama perjalanan Nadira benar-benar tidak bersuara, bahkan ia memeluk tas selempang hitam miliknya sambil menutup mata. Denis tau Nadira tidak benar-benar tidur, wanita itu hanya menghindari pembicaraan dengannya. Sesekali ia mencuri pandang, membagi dengan jalanan yang masih sesekali terjebak macet.
Merasa tidak enak hati karena telah menyinggung Nadira dengan mengatainya krempeng, membuat Denis serba salah. Hingga akhirnya ia mendapatkan sebuah ide, agar Nadira mau bicara lagi dengannya.
Di jalan yang tidak terlalu ramai, tiba-tiba saja Denis menginjak pedal rem, hingga tubuh keduanya sedikit terpental dan membuat Nadira memekik terkejut dan membuka matanya.
"Kamu kenapa? Apa kita menabrak sesuatu?" Tanya Nadira panik, sambil menengok ke kanan, ke kiri bahkan kebelakang.
"Denis? Kita gak nabrak orang atau kucing kan?" Tanyanya lagi, karena Denis masih diam bahkan lelaki itu masih menundukan kepala sambil memegang setir kemudi.
"Kamu terluka?" Nadira menggoyang-goyang tangan Denis hingga akhirnya Denis mengangkat kepala dan menatap Nadira dengan tatapan dingin membuat Nadira semakin panik. Namun tatapan dingin itu hanya satu detik,karena detik berikutnya Denis tersenyum meringis memamerkan gigi putihnya, "aku bosen, dari tadi kamu diem aja. Aku tau kamu gak tidur," ucap Denis, membuat Nadira membuka mulutnya, terperangah tidak percaya.
"Lagian kamu merem aja, aku gak tau alamat kamu dimana!" Jelas Denis.
"Aku udah kirim alamatnya ke hape kamu, emang kamu gak baca?"
Denis segera memeriksa ponsel miliknya yang diletakan di kantong jaket, begitu layar ponsel terbuka dan membaca sejenak pesan yang dikirimkan Nadira, kali ini berbalik Denis yang terperangah.
"Astaga Nad, kita satu mobil bisa-bisanya kamu kirim pesan dan gak ngomong langsung. Gimana kalau aku gak buka hp?"
"Itu salah kamu gak baca. Aku udah kasih tau!" Balas Nadira tidak mau kalah.
Denis hanya bisa menggeleng, sambil berdecak kesal. Beberapa jam terakhir yang ia habiskan bersama Nadira sungguh terasa seperti siksaan baginya. Bagaimana bisa ia terjebak dengan wanita menyebalkan seperti Nadira.
"Oke, lebih baik kamu kembali tidur aja. Daripada aku terkena tekanan darah tinggi," ucapnya sambil kembali melajukan mobilnya.
"Jadi tadi kita gak nabrak apapun kan?" Tanya Nadira penasaran, namun Denis hanya bergumam pelan.
"Jadi kamu tadi berhenti mendadak cuman karena bosen?" Denis kembali bergumam. Nadira tau Denis kesal padanya, namun itu justru hiburan untuknya. Entah mengapa melihat Denis kesal membuat ia merasa puas dan tak hentinya ia tersenyum.
"Itu rumah yang cat nya putih rumahku." Tunjuk Nadira pada salah satu rumah yang terletak paling ujung.
"Semua juga warna cat nya putih."
Nadira kembali terkekeh,"maksud aku, itu yang pagar kayu." Denis tidak menjawab, ia hanya fokus mengemudi dan ingin segera menurunkan gadis menyebalkan bernama Nadira di rumahnya.
"Kayaknya kamu harus ikut turun deh," Nadira belum melepaskan sabuk pengaman dari tubuhnya begitu ia melihat beberapa orang yang ia kenali tengah berdiri didepan pintu pagar rumahnya.
"Kenapa? Aku udah anter kamu sampe sini, jadi kamu turun sendiri aja!" Denis menolak, karena baginya tidak ada kewajiban mengantar Nadira hingga ke depan pintu, apalagi harus bertatap langsung dengan orang tuanya.
"Kalau kamu gak ikut turun aku jamin kamu gak bakal bisa pulang." Balas Nadira sambil menunjuk kerumunan orang yang sudah menunggunya.
Perlahan Denis menoleh, matanya terbelalak begitu ia melihat beberapa orang yang tidak dikenalnya sudah berdiri berbaris menunggu mereka turun, bahkan tampak perempuan yang sering bersama Nadira pun ikut hadir disana.
"Kamu gak punya pilihan lain, selain turun bareng aku. Dan supaya kamu selamat, kamu harus ikuti semua perkataanku." Denis melirik Nadira dengan tatapan kesal, ternyata Nadira benar-benar sudah membuat level kekesalannya melesat jauh.
"Kamu lihat kan bapak-bapak yang pake kaos biru tua, yang tubuhnya tinggi gede. Itu Ayahku, kamu pasti amat mencintai wajah tampanmu itu, dan gak mau sesuatu terjadi dengan arset kebangganmu kan?" Tunjuk Nadira pada s**********n Denis. Spontan Denis meringis ngilu, dan memegang aset miliknya dengan kedua tangan.
"Gak mau kan? Makanya ayo!" Ajak Nadira.
Akhirnya dengan terpaksa Denis pun ikut turun, meski tubuhnya sudah terasa panas dingin.
"Kamu dariaman?!" Tanya Dini, begitu melihat Nadira turun dari mobil Denis.
"Aku habis jalan-jalan sebentar bu." Jawab Nadira, namun ia segera meraih tangan Denis hingga mereka berjalan beriringan.
"Ibu masih ingatkan Dokter Denis, temannya Dokter Revan?" Nadira mencoba mencairkan suasana, ia tau kedua orang tuanya pasti khawatir menunggunya pulang, terlebih karena ia berjanji pulang lebih awal namun justru pulang larut malam dengan seorang lelaki.
"Iya,, ibu ingat." Balas Dini sambil terus memperhatikan wajah Denis.
"Nah,,, benarkan ucapanku tante. Nadira memang pacar Dokter Denis." Lita ikut nimbrung.
Ucapan Lita sukses membuat mata Denis seakan loncat dari tempatnya, ia menoleh pada Nadira menuntut penjelasan. Namun Nadira tampak terlihat biasa saja, bahkan ia tidak terkejut sama sekali bahkan Nadira tampak santai seolah membenarkan ucapan Lita.
"Sejak kapan kalian dekat, kenapa Ibu gak tau?" Selidik Dini,
"Sejak kamu putus dari Jupiter?" Hati Nadira kembali terasa panas setiap kali nama Jupiter di dengar.
"Iya, Dinis buru-buru dia harus pulang, dia ada kerjaan malam." Nadira segera mengalihakn pembicaraan dan menyelamatkan Denis dari situasi tidak nyaman.
"Maaf tante, tadi Denis jemput Nadira di rumah temannya terus ajak jalan sebentar, maaf kalau udah bikin tante dan om hawatir." Ucap Denis sambil sesekali ia melirik ke arah lelaki yang masih berdiri mematung dengan tampang dingin tak tersentuh, membuat hati Denis meringis dan tanpa ia sadari ia kembali memegang arset kebangganya.
"Aku pulanh dulu ya," ucap Denis sambil mengelus puncak kepala Nadira, sambil tersenyum namun sorot matanya tidak bersahabat membuat Nadira meringis ketakutan.
"Tante, om Denis pulang dulu."
"Iya, hati-hati nak Denis." Balas Dini,
Setelah Denis pergi menyisakan Nadira dan orang-orang yang masih menatapnya penuh curiga.
"Dia emang pacar Nadira bu, gak apa-apa kan?" Nadira mencoba meluluhkan hati Ibu dan juga Ayahnya.
"Selagi dia gak nyakitin kamu seperti Jupiter, Ayah tidak keberatan." Balas Dino, menghampiri Nadira.
"Dia baik, Ayah." Jelas Nadira.
"Kalau gitu masuk yuk, udah malem. Kasihan Lita, dia mau nginep katanya disini." Ucap Dini, sambil meraih tangan Nadira. Sekilas Nadira melirik Lita yang masih berdiri sambil tersenyum jahil, "matilah kau!" Ucap Lita tanpa suara, membuat Nadira menghela pasrah.