Bab 19 — Perempuan dalam Pelukan

1509 Kata
Hujan masih turun dengan derasnya dan angin yang berhembus kencang. Terlihat pohon di sisi jalan bergoyang. Dinginnya malam sangat terasa di dalam mobil dengan AC yang tak mungkin dimatikan. Tak bisa membuka kaca mobil walau sedikit saja karena air hujan bisa langsung menyusup masuk mengenai wajah, membuat udara di dalam mobil lembab nantinya. Ratu sebal, bete. Dia terjebak di dalam mobil dengan lelaki macam Aditya, dingin seperti cuaca saat ini. Yang diam saja tak berbicara apa pun lagi setelah mengeluarkan kata 'tunggu sebentar'. Ratu dari tadi misuh-misuh, tak sabar kapan mobilnya bisa bergerak lagi, jadi tambah gondok karena merasa lelah sendirian mengoceh. "Hmmm." Lihat. Lelaki itu hanya merespon dengan sebuah deheman saat Ratu berkata kepada lelaki itu untuk tak diam saja. Seperti orang gagu saja menurut Ratu. Menyebalkan sekali berada di dalam mobil dengan orang seperti ini. Tetapi, Ratu agak bersyukur juga sebenarnya di antar pulang ini. Dia bisa stress sendirian di jalan, menembus hujan badai dengan kilat pertir menyambar. Ditambah lagi dengan jalanan yang agak banjir, juga ada pohon yang tumbang. Bagaimana semisal mobilnya yang terkena timpahan pohon tersebut. Harus Ratu akui Aditya mengendarai mobilnya dengan tenang dan tampak hati-hati sekali. "Sampe jam berapa ini? Kenapa lama banget, sih?” Orang-orang sepertinya pada enggan turun membantu mengingat cuaca ekstrim di luar. Ada beberapa barusan orang sekitar yang membantu, tapi belum bisa juga mengangkat pohon yang berat menimpa bagian belakang mobil tersebut. Aditya hendak turun barusan juga, namun Ratu menahan lelaki itu. Tak mau lelaki itu basah kuyup menghadapi ganasnya badai di luar sana. Takut ada pohon sebelah depannya lagi juga yang tumbang. "Sabar." Aditya menyahut singkat. "Dari tadi juga saya udah sabar!" dengus Ratu. "Kalau nggak sabar, saya udah keluar mobil teriak-teriak cari bantuan. Biar itu pohon cepetan diangkat, dan kita bisa lewat." Aditya tak menyahut lagi. Diam saja mendengar bagaimana perempuan itu yang terus mengeluh. Ratu sungguh bete. Dia mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. Ingin menghubungi Vika saja. Mencari teman yang seru untuk mengobrol, bukan seperti lelaki di sebelahnya ini. Tidak menghubungi Sukma, kasihan mengganggu istirahat perempuan itu. Teleponnya tak diangkat. Ratu melihat jam, pukul sembilan malam kurang. Biasanya Vika belum tidur jam segini. Ke mana perempuan itu? Vika biasanya tak jauh-jauh dari ponsel. Ratu pun mengirimkan pesan kepada sahabatnya itu. Menoleh ke samping menunggu balasan pesannya Vika, Ratu mendapati Aditya yang masih tampak tenang-tenang saja dengan pandangan lurus ke depan. Ratu terheran-heran, bagaimana bisa lelaki itu begitu tenang dan diam saja tanpa mengeluh dalam situasi seperti ini? "Pak... " "Ya?" Lelaki itu menyahut tanpa menoleh. "Sebel nggak sih, berada dalam situasi kayak begini? Greget nggak?" "Enggak." Lelaki itu menyahut singkat. Ratu mencebikkan bibirnya. Sebal mendengar jawaban singkat lelaki itu, padahal Ratu berusaha membuka obrolan. "Bete nggak?" "Biasa aja." Ratu mendelik. "Malas saya ajak Bapak ngobrol." Ratu menunduk, kembali dengan layar ponsel di tangannya. Melihat roomchat dengan Vika, belum dibaca juga pesannya. Tumben? Biasanya perempuan itu sering fast response. Apa Vika sudah tidur? Udara terasa semakin dingin. Ratu memeluk lengannya sendiri, mulai menggigil. Sweater tipis yang dikenakannya jelas tak cukup menahan dingin. Ratu kembali melirik ke arah lelaki di kursi kemudi itu—cowok yang sejak tadi nyaris seperti orang gagu. Wajahnya datar, mata menatap lurus ke depan. Menyebalkan sekali semisal punya kekasih seperti lelaki itu. Kenapa pohon yang tumbang itu besar sekali? "Astagaaaaaa... kapan bisa lewatnya ini?" Kembali Ratu mendesah pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh suara hujan. Aditya, tidak menyahuti keluhan perempuan itu. Bingung juga, dia mesti gimana memangnya? "Sebentar lagi. Sabar... " Aditya baru bersuara lagi. Gue udah sabar banget juga dari tadi! Kalau nggak, udah ngamuk-ngamuk gue keluar teriak cari bantuan. "Ngantuk." Ratu berucap pelan sembari terus memeluk tubuhnya sendiri yang masih saja kedinginan meski telah memakai outer milik Sukma. Memang, outer tersebut tak cukup tebal untuk melindungi tubuhnya Ratu melawa dinginnya malam ini. "Tidur aja dulu." "Susah. Nggak bisa merem-merem dari tadi," keluh Ratu. Dia sempat memejamkan mata sejenak, akan tetapi pikirannya melayang ke mana-mana. Aditya menoleh sekilas, lalu menghela napas panjang. Lelaki itu melepas jaket yang dikenakannya. "Pakai ini." Lelaki itu mengulurkan jaketnya kepada Ratu. Ratu menoleh, tak langsung menyambutnya. "Kenapa? Ini nggak bau, kok." Aditya kembali berbicara ketika Ratu tak kunjung menyambut jaketnya. “Terus, Bapak pakai apa? Kan dingin banget.” “Saya laki-laki. Lebih kuat.” "Terima kasih.” Ratu meraih jaket tersebut dan memakainya. Wangi banget… Ratu memejamkan mata. Dia menyukai aroma jaket ini. Entah itu aroma sabun yang digunakan sang pemilik jaket, atau wangi parfum. Tapi, enak sekali wanginya. Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Hanya ada suara hujan dan sesekali petir yang menyambar, menerangi wajah Aditya dari samping. Tatapannya datar, tapi ada sesuatu di matanya—entah apa itu, Ratu tak mengerti. Dia sesekali melirik lelaki itu di dalam dinginnya malam. Ratu merapatkan jaket lelaki itu pada tubuhnya. “Hujannya nggak berhenti-henti. Serem.” Baru saja selesai berbicara, kembali ada petir menyambar dengan cepat. Ratu terkejut dan reflek menggeser tubuhnya memeluk lengan Aditya. Sedangkan Aditya, tubuhnya langsung menegang. Akan tetapi, dia membiarkan perempuan itu memeluk lengannya. Baru kali pertama ada lawan jenis selain saudaranya yang memeluknya seperti kemarin ini, dan malam ini juga. Pelakunya ada orang yang sama. “Takut?” Ratu membuka mata perlahan, lalu mengangguk. Sadar saat ini bahwa dia tengah memeluk lengan lelaki yang terpaut jauh usianya di atasnya itu. Petir menyambar lagi, dan Ratu memejamkan matanya kembali. Dan kali ini memeluk erat tubuh Aditya dari samping, menenggelamkan diri berlindung pada tubuh lelaki itu dengan kepala menunduk. Ratu tak tahu saja jika tindakannya itu membuat jantung Aditya berpacu dengan cepat. Aditya adalah lelaki normal. Ada sesuatu yang aneh di dalam dirinya ketika dipeluk oleh seorang perempuan begini. Apa lagi ada bagian menonjol dari perempuan itu yang terasa olehnya. Mau bagaimana lagi? Aditya hanya bisa diam membiarkan perempuan itu memeluknya. “Takut, Pak… “ Ratu mencicit pelan. Tak ada kata ketus seperti tadi lagi yang keluar, karena dia sungguh merasa takut akan kilat petir yang tampak begitu seram baginya itu. “Nggak apa-apa. Tenang.” Aditya sama sekali tak bergerak. “Bapak dari tadi kelihatan tenang aja. Nggak ada panik-paniknya.” “Sudah terbiasa.” Ratu mendongak dan saat itu juga Aditya menoleh padanya. Tatapan keduanya bertemu, nyaris tanpa jarak. Hening, keduanya seolah enggan memutus kontak mata mereka. Lalu, Ratu tersenyum. “Bapak ganteng juga kalau dilihat-lihat dari dekat begini. Tapi, kenapa sering nyebelin? Kenapa dulu saya mohon-mohon nangis, nggak ada toleransi? Sampai akhirnya saya dikasih nilai C.” Aditya memutuskan kontak mata mereka terlebih dahulu. Dan melepaskan tangan perempuan itu dari tubuhnya. “Udah nggak ada petir lagi.” “Kenapa nggak jawab?” Ratu mendelik sebal. “Harus tegas sebagai dosen. Disiplin.” Ratu merotasi matanya. Kemudian, pandangannya teralih pada keramaian di depan. Pohon besar yang tumbang itu mulai diangkat. Setelahnya, mobil yang terkena pohon tersebut diderek. Tak terasa, pukul setengah sepuluh malam mobilnya Ratu baru bisa melaju kembali. Ratu sebelumnya sudah menghubungi sang mama jika telat pulang. Ada satpam di rumah mereka yang berjaga, yang akan membuka pintu pagar. Berkali-kali menguap, Ratu pun ketiduran. *** Aditya melirik sekilas dan mendapati perempuan di sebelahnya masih setia memejamkan mata. Mungkin terlalu mengantuk, atau lelah juga terus mengoceh hingga ketiduran. Tak lama, mobil yang dikendarainya pun tiba di depan rumah Ratu. Lalu, ada seorang satpam yang membukakan pintu pagar. “Sebentar, Pak. Ratunya lagi tidur.” Aditya membuka sedikit kaca jendela di sisinya. Hujan telah mulai reda saat ini. Aditya menepuk pelan lengannya perempuan itu. “Apa, sih? Ngantuk banget ini!!!” Ratu menepis tangan lelaki itu kasar. Aditya menarik napas. Dia terus berusaha untuk membangunkan perempuan itu. Karena dia pun harus segera pulang beristirahat. Cukup lama, baru lah Ratu membuka mata perlahan sambil menguap. Dia mengantuk sekali. “Udah nyampe?” Ratu mengerjap-mgerjap. Lalu, menoleh ke arahnya Aditya. “Kok Bapak tahu rumah saya? Perasaan saya belum ada kasih tahu.” Ratu menatap lelaki itu dengan mata menyipit. “Sukma suka cerita tentang kamu. Di mana kamu tinggal.” Aditya menjawab asal. “Tapi, saya kan cuma cerita nama perumahan saya tinggal? Nggak ada nomor rumah, di mana persisnya alamat rumah saya.” “Saya sempat muter-muter tadi, sebelum tanya sama satpam komplek.” Ratu manggut-manggut. “Terima kasih udah nganterin saya pulang.” “Ya.” Ratu membuka jaket miliki lelaki itu. “Terima kasih jaketnya.” “Iya.” “Pulang naik apa? Udah jam 10’an.” Ratu melirik jam pada mobilnya. “Saya pesan ojek online. Hmmm… mau saya parkirin sekalian? Kamu kelihatan masih ngantuk.” “Nggak usah. Biar Pak satpam aja.” Aditya mengangguk. Dia membuka sabuk pengaman, lalu keluar dari mobil. “Saya langsung balik.” Aditya langsung balik badan meninggalkan mobil tersebut di depan pagar. Dia menyusuri jalanan yang dulu beberapa kali dilewatinya ini. Aditya masih hapal tentunya. Sambil jalan, Aditya memesan ojek online. Dia akan menunggu di ruko depan perumahan. Menunggu di depan ruko, Aditya memeriksa ponselnya yang satu lagi. Melihat apa kah ada pekerjaan dadakan dari bosnya. Nihil. Yang Aditya dapati adalah pesan dari nomor yang tadi mengirimnya pesan. 0812979651xx Kpn ksini lagi? Damn, I miss u so much Suatu saat, km akan menjadi milikku
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN