bc

(Bukan) Dosen Idaman

book_age18+
293
IKUTI
4.4K
BACA
HE
teacherxstudent
age gap
opposites attract
friends to lovers
arrogant
mafia
drama
sweet
bxg
campus
bodyguard
like
intro-logo
Uraian

Ratu merupakan seorang mahasiswi tingkat akhir yang cerdas tapi keras kepala, tak pernah melupakan satu nama: Aditya, dosen yang dulu memberinya nilai rendah dan sikap lelaki itu yang sangat menyebalkan di matanya. Kini, nasib kembali mempertemukan keduanya karena lelaki tersebut menjadi dosen pembimbing Ratu.

Setiap pertemuan selalu penuh ketegangan. Ratu dengan segala keluhan dan protesnya, Aditya dengan sikap dingin sekaligus tajam yang membuatnya semakin menyebalkan di mata Ratu. Namun, di balik setiap debat, ada sesuatu yang perlahan tumbuh-sesuatu yang tak pernah mereka sangka sebelumnya.

Sayangnya, seorang Aditya itu tak tertebak. Ada rahasia yang disimpan oleh lelaki itu, dan tak ingin menjalin hubungan dengan siapa pun dalam jangka waktu yang dia sendiri tak tahu entah sampai kapan.

chap-preview
Pratinjau gratis
Bab 1 — Dosen Pembimbing
“Bisa bawa motor yang bener nggak, sih??” Aditya yang sedang menegakkan motor, seketika mendongak ke sumber suara yang merupakan seorang perempuan. Dia barusan melajukan motor teman yang dipinjamnya cukup kencang—membelah jalanan yang cukup ramai meski sudah malam. Aditya buru-buru hendak menemui bosnya di markas. Tak sengaja, motor yang dikendarainya itu menyenggol sebuah mobil hingga motornya terjatuh. Perempuan yang dihadapannya saat ini, Aditya langsung mengenal sosok wajahnya meski dalam cahaya malam yang minim. Perempuan tersebut adalah mahasiswanya. Selain bekerja pada seorang pejabat yang juga merupakan mafia, Aditya adalah dosen di salah satu universitas swasta. “Maaf, saya enggak sengaja. Saya akan ganti rugi.” Aditya bersuara di balik helm, yang juga mengenakan masker di dalamnya. Aditya mengeluarkan ponselnya hendak transfer sejumlah uang untuk biaya ganti rugi, akan tetapi ponselnya tersebut mati daya. Sedangkan ponsel yang satu lagi, tak ada banking di sana. Terdengar dengusan dari perempuan di depannya. “Sebentar.” Aditya merogoh tas yang melingkar di pinggangnya, kebetulan ada sejumlah uang cash di sana. Uang bengkel yang belum sempat dia setorkan. Aditya juga menyambi sebagai montir di bengkel milik temannya. Apa saja dikerjakan olehnya sebagai tulang punggung keluarga. Aditya menghitung uang di sana, ada sekitar 3,2 juta rupiah. Dia memberikan semua kepada perempuan itu, setelah melirik sekilas kaca spion yang copot dan ada lecet sedikit lada bagian depan mobil perempuan itu. “Saya rasa cukup segini. Semisal kurang, datang langsung ke alamat ini.” Aditya berujar dingin—memberikan kartu nama bengkel milik temannya. “Maaf, saya buru-buru!” “Eh—KTP sini?” Perempuan itu menengadahkan tangannya. “Itu kartu di bengkel. Telepon aja, tanya Adit di sana.” Aditya yang sudah ada janji dengan bosnya, segera menaiki motornya dan melaju. Mengabaikan teriakan perempuan yang merupakan mahasiswanya itu. Tak ada waktu untuk berdebat panjang lebar. Dia bahkan mengabaikan goresan luka pada punggung tangannya. Luka kecil begitu, tak seberapa baginya. Tak lama, Aditya tiba di sebuah rumah besar yang lebih pantas disebut sebagai markas. Dia membuka jaket, melangkah ke arah dapur hendak membersihkan tangannya sejenak dengan air es. Setelahnya, Aditya duduk di teras depan menunggu bosnya turun dengan menyalakan rokok. Suara langkah sepatu kulit terdengar menuruni tangga marmer dari arah dalam rumah. Aditya menoleh perlahan. Dari balik pintu kaca, muncul sosok lelaki paruh baya dengan tubuh tegap dan tatapan yang menusuk bak sebilah pisau. Jas hitam rapih membalut tubuhnya, sementara cincin emas di jarinya berkilat tertimpa cahaya lampu teras. Lelaki itu merupakan bosnya Aditya. Seorang pejabat yang cukup berpengaruh di pemerintahan, namun dibalik citra publik yang terhormat, dialah dalang yang mengatur jalannya peredaran uang, kuasa, dan darah. Mafia yang licin sekaligus disegani, hanya segelintir orang yang tahu tentang bisnis kotor yang dijalani lelaki itu. Yang tak segan-segan menghalalkan segala macam cara untuk mencapai tujuannya. Asap rokok perlahan melingkar di udara, menari bersama angin malam yang lembab. Jemari tangannya Aditya mengetuk-ngetuk lengan kursi kayu, seperti mencoba menenangkan kegelisahan yang tak pernah benar-benar mau pergi. Aditya tahu persis, tempat ini bukan sekadar rumah. Setiap sudutnya terasa diawasi, dijaga, penuh rahasia. "Aditya... " Lelaki paruh baya bersuara. Suara yang berat dengan nada rendah, namun penuh tekanan. "Saya jarang melihat orang bisa merokok dengan tenang di kursi itu. Kebanyakan orang justru gemetar sebelum sempat menyalakan api." Aditya tersenyum tipis. Dia merasa sudah sangat mengenali lelaki paruh baya. "Mungkin karena ketenangan justru satu-satunya cara bertahan hidup di sekitar anda, Bos." Pasti ada rasa takut dalam diri Aditya, namun dia tak pernah menunjukkannya. Lelaki paruh baya itu mendecak pelan, senyum samar muncul di sudut bibirnya. Lalu, dia melangkah mendekat, mengambil kursi di samping Aditya. Malam itu terasa lebih sunyi, seolah dunia menahan napas menyaksikan dua sosok berbeda generasi, namun sama-sama terbiasa berjalan di atas garis tipis antara kuasa dan tujuan. Dia menyandarkan tubuhnya di kursi. Menoleh sekilas, mata tajamnya tak lepas dari Aditya, seakan sedang membaca isi kepalanya tanpa perlu bertanya. "Aditya... " ucapnya pelan, "kamu tahu kenapa saya suka menguji orang?" Aditya menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu menghembuskan asap ke udara. "Supaya anda tahu siapa yang pantas dipercaya, dan siapa yang lebih baik dikubur diam-diam di tanah kosong." Bosnya itu tertawa rendah. Bukan tawa lepas, tapi lebih mirip geraman yang menyiratkan ancaman. "Tepat sekali. Kamu cerdas, saya senang akan hal itu. Tapi kecerdasan kadang berbahaya. Terlalu pintar bisa jadi bumerang kalau tidak diimbangi dengan kesetiaan." Aditya menoleh, tatapannya tenang, meski dadanya sebenarnya berdebar cepat. Dia tak boleh asal bicara. Dia sangat-sangat tahu resiko yang akan didapat apabila berkhianat—mengecewakan bosnya itu. "Kesetiaan saya bukan untuk dipertanyakan, Bos. Kalau tidak, saya sudah lama tidak duduk di sini." Bos itu terdiam sejenak, matanya menyipit, lalu beralih menatap lurus ke depan. "Banyak orang mengaku setia. Lidah itu gampang berbohong. Tapi darah dan perbuatan tidak bisa. Kamu masih muda, Aditya. Kamu bisa memilih jalan mudah—hidup lurus, jadi orang biasa, mungkin jadi pegawai kecil. Tapi sekian tahun, kamu telah duduk di kursi ini. Itu artinya kamu memilih jalan yang berbeda. Jalan yang kamu tahu persis seperti apa." Aditya mengangguk paham, sangat tahu jalan yang telah sekian tahun dilewatinya itu. Dia mematikan puntung rokoknya di asbak kristal di meja kecil di samping kursi. Tangannya tenang, tak sedikit pun bergetar. "Saya tidak lahir untuk jadi orang biasa, Bos. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini, saya sudah siap berlumuran lumpur. Siap dengan berbagai macam resiko yang akan saya hadapi." Aditya bisa saja hanya menjadi dosen dan kerja di bengkel milik temannya, tapi yang dia dapat tak akan cukup untuk menghidupi adik-adik serta ayahnya. Makanya, Aditya terpaksa bergabung di jalan yang dia tahu penuh tantangan. Aditya mendapatkan banyak uang dari sini. Meski masih tinggal di rumah sederhana, yang penting adik-adik dan ayahnya tercukupi kebutuhannya. Tak ada yang lebih penting bagi Aditya selain mereka, hingga mengabaikan diri sendiri yang seharusnya butuh bahagia juga. "Bagus. Saya punya tugas baru untukmu. Tidak sulit, tapi juga bukan mainan anak kecil. Ada seorang pengusaha yang mulai berani bermain dua kaki. Besok, saya ingin dia mengerti bahwa saya tidak suka dikhianati. Kamu paham maksud saya?" Aditya menarik napas pelan, lalu menatap lurus ke mata bosnya. "Paham. Anda ingin pesan yang tidak bisa dihapuskan." "Exactly." Bosnya itu tersenyum lebar, tapi tatapannya tetap dingin. "Kali ini kamu akan pergi dengan dua orang lainnya, tidak sendiri. Tapi keputusan akhir... saya serahkan padamu. Kalau kamu ingin dia masih bisa makan besok, pastikan dia tidak bisa tidur tenang. Tapi, kalau kamu pikir dia pantas untuk dilenyapkan, lakukan dengan bersih. Kamu tahu apa yang harus dilakukan. Jangan mengecewakan saya." Hening kembali merayap di teras itu. Aditya bersandar ke kursi, menyalakan rokok baru, lalu berkata pelan, nyaris berbisik. “Saya janji. Tidak akan mengecewakan anda." Bosnya itu menatapnya lama, kemudian berdiri perlahan. "Aku menunggu buktinya. Ingat, Aditya... di dunia ini hanya ada dua pilihan: kamu yang memakan, atau kamu yang dimakan." Ditepuk-tepuknya pundak Aditya sebelum bangkit berdiri. Suara langkah sepatu kembali bergema, meninggalkan Aditya yang kini duduk sendirian di teras. Api rokoknya menyala kecil dalam gelap, seperti simbol kecil dari bara yang siap meledak kapan saja. Sampai kapan akan hidup seperti ini? Ingin lepas, Aditya tahu jalannya tak akan semudah itu. Dia tahu, lelaki paruh baya itu mengawasinya—masih sangat menginginkan dirinya untuk segala sesuatunya. *** Ratu lemas sekali rasanya setelah mengetahui dosen pembimbingnya adalah dosen yang paling dibencinya. Tak bisa diganti. Ratu tak seberani itu meminta untuk berganti dosen pembimbing. Ratu tak punya alasan yang tepat jika ditanya. Pasalnya, alasan Ratu tak menyukai dosen yang ditunjuk sebagai pembimbingnya itu karena lelaki itu menyebalkan. Juga memberinya nilai C, menodai nilai-nilai A pada mata kuliah lainnya. Ratu sungguh jengkel sekali. Ratu dan teman dekatnya yang satu jurusan, Vika, sedang berada di kantin saat ini. Setelah mengetahui siapa dosen pembimbingnya, Ratu tak langsung menemui dosen tersebut. Pasalnya, kepala Ratu mendadak keluar tanduk. Jangan sampai dia mengeluarkan jurus taekwondonya, karena sebal melihat muka dosen pembimbingnya itu. Ah, membayangkan wajah lelaki itu saja, Ratu sudah naik darah duluan. "Gue nggak terima banget, kenapa dospem gue dia, sih?" Ratu misuh-misuh tak terima karena mendapatkan dosen pembimbing skripsi yang dibencinya. Bukan dosen idaman, melainkan dosen yang memberinya nilai C pada semester 5 mata kuliah Akuntansi Manajemen Lanjutan. Ratu dua kali telat masuk kelas pada mata kuliah dosen itu. Tak sengaja dan tak lama juga sebenarnya, di bawah 10 menit. Satu lagi, dirinya telat mengumpulkan tugas, lupa ketinggalan di atas meja belajarnya dan Ratu meminta di antar oleh kakaknya saat itu juga. Telat 1 jam dan dosen itu masih ada di kampus, namun dia tak lagi mau menerima tugasnya Ratu. Kan Ratu keki dibuatnya. Ratu itu lupa! Bukan sengaja melupakan. Ratu sampai menangis waktu itu, tetap saja dosen tak punya hati itu tak ada toleransinya. Ratu sumpahin itu dosen bakalan tak mulus urusan asmaranya. Dengar-dengar, itu dosen sampai saat ini tak memiliki pasangan. Sudah berusia 33 tahun, belum menikah. Ratu yakin, para perempuan tak ada yang betah jadi kekasih lelaki itu. Mungkin hanya suka—kagum di awal saja. "Terima aja udah... nasib." "Nggak... nggak bisa gitu dong, Vik! Gimana caranya supaya nggak jadi sama itu orang ngeselin, ya? Bisa nggak, sih? Aarrgghhh... gue masih kesel banget! Ngebayangin mukanya yang sok cool dan nyebelin itu bikin gue muak. Masih dendam gue sama dia, sumpah!!" "Sabar... " Vika menyahut kalem. Coba saja jika dosen pembimbingnya adalah orang yang Ratu tak suka itu, Vika akan senang-senang saja. Bisa cuci mata terus melihat ketampanan lelaki di atas 30 tahun itu. Meski sudah berkepala tiga, lelaki itu masih saja mempesona. Ganteng maksimal dengan pembawaan yang cool, tak terlihat tua juga. Jika lelaki itu mengaku berusia 26 tahun pun, Vika rasa orang-orang akan percaya saja. "Nggak bisa sabar gue kalau soal dospem satu itu. Si Aditya sialann itu nggak pantas jadi dosen! Cocoknya jadi tukang siksa kubur. Suka nyiksa mahasiswa soalnya, bikin mahasiswa kesulitan—nangis." Ratu kembali terbayang dirinya yang sampai mengeluarkan air mata memohon saat itu, tetap saja dosen itu tega padanya. Tak ada toleransi sama sekali. Nilai UAS Ratu yang tinggi pun, tentu saja tak akan bisa mengubah nilai C itu. "Eh, salah, bukan jadi tukang siksa kubur juga, tapi dia yang disiksa di dalam kubur nanti. Kena azab karena udah biarin mahasiswi imut, cute, manis kayak gue ini nangis." Ratu tertawa-tawa membayangkan khayalannya. "Atu, i-itu... " Vika meringis, melihat seseorang yang berdiri di belakang Ratu. Vika berusaha melemparkan kode, tapi Ratu tetap nggak peka. Vika rasanya ingin menghilang saja saat ini, tak mau ikut-ikutan. "Apaan? Lo nggak berniat bela itu dosen karena dia ganteng, 'kan? Cihh, heran sama kalian pemuja dia itu. Muka pas-pasan begitu kok dibilang ganteng. Gantengan juga calon suami gue, Chanyeol. Eh, lo kenapa nutup-nutup muka gitu sih, Vik? Lo— " "Ehemmmmmmmm." Sebuah deheman dari arah belakang membuat Ratu menghentikan ucapannya. Ragu, Ratu menoleh ke arah belakang, dan seketika matanya membola melihat siapa yang berdiri di belakangnya dengan tangan bersidekap. Dosen yang sedang diumpatinya, berdiri di belakangnya persis. Alamakkk! Mampuss gue! "Eh, Pak Aditya." Ratu berpura-pura memasang raut wajah manis tanpa dosa—menyapa dosen tersebut. Sungguh di dalam hatinya ingin sekali meninju muka sok cool lelaki itu. "Bapak mau makan di sini juga? Tumben?" Ratu baru kali ini bertemu dosen itu di kantin. Aditya, lelaki itu tak menyahut. Dia menatap lurus Ratu tanpa dengan wajah tanpa ekspresi yang membuat Vika meneguk salivanya, takut. Sedangkan Ratu, perempuan itu sedikit cemas di dalam hatinya. Sejak kapan lelaki itu berdiri di belakangnya? Apa dia mendengar seluruh umpatannya barusan? Akan bagaimana nasib skripsinya yang bahkan belum dimulai? "Oh ya, saya kebagian dosen pembim— " "Hobi mengumpati orang?" Matanya Ratu membesar. Perempuan itu mengerjap-ngerjap perlahan. "Hah?" "Tuli kamu?" Satu lagi. Mulutnya Aditya itu sekali-kalinya bersuara, sangat menyebalkan. Akan berbicara panjang lebar jika sedang menerangkan materi saja. Selain itu, kata-kata yang keluar dari mulutnya begitu irit dan jarang ter-filter menurut penilaian Ratu. "Ooh itu... " Ratu mengusap rambutnya. "Barusan kita lagi latihan drama, Pak. Saya ikut pertunjukan di teater sama sepupu saya. Jadi, barusan latihan sama Vika. Biar terlihat natural, saya bawa-bawa Bapak sebagai contoh dosen yang tegas tapi nggak disukai banyak mahasiswa. Begitu maksud saya, Pak. Bukan berarti saya bermaksud mengumpati. Ya kan, Vik?" "Emang ada pertunjukan di teater mana, Tu?" Vika ini, terkadang polos-polos menyebalkan. Sungguh, Ratu gemas sekali rasanya. Tapi, bagaimana pun, Vika adalah satu-satunya teman terbaik Ratu yang sudah dianggapnya seperti saudara sendiri. ***

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

(Bukan) Istri Simpanan

read
50.3K
bc

Pacar Pura-pura Bu Dokter

read
3.0K
bc

Jodohku Dosen Galak

read
30.8K
bc

Kusangka Sopir, Rupanya CEO

read
35.5K
bc

Takdir Tak Bisa Dipilih

read
10.1K
bc

Desahan Sang Biduan

read
53.4K
bc

Silakan Menikah Lagi, Mas!

read
13.4K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook