Bab 2 — Ratu Arsyila

1862 Kata
“Bang… “ Adiknya Aditya yang perempuan, meletakkan sendok sejenak melihat sang kakak yang belum menyentuh makanan di depannya. Namanya Sukma, yang saat ini kuliah di kampus swasta biasa dan hendak skripsi. Hingga usianya yang saat ini sudah memasuki kepala tiga, Aditya masih menanggung beban layaknya seorang kepala keluarga. Meski ada 3 orang adiknya yang telah menikah, masih ada 2 adiknya lagi yang menjadi tanggungan Aditya. Ibunya Aditya telah meninggal saat lelaki itu berusia 24 tahun, meninggal karena kecelakaan saat ke pasar bersama ayahnya menggunakan motor. Sedangkan ayahnya masih hidup hingga saat ini dan lumpuh. Jadi, Aditya lah yang bertanggung jawab atas kehidupan adik-adiknya. Ah, sebelum terjadi kecelakaan itu pun, Aditya juga sudah bekerja keras membantu perekonomian keluarganya. Bahkan sejak SMA, Aditya sudah bekerja freelance sambil sekolah. Bersyukur ada orang baik hati yang menerima bekerja meski masa bersekolah saat itu. Aditya bekerja freelance hingga lulus kuliah. Walau bekerja, dia tetap mengejar pendidikannya. Tak ada waktu bermain-main seperti anak lain seusianya kala itu. Waktunya Aditya hanya untuk belajar supaya tetap mendapatkan beasiswa, dan juga bekerja keras untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarganya. Yang mana orang tuanya saat itu hanya pedagang kue keliling. Ibunya yang membuat kue dan ayahnya yang berjualan keliling setiap harinya. Hingga saat ini menginjak 33 tahun, Aditya belum juga kepikiran untuk menikah karena masih memiliki beban tanggung jawab yang besar. Meski ada 3 adiknya sudah menikah, Aditya masih harus menanggung biaya 2 adiknya lagi yang masih kuliah dan duduk di bangku SMA. Saat sudah SMA dulu, ibunya masih melahirkan seorang adik lagi untuknya. Harusnya Aditya bersaudara terhitung dengannya ada 7 orang, malang nasib satu adiknya meninggal saat bayi. Adiknya yang ke-4. "Kenapa nggak dimakan, Bang? Lagi nggak selera makan atau mau aku bikinin sarapan yang lain?" Sang adik kembali bersuara. "Enggak usah. Ini Abang mau makan." Aditya tersenyum tipis, senyum yang hanya dia tunjukkan kepada anggota keluarganya saja. Jika di luar ketika bersama orang lain, jarang bisa tampak senyum itu. Hidupnya Aditya sudah terlalu pahit, hingga sulit hanya untuk sekedar tersenyum saja. Namun, di depan keluarganya, Aditya selalu menunjukkan bahwa dirinya baik-baik saja. Keluarganya tak ada yang tahu pekerjaan utama yang membuat Aditya mampu menghidupi semuanya. Yang mereka tahu selain menjadi dosen dan kerja di bengkel milik temannya, Aditya memiliki bisnis proyek bersama teman yang lainnya. Itu lah yang Aditya katakan kepada keluarganya tersebut. Memang di dalam keluarganya itu, hanya Aditya satu-satunya yang bisa diandalkan. Sementara tiga orang lainnya yang sudah menikah—dua orang perempuan dan seorang laki-laki, hidup dengan keluarga masing-masing tanpa ikut campur. Aditya sendiri yang meminta mereka untuk fokus kepada rumah tangga mereka masing-masing. Lagi juga, Aditya tahu jika kebutuhan sehari-hari sebuah keluarga itu tidak kecil. Apa lagi jika telah memiliki anak. "Skripsimu gimana, Suk? Udah mulai?" tanya Aditya kepada sang adik. Semua adiknya Aditya itu kuliah. Tiga di atasnya Sukma yang sudah menikah, dulu kuliah mendapatkan beasiswa. Hanya saja, tetap biaya sehari-harinya ditanggung oleh Aditya. Beda halnya dengan Sukma. Perempuan itu tak sepintar kakak-kakaknya. Jadi, Sukma berkuliah di kampus swasta biasa saja, yang mana uang kuliahnya tak begitu besar. Sukma awalnya tak ingin kuliah, tetapi sang kakak memaksa. Kakaknya ingin semua anggota keluarga kuliah, dan setelahnya mendapatkan pekerjaan yang bagus. Karena tak ada yang bisa menjamin masa depan. Perempuan tetap harus berpendidikan tinggi menurut sang kakak. "Aku baru di acc judul, Bang. Do'ain lancar, ya?" "Aamiin. Kalau ada kendala, let me know." Aditya selalu berusaha untuk membimbing adiknya dalam hal apa pun, ke arah kebaikan tentunya. Jangan sampai ada yang mengikuti jejak sesat yang bertahun-tahun dijalaninya itu. Aditya ingin semua adiknya mendapatkan kehidupan yang layak. "Siap, Bang! Dosennya baik, sih, mudah-mudahan enggak ribet ke depannya. Eh, abang masih kebagian jadi dosen pembimbing, ‘kan?” Aditya mengedikkan bahunya. "Belum tahu." Sudah 3 tahun terakhir, Aditya percaya menjadi salah satu dosen pembimbing skripsi beberapa mahasiswa. "Kemarin ini udah dikasih tahu kaprodi kalau tetap kebagian lagi, entah, abang belum dapat info lanjutan. Belum ada cek, mungkin hari ini." "Jangan galak-galak sama mahasiswa ya, Bang?" Aditya seketika menaikkan alisnya. "Aku punya teman yang udah duluan bimbingannya. Tapi, dia kebagian dospem yang galak begitu. Kalau sekedar galak doang mending, ini kayak dipersulit banget. Baru bab awal, udah stress banget teman aku tuh." "Nggak galak, cuma tegas. Teliti." Aditya telah menghadapi berbagai macam mahasiswa. Dia tak akan mempersulit mahasiswanya jika mahasiswa itu berusaha mengerjakan skripsi dengan baik, dan disiplin waktu juga. Yang tak menganggap sepele skripsi yang tengah dikerjakan. Aditya paling suka dengan mahasiswa yang tak disiplin, terutama perihal waktu. "Yaah... gitu, Bang. Intinya jangan mempersulit mahasiswa. Kami para mahasiswa ini cuma pengen cepat lulus dan cari kerja." Aditya terkekeh. "Abang juga pernah ngerasain di posisi kamu itu, Suk. Kerjain sesuatu—apa pun itu dengan sungguh-sungguh dan jangan pantang menyerah, nanti pasti akan mendapatkan hasil yang diinginkan walau bagaimana pun jalannya. Enggak ada hasil tanpa ada usaha." *** Aditya manggut-manggut membaca daftar nama mahasiswa yang akan bimbingan dengannya. Aditya tak asing dengan nama mereka semua, tapi lupa-lupa ingat dengan wajahnya. Kecuali ada satu mahasiswi yang dia ingat persis nama serta wajahnya. Bukan karena mahasiswi tersebut cantik, tetapi karena pernah dia berikan nilai C dan perempuan itu tak terima. Baru kali itu Aditya mendapati mahasiswi yang protes langsung kepadanya. Terang-terangan menghadapinya. Sebelumnya tak ada pernah ada mahasiswa seperti itu. Yaah... mungkin memang ada yang misuh-misuh di belakang, Aditya tak menampik itu pasti ada. Dan mahasiswi itu… adalah seseorang yang tak sengaja dia kesenggol mobilnya oleh Aditya semalam. Aditya tak akan berterus terang, malas berurusan dengan perempuan. Dia rasa, uang yang semalam diberikan olehnya sudah cukup. Aditya itu orang bengkel, jadi tahu berapa estimasi biaya kerusakan kendaraan. Usai mengetahui daftar mahasiswa yang akan dibimbingnya tersebut, Aditya menuju kantin. Dia hendak makan siang, sebelum ke bengkel. Bengkel milik temannya yang sedang Aditya usahakan menjadi miliknya, karena temannya sudah pindah ke Bali dan ada usaha lain di sana. Aditya sedang mengumpulkan uang untuk mengambil alih usaha temannya itu, tapi dia membutuhkan waktu. Bengkel tersebut adalah salah satu kerjaan sampingan Aditya yang membuat keluarganya percaya jika lelaki itu bisa menghasilkan uang selain jadi dosen, dan juga ada 'bisnis' bersama temannya. Proyek yang tak pernah Aditya jelaskan kepada keluarganya. Mereka semua cukup terima kalau segala kebutuhan dapat terpenuhi, begitu juga dengan pendidikan. Aditya juga meminta keluarganya untuk tak memikirkan urusannya, apa lagi perihal pasangan hidup. Aditya bilang jika dia akan menikah pada waktu yang tepat. Bila saat ini masih sendiri, berarti dia belum bertemu orang yang tepat pula. Tanpa keluarganya tahu, jika Aditya belum kepikiran untuk mencari pasangan karena beban yang ditanggungnya masih besar dan ada kerjaannya yang pastinya tak akan mudah diterima oleh pasangannya. Kerjaan yang penuh resiko. Langkah Aditya terhenti dengan kening berkerut mendengar obrolan mahasiswi yang sedang duduk membelakanginya. Kantin tak terlalu ramai saat ini, karena sepertinya kebanyakan mahasiswa sudah pulang. Perempuan itu terdengar sedang mengumpatinya. Pasalnya, hanya dia sendiri satu-satunya dosen yang bernama Aditya di fakultas ini. Sudah pasti dia lah yang dimaksud. Aditya dengan tangan bersidekap mendengar umpatan perempuan itu. Dia menatap tajam lawan bicara perempuan itu yang menyadari kehadirannya. Aditya mengenali suara perempuan yang sedang mengoceh tersebut, bentuk rambut—tubuhnya pun Aditya kenal, apa lagi baru semalam mendengar suara tersebut setelah sekian lama. Satu-satunya mahasiswi yang Aditya kenali nama dan wajahnya. Nama mahasiswi tersebut adalah Ratu Arsyila, seorang mahasiswi yang terkenal pintar, akan tetapi pernah dua kali telat pada mata kuliahnya saat semester lima lalu. Alis Aditya terangkat mendengar umpatan perempuan itu yang semakin menjadi-jadi. Aditya kemudian berdehem kencang seketika perempuan itu menoleh. Perempuan itu tampak pucat. Namun, dia masih bisa-bisanya berkilah. Apa? Latihan drama katanya? Mana bisa Aditya percaya jawaban tersebut? Sedangkan perempuan itu pernah menangis-nangis di hadapannya perihal tugas yang dikumpulkan telat, dan pernah juga misuh-misuh padanya tak terima mendapatkan nilai C. "Duh, kenapa Bapak ngeliatin saya kayak begitu banget? Bapak nggak percaya sama saya?” "Menurut kamu?" "Terserah Bapak aja lah. Yang penting, saya nggak ada niat ngatain Bapak." "Hmmm." Di saat Aditya hendak lanjut melangkah menuju penjual soto ayam, mahasiswinya itu memanggilnya. "Pak, saya kebagian dosen pembimbingnya itu Bapak, loh! Syukur lah, saya ketemu Bapak di sini. Enggak susah mencari-cari." Aditya menoleh. Kali ini dia mendapati ekspresi mahasiswinya itu berdiri dan tersenyum padanya. Nada bicaranya perempuan itu juga terdengar lembut. Tak seperti semalam. "Mohon bimbingannya ya, Pak?” Perempuan bernama Ratu itu memasang senyum manis. "Emm... saya boleh minta nomor HP Bapak? Nanti untuk tanya jadwal bimbingan. Atau, mungkin email?" Aditya tak menjawab. Dia hanya menatap Ratu datar, tanpa ekpresi. "Boleh minta nomor HP atau saya catat alamat email Bapak?" "Minta sama ketua kelas kamu yang dulu.” Ratu mengumpat di dalam hatinya. Kenapa harus minta kepada ketua kelasnya dulu? Kenapa tak langsung memberikan saja padanya saat ini? Ratu rasanya gatal sekali ingin mempraktikkan jurus taekwondo-nya kepada dosen menyebalkan dihadapannya ini. Sabar, Ratu… sabar. Orang sabar bakalan disayang Chanyeol dan Sehun! "Nggak bisa langsung kasih sekarang aja, Pak? Saya jarang ketemu dia dan juga nggak punya nomor— " "Ya kamu usaha lah!" Isshh... Ratu makin sebal dengan si Aditya ini. Meminta nomor ponsel saja, segitu ribetnya. Bagaimana dengan proses skripsinya nanti? "Siap, Pak! Nanti saya akan cari ketua kelas saya dulu." Ratu tetap memasang senyuman di wajahnya, padahal di dalam hatinya begitu dongkol sekali. Lalu, lelaki itu pergi begitu saja meninggalkan Ratu yang geram menatap punggung lebar lelaki itu. "Lo lihat sendiri gimana dosen yang lo puja-puja itu kan, Vik?" Ratu sudah kembali duduk, dan meneguk air mineral banyak. "Akhlakless dia itu! Nggak pantas dipuja orang yang kayak begitu. Nyebelin! Bikin ribet orang aja." "Wajar kata gue sih, Tu. Dia mau mahasiswanya ada usaha, meski itu hanya sekedar nomor HP." “Lo kok belain dia sih, Vik? Gue ini bestie lo dari zaman baheula, masa lo lebih mihak ke dia cuma karena mukanya itu?!” “Enggak memihak, Atu. Dia kan memang begitu, mau mahasiswanya usaha untuk apa pun itu. Kayak nerapin apa yang diinginkan, harus didapatkan melalui sebuah usaha.” Ratu mendelik. Tetap tak terima dengan jawaban Vika. Kemudian, tatap matanya tertuju kepada dosennya yang sudah duduk di sebuah kursi. Tak lama, seseorang mengantarkan semangkuk soto di hadapan lelaki itu. Ratu menatapnya dengan mata menyala, seolah ingin mencabik-cabik muka lelaki itu. Raut wajah Ratu berubah, tersenyum evil ketika mendapati lelaki itu berdiri dengan menempelkan ponsel di telinganya. “Bentar, Vik.” Ratu bangkit berdiri. Perlahan, dia menuju ke arah mejanya Aditya yang mana lelaki itu berdiri membelakangi mejanya. Agak menjauh juga posisi lelaki itu berdiri. Begitu tiba di sana, Ratu melihat ke arah sekitar. Ada wadah berisi sambal dan garam di dekat soto milik dosennya itu. Ratu memasukkan beberapa sendok garam ke dalam soto tersebut, lalu bergegas kembali ke tempat duduknya. Dia cekikikan sendiri. ”Dari mana?” tanya Vika yang tak melihat karena posisinya membelakangi meja sang dosen. ”Mau pesan jus tadinya, tapi nggak jadi.” Tatap mata Ratu tertuju pada sang dosen. Senyuman liciknya muncul saat melihat dosennya itu telah kembali duduk. Ratu menghitung di dalam hati. Satu… dua… tiga… Ratu tertawa ngakak melihat sang dosen yang baru saja menyendokkan makanan ke mulutnya, lalu menyemburkan makanan tersebut. Soto tersebut, pasti begitu asin. “Kenapa lo?” tanya Vika heran. ”Kepo!” Ratu langsung mengalihkan pandangan—berhenti tertawa ketika tatap matanya tak sengaja bertemu dengan si dosen itu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN