Bab 3 — Sang Penyelamat

1509 Kata
Aditya menyemburkan soto yang baru saja masuk ke dalam mulutnya. Rasanya begitu asin. Dia mengambil tisu, mengelap bibirnya dan pada saat itu tatap matanya bertemu dengan Ratu, mahasiswi yang akan bimbingan skripsi dengannya. Aditya merasa ditertawakan perempuan itu dari kejauhan. Lalu, perempuan itu segara membuang pandangannya. Sebelum mengangkat telepon, Aditya merasa hanya menambah sedikit garam saja pada mangkok soto tersebut. Kenapa jadi begitu asin rasanya? Apa sebelumnya takaran garam pada kuah soto itu sudah pas? Sudah berapa kali makan soto di kantin ini sejak dia mengajar, Aditya selalu menambahkan sedikit garam karena dirasanya kurang pas di lidahnya. Aditya pun bangkit berdiri, ingin mengganti yang baru. Tak apa jika harus membayar double. Mungkin saja memang salahnya yang tak mencoba dulu? Asal langsung memberi tambahan garam saja. "Saya kebanyakan kasih garam," ucap Aditya kepada penjual soto ketika memesan kembali. Aditya sedang ingin makan soto itu, ingin yang segar-segar. Tak menunggu lama, pesanan soto pun datang setelah Aditya duduk kembali. Aditya mencicipi soto tersebut sebelum menambahkan garam ke dalamnya. "Enggak asin." Lelaki itu bergumam. Lidahnya merasa kurang garam pada soto tersebut. Aditya pun menuangkan sedikit garam dari wadah di sebelah mangkok sotonya. Kembali mencoba, rasanya pas. Aditya mengernyit, kenapa tadi begitu asin? Sangat-sangat asin sekali rasanya. Aditya yakin jika dia juga menuangkan garam pada soto tersebut dengan takaran yang sama. Aditya mendongak dan saat itu matanya tak sengaja kembali beradu dengan mahasiswi yang tadi berbicara padanya itu. Apa sotonya yang terasa asin itu ada hubungannya dengan perempuan itu? Perempuan itu tampak tertawa-tawa beberapa saat lalu. Tapi... Aditya menggeleng cepat. Masa iya dia menuduh mahasiswinya yang menambahkan banyak garam pada sotonya, hanya karena perempuan itu tertawa ke arahnya dan membuang pandangan ke arah lain? Semisal iya, apa alasan perempuan itu melakukannya? Apa karena masih sebal gara-gara nilai C yang diberikannya kepada perempuan itu dulu? Serius, masih tak terima hingga saat ini dan menaruh dendam? Sampai tadi juga terdengar mengumpati dirinya? Aditya tak bodoh untuk percaya bahwa perempuan itu sedang latihan drama. Umpatan itu jelas-jelas tertuju padanya. Aditya geleng-geleng kepala. Dia tak akan memperpanjang masalah membuktikan jika perempuan itu yang benar-benar telah memasukkan garam berlebihan pada sotonya, mungkin saat dirinya mengangkat telepon tadi. Aditya tak punya waktu untuk mengurusi sesuatu yang baginya tak penting. Keculai, jika perempuan itu mencari masalah padanya saat bimbingan nanti. Mungkin Aditya akan bersikpa tegas kepada perempuan itu. Di meja lain, Ratu tersenyum puas setelah berhasil mengerjai dosennya itu. Hanya sejenak, tawanya kemudian surut mengingat beberapa bulan ke depannya akan sering berhadapan dengan dosen tersebut. "Si Aditya sialan itu bisa diajak discuss untuk judul skripsi yang gue ajuin nggak, ya?" keluh Ratu dengan sesekali menatap sebal ke arah Aditya yang tampak menunduk memakan soto yang baru dipesan lagi oleh lelaki itu. "Gue kebayang, dia bakalan mempersulit gue. Duh, rasanya gue di tahap pengen ngadep kaprodi minta ganti dosen pembimbing." "Ya kali, Atu. Dengan alasan apa lo minta ganti dosen pembimbing? Mau bilang kalau dia galak? Kaku? Atau apa?" "Tu lah, bingung gue. Lagi juga, masing-masing udah diatur begitu pembagian dosen pembimbingnya. Apa gue bakalan lulus lama gara-gara skripsi ini?" "Nggak lah, Tu. Pak Aditya nggak akan sekejam itu. Kalau kita benar ngerjainnya, masa iya dia persulit?" "Lo aja dapat nilai C juga kan waktu itu?" "Hmmm. Meski absen gue aman dan ngumpulin tugas, tapi nilai UTS dan UAS gue kayaknya rendah, Atu. Lo tahu, otaknya gue enggak secerdas elo." "Lo punya nomor ketua kelas kita waktu itu nggak, sih? Siapa Adam kan, ya? Lo tahu, gue nggak ada simpan nomor-nomor orang yang nggak penting." "Nggak ada. Udah gue hapus waktu itu," jawab Vika cepat. "Lo tahu nggak, dia itu pernah PHP'in gue?" "Eh, serius? Kok lo enggak pernah cerita?" "Elo sibuk waktu itu persiapan kompetisi taekwondo. Gue enggak pengen lo malah misuh-misuh dan bisa nendang itu cowok." "Sobi gue dimainin, ya pasti gue bakaln kasih pelajara lah!" Mau bagaimana pun Vika, sejak sekolah dulu hingga masuk ke kampus yang sama, Ratu sangat menyayangi perempuan itu. Tak boleh ada lelaki yang menyakiti orang-orang yang Ratu sayang. Saat Ratu dan Vika masih duduk di kantin, Aditya lewat beranjak dari sana usai menghabiskan sotonya. Ratu mendelik. "Sebel banget gue lihat muka itu dosen." "Sabar, Atu. Jangan terlalu benci, nanti cinta. Siapa tahu keseringan nanti berinteraksi selama bimbingan, jadi tumbuh benih-benih cinta di antara kalian." "Huekkk... " Ratu merasa mual mendengarnya. "Jauh-jauh! Ya kali gue jatuh cinta sama orang yang gue sebelin. Nggak akan! Gue tetap cinta sama biasnya gue, the one and only, Chanyeol. Tapi Sehun bisa dipertimbangkan juga, sih. Semua member EXO, sangat bisa gue pertimbangkan.” "Mulai halunya.” Ratu menyengir. ”Tapi, Tu, jodoh itu datang dengan tak terduga. Kali gitu, Tuhan membolak-balikkan hati lo dari benci menjadi cinta." "Amit-amit." Ratu mengetuk-ngetuk meja. "Masih banyak yang suka sama gue, jadi dia sama sekali nggak akan pernah masuk opsi calon pasangan gue. Lagi juga, udah tua! Gue masih muda banget begini, masa sama om-om jodohnya?" "Dia nggak kelihatan kayak om-om, kok. Masih 33 tahun itu, masih muda banget. Muka dia juga nggak kayak umur 30'an." Ratu berdecak. "Lo masih aja muji-muji orang itu. Heran gue." "Emang gitu faktanya, Atu." Vika ini salah satu pengagum berat Aditya memang. Suka lelaki yang cool begitu—tak banyak bicara. Vika mau-mau saja semisal dia nanti berjodoh dengan Aditya. Ratu mendengkus. Tetap tak terima nilai plusnya Aditya di mata Vika atau perempuan lainnya. Fakta apanya coba? Sudah berumur begitu, tetap saja om-om menurut Ratu. "Gue rasa, beneran nggak ada yang betah pacaran sama modelan Pak Aditya itu. Buktinya, dia masih lajang sampai sekarang, 'kan?" “Dia belum nemu seseorang yang pas mungkin. Atau mungkin merasa ada yang harus dikejar dulu, sebelum memutuskan menikah.” “Nggak laku, ya nggak laku aja.” *** Ratu sedang dalam perjalanan pulang, usai mengantarkan Vika. Dari kampus, tadi mereka ke salon yang berada di dalam mall. Dilanjut dengan menonton bioskop dan makan. Jam 9 lewat, Ratu baru beranjak dari rumahnya Vika. Layar ponselnya Ratu menyala dan memunculkan nama mamanya di sana. “Ya, Ma?” “Di mana, Atu? Udah jam setengah sepuluh, katanya tadi nggak lama ke mallnya.” “Tadi nonton dan makan dulu, terus nganterin Vika. Ini aku udah di jalan pulang, kok.” “Ya udah. Hati-hati bawa mobilnya.” “Siap, Ma.” Ratu pun meletakkan ponselnya. Mobil yang dikendarainya melaju dengan kecepatan sedang. Namun, tiba-tiba ada beberapa motor mepet ke mobilnya. Ada sekitar 3 motor. Ratu mengernyit. Apa itu begal? Jalanan yang Ratu lalui saat ini memang agak sepi. Meski pun jago taekwondo, tetapi Ratu waswas jika menghadapi banyak orang, apa lagi laki-laki. Ratu tetap berusaha tenang dan berdo’a, semoga bukan orang jahat yang hendak mencelakainya. Ketika Ratu baru saja mempercepat laju mobilnya, sebuah motor menyalip dan menghalangi jalannya. Motor itu berhenti di depannya persis, yang mana Ratu mau tak mau terpaksa rem mendadak. Dua orang turun dari motor di depan mobilnya. Darahnya Ratu berdesir. Dia langsung meraih ponselnya, hendak menghubungi sang kakak, Alvaro. Berharap sang kakak segera mengangkat teleponnya. Hingga dering sekian, kakaknya itu tak kunjung mengangkat telepon. Ratu pun menghubungi nomor sang papa, sementara kaca mobilnya digedor dari sisi kanannya. Ada lagi pengendara motor lain yang berhenti di depan mobilnya. Ada ada beberapa orang di depan mobil dan sisi kanan dan kiri mobilnya juga. Tentu saja Ratu pucat, gemetaran. “Pa, angkat dong, Pa… “ Papanya juga tak mengangkat teleponnya Ratu. Ratu menutup wajahnya saat menoleh sekilas dan mendapati kaca mobilnya hendak dipecahkan dari luar sana. Ratu hanya bisa pasrah dengan mulutnya komat-kamit berdo’a. Andai satu atau dua orang, Ratu akan coba melawan, tetapi saat ini orang-orang di sekelilingnya lebih dari itu. Ingin tancap gas menabrak, takut dianya nanti yang akan disalahkan sebagai pengendara mobil. Tak ada bunyi kaca pecah keras dan mengenainya. Ratu pun membuka matanya perlahan. Dia tak mendapati orang-orang yang ingin memecahkan kaca mobilnya barusan. Gerak matanya mengarah ke depan, Ratu dapati sebuah motor sport bersebelahan dengan dua motor yang dia lihat sebelumnya. Seorang lelaki memakai pakaian serba hitam dan sebuah buff menutupi wajahnya tengah melawan orang-orang itu. Siapa kah dia? Jagoan sekali sepertinya lelaki itu, hingga tak gentar menghadapi enam orang sekaligus. Tetapi, Ratu khawatir melihatnya. Takut tiba-tiba lengah dan dihajar gara-gara menolongnya. “Turun nggak, ya? Bantuin dia? Kali gue bisa.” Setelah mengumpulkan niatnya, Ratu pun ikut turun. Benar, lelaki pakaian serba hitam itu hendak dipukul dengan sebuah kayu dan untung saja Ratu bergerak cepat mengeluarkan jurus tendangannya. Orang itu pun tersungkur. Sementara yang lainnya sudah bertumbangan. Satu-persatu pun perlahan bangkit menuju motor—kabur dari sana. “Terima kasih,” ucap Ratu pada lelaki itu. Tatapan mata mereka bertemu, Ratu rasanya tak asing dengan mata lelaki itu. Sulit mengenali dengan jelas karena buff yang digunakan lelaki itu hampir menutupi keseluruhan wajah, kecuali bagian mata saja. Lelaki itu tak menjawab, langsung mengalihkan pandangan. Dia pun menaiki motornya. “Rumah kamu di mana? Saya akan ikutin mobil kamu dari belakang. Takut orangnya balik lagi,” ucap lelaki itu menoleh kepada Ratu, sebelum melajukan motornya. Suara itu… sepertinya tak asing? “Buruan!” Terdengar decakan dari lelaki itu. “Saya juga mau ada urusan.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN