Bab 17 — Kali Kedua

1649 Kata
Ratu mengerjap-ngerjap. Apa dia tak salah dengar? Seorang Aditya yang terkenal kejam dan pelit nilai terhadap mahasiswa itu, meminta maaf padanya? "Bapak bilang apa barusan?" Ratu ingin memastikan bahwa indera pendengarannya tidak salah. Barangkali, telinganya ada sedikit masalah ketika berhadapan dengan lelaki itu. "Coba ulangi lagi, bisa?" Aditya menarik napas pelan. Ingat akan pesan dari adiknya tadi. "Saya minta maaf soal kata-kata yang saya sampaikan tadi." "Saya enggak salah dengar ternyata." Ratu tekekeh kecil. Hanya sejenak, kemudian dia mendongak menatap lelaki itu. "Tulus nggak itu minta maafnya? Apa jangan-jangan karena disuruh sama Sukma aja?" "Saya mengaku salah." Ini sangat luar biasa sekali menurut Ratu. Seorang Aditya meminta maaf padanya? "Lain kali jangan diulangin begitu lah! Jangan asal kalau ngomong!" Ratu tak ada takut-takutnya berbicara dengan nada sebal kepada lelaki itu. "Ya." Aditya menahan diri untuk tak menjawab bagaimana perempuan itu yang mengumpatinya waktu itu di kantin kampus. Umpatan yang jelas-jelas tertuju padanya. Bukan latihan theater yang seperti perempuan itu bilang. "Apa saya sudah dimaafkan?" "Oke lah, dimaafkan." "Gimana tangan kamu?" Pandangan Aditya teralih pada jemari tangan kiri perempuan itu. "Nggak apa-apa, cuma luka kecil aja." Ratu menyahut datar. Tak mau berbicara lebih lama lagi dengan lelaki satu itu panjang lebar, Ratu segera berlalu. Dia tetap saja tak suka—malas berhadapan dengan lelaki itu. Memang sudah begitu sejak kuliah semester lima lalu. Sedangkan Aditya, lelaki itu menggeleng sekilas atas respon perempuan itu. Dia pun kembali melangkah menuju kamar mandi. Ratu pun memasuki kamarnya Sukma kembali. Di sana, tampak Sukma sudah menggunakan sebuah cardigan untuk melapisi piyama yang dikenakannya. "Aku selama ini sebenarnya belum pernah berobat, Tu. Aku jarang sakit. Cuma kali ini aja dua hari demam, tapi panasnya nggak turun-turun." "Makanya, sekarang berobat." "Iya." "Suk, barusan aku ketemu abangmu dan dia minta maaf sama aku. Itu kamu yang nyuruh, ya?" Sukma tersenyum tipis. "Aku cuma negor tadi waktu kamu masih tidur. Kok bisa-bisanya dia ngomong begitu sama kamu, kan aku nggak terima. Tapi, ya... dia ngaku salah, sih." Ratu manggut-manggut saja. Aditya mengaku salah? "Gimana dia minta maafnya?" tanya Sukma penasaran. Pasalnya, Sukma tahu persis jika sang kakak sangat lah kaku berbicara dengan perempuan mana pun selain keluarga. "Ya... gitu." Ratu menggeleng. "Dah lah, kita jalan sekarang yuk!" Sukma mengangguk. Sukma mengikuti langkah kaki Ratu menuju keluar kamar. Seulas senyuman mengembang di bibirnya. Andai abangnya nanti memiliki kekasih, Sukma ingin perempuan itu juga dekat dengannya. Yang apa adanya seperti Ratu ini. Ratu yang ceplas-ceplos, akan tetapi terlihat baik tanpa dibuat-buat. Bahkan, perempuan itu juga tak sungkan untuk bercerita apa yang tidak disukainya. Misal, kesal pada abangnya Sukma sendiri. Sosok perempuan bernama Ratu itu memang unik, menyenangkan. Jarang ada perempuan yang cantik dan kaya seperti itu. "Oh ya, belum bilang sama ayah dan abangnya kamu, 'kan?" Ratu berbalik badan menghadap Sukma ketik baru saja keluar pintu kamar. "Iya. Kita pamit dulu." Sukma melangkah menuju kamar yang biasa ditempati ayahnya. Pintu kamar itu terbuka, namun tak terlihat siapa pun di sana. Lalu, Sukma melihat pintu depan terbuka. Sepertinya sang ayah dan kakaknya tengah berada di teras. "Lagi pada di depan kayaknya," ujar Sukma kepada Ratu. Keduanya pun menuju ke depan. Benar, ada Aditya di sana yang duduk di sebuah kursi plastik dan ayahnya yang berada di kursi roda. Ayah dan anak itu spontan menoleh begitu menyadari keberadaan Ratu dan Sukma di dekat mereka. "Ayah, Abang, aku mau berobat ke klinik. Di antar sama Ratu," ujar Sukma kepada kedua orang itu, yang diangguki sembari tersenyum oleh Ratu. Aditya agak mengernyit. Pasalnya, selama ini sang adik tak pernah mau diajak berobat jika sakit. Sukma hanya akan meminum obat dan vitamin yang dibelikan olehnya dari apotik saja. Sekalinya perempuan itu ke klinik, karena kemarin ini kesenggol motornya oleh Ratu. Bukan sakit seperti saat ini. Apa ini karena diajak oleh Ratu? Aditya menoleh kepada perempuan bernama Ratu tersebut. Belum lama saling mengenal dengan adiknya, Ratu sudah bisa mempengaruhi adiknya itu. Tidak... bukan hal yang negatif. Aditya terus menatap Ratu dalam diam. Dan saat tatapan keduanya bertemu, Ratu langsung membuang pandangan. Aditya tahu, perempuan itu tidak menyukainya. Mungkin dimulai sejak kuliah pada beberapa semester lalu. Padahal, menurut Aditya, dia hanya menjalankan tugasnya sebagai dosen yang tegas dan disiplin. Tidak memandang siapa pun mahasiswanya. "Berobat? Tumben kamu mau diajak berobat?" Hadi, ayahnya mereka menyahut. Dia samanya juga seperti Aditya, heran jika Sukma mau diajak berobat saat demam begini. Sesuatu yang dianggap sebagai penyakit sepele oleh anaknya itu selama ini. Selalu bilang, "cuma demam doang, nanti juga sembuh sendiri". Sukma menoleh sekilas ke arah Ratu dan tersenyum. "Ya, enggak apa-apa." *** Ratu meneguk salivanya, bahkan matanya membola juga. Niat hendak ke kamar mandi, dia sampai menghentikan langkahnya begitu melihat Aditya yang keluar dari dalam sana dengan tampilan shirtless. Matanya Ratu sampai tak berkedip melihat lelaki itu, layaknya melihat seorang idol Koreyah yang sedang shirtless. Badan Aditya begitu bagus. Dua kali bertubrukan dengan sesuatu yang keras itu, ternyata isi dalamnya begitu. Tak hanya Ratu saja yang menghentikan langkahnya, Aditya juga. Hingga lelaki itu yang melangkah lebih dulu melewati Ratu, tanpa menyapa perempuan itu. Apa itu barusan? Wow!!! Ratu mengerjap-ngerjap. Sebagus itu badannya dia? Beneran kayak idol Koreyah gue? Eh, enggak... enggak. Nggak boleh dia itu disamain sama idol gue! Idol gue ramah dan baik ke semua pacar halunya. Menggeleng cepat, Ratu pun melangkah menuju kamar mandi. Di dalam kamar mandi hingga keluar, Ratu masih saja kebayang bentukan dadanya Aditya yang keras itu. Kenapa sih, gue? "Ratu... " Tepukan pelan pada bahunya membuat Ratu menoleh. "Aku mau langsung pulang aja ya, Suk. Enggak enak, udah dari tadi di sini. Yang penting, udah nganterin kamu berobat." "Ratu nggak mau makan dulu di sini?" Hadi, ayahnya Sukma datang dengan kursi roda menghampiri keduanya di dekat kursi di depan TV. "Enggak usah, Om, terima kasih. Aku makan di rumah aja nanti." Sekarang sudah menunjukkan pukul tujuh malam, Ratu dan Sukma yang baru saja pulang dari klinik. Ratu ingin segera pulang, tak enak kelamaan di rumah ini. Apa lagi ada sosok lelaki disebalkannya di dalam rumah ini. "Lama lagi nanti sampai di rumahnya kamu. Makan di sini aja dulu, abangnya Sukma udah bikin capcay dan ayam goreng. Suka nggak kamu?" Sudah ada ayam dibumbui yang ditaruh di freezer, jadi Aditya menggoreng ayam tersebut. Untuk sayur, dia memang ahli membuatnya. "Iya, Tu. Makan dulu aja." Sukma menimpali. "Nanti nyampe rumah tinggal mandi dan istirahat, tidur." Ratu tak enak menolak tawaran dari ayah sahabatnya itu. Waktu kali pertama menolak makan bersama, dia sedang buru-buru hendak bertemu Vika dan juga merasa segan berada di rumah asing. Namun, sekarang dia sudah merasa begitu dekat dengan anak perempuan dari pemilik rumah ini. Ratu akhirnya mengangguk, sekalian ingin tahu seperti apa rasanya masakan dosen pembimbingnya itu. Apa benar lelaki itu bisa memasak? Multitasking sekali, bisa melakukan tugas apa pun di rumah. Dan di luar rumah mencari uang. Tak dipungkiri, diam-diam Ratu sedikit kagum kepada lelaki itu. Dibalik sikap minusnya yang menurut Ratu kejam terhadap mahasiswa, lelaki itu layak disebut sebagai family man. Sukma tersenyum senang. "Aku siapin makan sekarang, ya!" Perempuan itu hendak bangkit dari kurs, namun Ratu menahan pergelangan tangannya. "Biar aku aja." Ratu menggeleng, lalu tersenyum. "Kamu masih lemas, Suk. Duduk aja di sini." "Aku jadi enggak enak sama kamu. Ngajakin kamu makan, kamu pula yang repot." "Enggak apa-apa, kan kamu lagi sakit. Emm... kita makan di sini aja? Di karpet ini, atau di dapur?" "Di sini aja, Tu. Di karpet sini." Ratu mengangguk, kemudian berlalu menuju dapur. Dia tak keberatan menyiapkan makan bersama keluarga ini. Lagi juga, siapa lagi perempuan di rumah ini selain Sukma? Masa iya ratu membiarkan Sukma yang masih terlihat pucat dan lemas itu yang menyiapkan. Baru saja tiba di dapur dan sedang mengambil piring-piring, Ratu menoleh begitu menyadari Aditya berada di dekatnya. Lelaki itu mengambil sebuah wadah besar yang sepertinya akan digunakan sebagai tempat nasi. Kedua orang itu di belakang saling tak bertegur sapa, tersenyum pun tidak. Ratu ogah menyapa duluan. Karpet telah digelar lebih lebih di depan oleh adik bungsunya Aditya yang baru pulang belajar kelompok di rumah temannya. Lelaki itu mengganti baju sejenak, lalu kembali berkumpul bersama semuanya. Beda dengan Aditya, Ratu senang dengan adiknya Sukma yang masih duduk di bangku SMA itu. Lelaki itu ramah dan banyak berbicara, kadang melemparkan candaan juga kepada Ratu. Suasana malam di rumah sederhana itu tampak begitu hangat. Walau bukan jenis makanan mewah yang terhidang, tapi semua orang di sana tampak menikmati makan tersebut. Tanpa Ratu sadari, dia menyukai masakan Aditya. Dia tak banyak mengambil nasi, akan tetap menambah capcay buatan lelaki yang disebalkannya tersebut. Dan Aditya diam-diam mengamati perempuan itu. Empat orang di sana banyak berinteraksi melalui obrolan kecil yang membuat suasana malam menjadi ramai, tidak dengan Aditya yang lebih banyak diam. Tak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Ketika Ratu hendak pulang, hujan turun dengan derasnya. Hujan yang disertai dengan angin yang sangat kencang. Ditambah lagi suara petir yang menggelegar, membuat suasana malam tampak menyeramkan. Ratu ditawarkan menginap oleh Sukma, tetapi dia menolak. Ratu tetap ingin pulang. "Di antar sama Bang Adit aja, mau nggak, Tu? Takut di jalan ada pohon yang tiba-tiba roboh atau apa gitu, serem aku lihat di luar hujan angin petir begitu." Ratu diam sejenak, tampak sedang berpikir-pikir. "Bang, bisa anterin Ratu pulang, 'kan?" Belum Ratu menyahut, Sukma sudah kembali bersuara begitu melihat abangnya jalan melintas di depan TV, hendak menuju ke luar. Aditya melirik Ratu sekilas, dan kedua mata mereka bertemu. "Kamu mau di antar pulang?" Ratu menggigit bibir bawahnya. Sebenarnya malas sekali berada di dalam mobil yang sama dengan dosen pembimbingnya itu. Seperti kala itu mengantarkannya ke rumah sakit, sunyi senyap dan ingin membuka obrolan juga enggan rasanya. "Kalau nganterin saya pulang, Bapak gimana baliknya?" Meski Sukma meminta Ratu memanggil Aditya dengan sebutan abang di luar urusan kampus, tetap saja Ratu tak bisa melakukannya. Lagi pula, Ratu merasa Aditya itu memang pantas dipanggil dengan sebutan 'Bapak'. Mengingat umur dari lelaki itu yang tak lagi muda. Seumuran Aditya begitu, rata-rata telah memiliki anak. "Banyak kendaraan online, gampang."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN