Bab 10 — Bab Satu Skripsi

1865 Kata
Meski pun bekerja bersama seorang mafia itu tak baik, namun Aditya masih membutuhkan pekerjaan itu. Sedikit lagi saja. Dia pasti akan keluar dari kubungan lumpur itu suatu saat nanti, tapi tidak dengan dikeluarkan begitu saja seolah dirinya melakukan suatu kesalahan. Aditya selama ini selalu sungguh mengerjakan apa pun yang disuruh oleh bosnya tersebut. Besar dugaannya, ada seseorang yang tak suka kepadanya. Mungkin karena terlihat jika dia dekat dengan bos dan sering diandalkan dalam hal apa pun? Mendapatkan sesuatu yang lebih dari lainnya? Sungguh, Aditya tak tahu siapa yang ingin dia curigai. Semua terlihat baik di depan. Di belakang? Tak ada yang Aditya bisa percaya kecuali keluarganya sendiri di dunia ini. Namun, dia tak mungkin berbagi keluh kisahnya dengan sang keluarga. Aditya tak ingin berbagi beban dengan keluarganya. Harusnya beberapa hari lagi ada misi mengawal proses pengawalan barang di sebuah pelabuhan di daerah Jawa, akan tetapi beberapa hari lalu bosnya malah berkata seperti itu. Meminta dirinya untuk tak datang ke markas. Aditya tak tahu, apa ini akan selamanya atau sesaat saja. Tapi, bersyukur juga sang bos tak seperti biasanya. Tak langsung 'dor' dirinya. Entah kenapa bosnya itu malah terkesan memberinya waktu. "Bang… “ Aditya tersentak kala merasakan sebuah tepukan pada bahunya saat dia duduk di teras rumah. Menoleh, dia mendapati Sukma yang mendudukkan diri di sebelahnya. "Ngelamun apa malam-malam?” “Bukan apa-apa.” Sukma menatap sang kakak dengan mata menyipit. “Lagi mikirin pacar, ya?” Aditya terkekeh. “Mana ada!” “Abang tuh selama ini pernah pacaran nggak, sih? Abang normal, ‘kan?” “Sembarangan kamu kalau ngomong.” Aditya menoyor kening adiknya itu. “Nggak pernah pacaran, bukan berarti nggak normal. Emang belum pengen aja.” “Belum pengen? Bang, Abang itu udah 33 tahun lo! Masa belum pengen punya pasangan? Kenapa sih, Bang? Karena Abang merasa masih harus bertanggung jawab atas kami semua, jadi Abang nggak mau punya pasangan dulu?” “Nggak gitu, Dek… “ “Terus, kenapa?” “Abang hanya belum menemukan seseorang yang tepat.” Jawaban kakaknya itu membuat Sukma geleng-geleng kepala. Sukma bukan anak kecil lagi, sudah 22 tahun. Dia tak akan percaya begitu saja dengan kata-kata yang keluar dari mulut sang kakak mengenai alasan kenapa belum memiliki pasangan hingga saat ini. Sukma tahu, kakaknya bekerja keras untuk memenuhi segalanya. Kakaknya yang ingin semua adiknya menyelesaikan kuliah, baru mencari pekerjaan setelahnya. Tak boleh hanya sampai SMA saja. “Abang terlalu keras sama diri Abang.” Sukma bukan bertanya, melainkan berujar dengan nada getir menilai bagaimana kakaknya itu. “Padahal, Abang juga berhak mencari kebahagiaan sendiri. Nggak cuma mikir gimana kami adek-adeknya Abang, dan juga ayah. Nggak apa-apa kalau Abang ingin menikah, jangan merasa terbebani dengan kami semua. Aku yakin kami semua akan baik-baik aja.” Aditya menggeleng. Dia belum bisa membayangkan sebuah pernikahan saat ini. Walau Sukma akan lulus sedikit lagi dan tinggal Dio saja tanggungannya selain sang ayah, tetap tak semudah itu baginya menemukan seorang pendamping yang bisa menerimanya apa adanya. Semisal benar-benar sudah terlepas dari pekerjaan kotor itu nanti pun, dia harus punya kerjaan lain untuk menghidupi perempuan yang akan menjadi pasangannya. Butuh biaya yang tak sedikit, karena sampai kapan pun biaya ayahnya masih akan ditanggung olehnya. Dan Aditya tak ingin membawa anak orang hidup susah bersamanya. Menikah itu bukan hanya sekedar cinta saja yang diperlukan. Sedangkan Aditya juga merasa belum settle, meski usianya tak lagi muda. Uang yang diperolehnya dengan bekerja keras, dari dulu selalu ditujukan untuk memenuhi segala kebutuhan adik-adik dan ayahnya. Jika memiliki pasangan, Aditya harus memiliki pendapatan yang bisa mencukupi segalanya. “Nggak usah khawatir soal Abang, Dek. Abang akan menemukan pasangan pada waktunya nanti.” “Tapi kapan, Bang? Abang sadar kan, kalau Abang itu udah enggak muda lagi??!” Sukma sedih. Dia awalnya juga ingin langsung mencari pekerjaan begitu lulus sekolah kala itu, tetapi sang kakak melarang. Meminta dirinya agar melanjutkan ke jenjang kuliah, baru setelah itu mencari kerja. Sukma sebenarnya tak tega melihat bagaimana abangnya yang bekerja keras untuk memenuhi segalanya, tanpa pernah mengeluh. Ya… sekali pun abangnya itu tak pernah mengeluh beban hidup yang ditanggungnya. “Aku akan segera lulus, nanti setelahnya bekerja dan bisa membantu therapinya ayah dan lain-lain.” “Iya… iya. Kamu tenang aja. Saat ini, Abang memang belum ada nemu seseorang yang ingin Abang jadikan pasangan.” “Gimana mau nemu kalau Abangnya enggak nyari?” Aditya memang tak pernah berniat mendekati perempuan mana pun hingga saat ini. Waktu itu dia berpikir, waktunya habis untuk bekerja mencari uang dan tak ada waktu untuk dekat dengan perempuan mana pun. Mana ada perempuan yang mau jika dirinya tak punya waktu untuk haha hihi, hanya sibuk untuk bekerja dan urusan keluarga saja? Pernah memang suatu hari dia menyukai seseorang. Namun, hanya sekedar mengagumi saja tanpa berani mendekati. Merasa tak pantas dan tak punya waktu untuk cinta-cintaan. Lalu, entah sudah ke mana perempuan yang disukainya waktu masih kuliah tersebut. Setelah itu tak ada lagi dia menyukai perempuan mana pun, apa lagi kesibukannya bertambah saat ibunya meninggal dan ayahnya hanya bisa duduk di kursi roda. Beban di pundaknya Aditya semakin berat. “Abang enggak pernah nyari kan selama ini?” lanjut Sukma menuntut jawaban saat sang kakak yang diam saja. “Apa mau aku dan yang lainnya cariin? Kali ada temannya Kak Yeyen atau Kak Lusi yang single, sedang mencari pasangan. Atau mau sama teman kuliahku? Nggak apa-apa beda usia jauh juga.” “Abang bisa cari sendiri, Dek.” “Nggak meyakinkan. Mana buktinya? Sampai sekarang aku nggak pernah lihat Abang dekat dengan perempuan mana pun.” “Nggak semudah itu mencari pasangan.” “Aku tahu itu, Bang. Emang enggak mudah. Tapi kan bisa usaha dulu aja.” Aditya menyahut dengan sebuah deheman. “Jangan terlalu dingin juga jadi cowok, Bang. Yang aku lihat, Abang itu selain dengan kami ini, kayak menjaga jarak banget dengan perempuan mana pun. Jangan-jangan, sama mahasiswi di kampus pun, Abang bersikap kayak di novel-novel gitu, ya? Jadi dosen yang dingin—kaku begitu? Menyebalkan bagi para mahasiswa?” “Kebanyakan baca novel kamu itu.” “Bang, aku serius nih, emang nggak ada satu mahasiswi pun yang Abang taksir selama mengajar atau jadi dosen pembimbing? Kan kalau kebagian membimbing mahasiswi, face to face tuh.” “Enggak ada.” Eh tapi, kenapa Aditya tiba-tiba terbayang wajahnya Ratu? Mahasiswi yang terlihat sekali tak menyukainya itu. Sukma mengerucutkan bibirnya sebal. “Selama bertahun-tahun, enggak ada satu pun? Abang beneran normal nggak, sih?” “Mulai lagi.” Kembali Aditya toyor kening adiknya itu. “Habisnya, masa nggak ada satu pun dari dulu perempuan yang menarik perhatian Abang? Eh, Bang, si Ratu yang 3 hari lalu itu cantik banget loh! Kayak begitu, Abang nggak tertarik juga emangnya?” “Ratu?” Sukma mengangguk. Baru kenal, Sukma sudah menyukai sosok perempuan yang banyak bicara itu. Ratu itu menyenangkan. “Cakep banget dia. Udah gitu, orangnya baik dan asik. Anak orang kaya, tapi enggak sombong. Sejak hari itu, aku sering chat’an sama dia, Bang. Dia setiap hari nanyain kondisiku. Terus, kapan-kapan katanya mau ngajak aku nongkrong bareng atau ngemall.” “Dia memang cantik.” Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutnya Aditya. “Tapi Abang nggak akan mencari pasangan yang usianya jauh lebih muda. Apa lagi yang levelnya jauh di atas Abang. Ratu itu anak orang kaya raya, sangat nggak cocok dengan laki-laki seperti Abang begini. Udah beda jauh dari segi umur, ada kesenjangan sosial yang begitu jomplang.” Aditya mengakui jika perempuan bernama Ratu Arsyila itu memiliki paras yang cantik. Tak hanya itu, dia juga merupakan perempuan yang cerdas. Tetapi, Aditya sama sekali tak tertarik kepada perempuan yang usianya jauh di bawahnya itu. “Nggak usah repot cariin Abang pasangan, nanti juga ketemu sendiri.” *** Semingguan ini, Ratu telah bekerja keras. Dia mengerjakan skripsi di mana saja, di rumah, di area kampus atau di cafe. Ratu selalu membawa laptop ke mana-mana. Hari ini dia akan menghadap dosen pembimbingnya untuk bimbingan bab satu yang telah dikerjakannya. Siang ini, bimbingannya di ruangan sang dosen. Ratu ke kampus sendirian saat ini, tanpa Vika. Sahabatnya itu belum memulai bab satu, baru acc judul kemarin ini. Minta ditemani saja, Ratu tak tega karena Vika juga sibuk menjaga adiknya berganti dengan orang tuanya perempuan itu. Adiknya Vika baru keluar dari rumah sakit pada 4 hari yang lalu. Ada sekitar 3 harian adiknya itu berada di rumah sakit. Keluar dari mobilnya, hangatnya matahari langsung menerpa bagian kulitnya Ratu yang tertutupi oleh blouse sampai sikut yang dikenakannya. Langkahnya terayun menuju ruangan sang dosen. Ratu dari tadi memasang alarm berkali-kali, memastikan dia tidak telat sedikit pun. Ingat akan telat 5 menit dulu pada semester lima, saat itu dirinya tak diperbolehkan masuk oleh sang dosen. Demi apa pun, hanya 5 menit saja, tetapi tak ada toleransi sedikit pun. Sebelum memasuki ruangan, Ratu mengirimkan pesan terlebih dahulu untuk memastikan apa kah sang dosen sudah ada di dalam ruangannya. Tak menunggu lama, pesan Ratu pun dibalas. Ratu langsung bergegas menuju ke ruangan dosen tersebut. “Siang, Pak.” Suara Ratu mendayu lembut, tak lupa dengan seulas senyuman di wajahnya. “Siang.” Aditya menyahut dingin. “Silahkan duduk.” Ratu mengangguk, duduk di kursi di depan Aditya. “Sudah selesai mengerjakan bab satunya?” “Sudah, Pak.” Ratu pun mengeluarkan beberapa lembar file dari dalam map file yang dibawanya, lalu menyerahkan lembaran tersebut kepada Aditya. “Coba kamu jelaskan secara singkat saja, apa yang kamu kerjakan,” ucap Aditya sambil melihat lembaran bab satu yang dikerjakan oleh Ratu. Ratu pun menjelaskannya perlahan. Namun, meski mencari bahan dan mengerjakannya sendiri, tetap semua tak langsung hapal di luar kepala. Ada sedikit yang miss. “Kamu yang mengerjakan ini sendiri, ‘kan?” tanya Aditya dengan alis terangkat. Maksudnya bertanya begitu? Sabar, Atu… jangan emosi. “Saya yang mengerjakan itu sendiri, Pak. Tanpa bantuan. Ta-pi, maaf, saya agak lupa sedikit. Tapi, benar, itu saya cari bahan sendiri. Mikir dan ngetik sendiri nyusun kata-katanya.” “Lanjut!” Ratu pun meneruskan penjelasannya tentang isi bab satu tersebut. Dan setelah selesai Aditya melemparkan beberapa pertanyaan. Lelaki tampak sesekali mengangguk, dan Ratu hanya bisa menahan napas saat melihat beberapa coretan pada lembaran yang dikerjakannya. Itu artinya harus direvisi. Sekitar hampir 20 menit Ratu berada di ruangan tersebut. “Hari Senin, saya tunggu revisiannya,” ujar Aditya menyerahkan kembali lembaran bab satu skripsonya Ratu. Yang telah dia tandai mana saja yang harus direvisi. “Baik, Pak. Terima kasih.” “Jangan suka mengumpat di belakang selesai bimbingan dengan saya,” ujar Aditya yang seolah bisa membaca apa yang ada di dalam pikiran mahasiswinya itu. “Enggak kok, Pak. Mana ada saya berani mengumpati seorang dosen?” “Hmmm.” Ratu pun bersiap hendak keluar ruangan tersebut dan Aditya memperhatikan pergerakan perempuan itu. Tak menyangka, perempuan kecil lucu menggemaskan dulu yang sering menarik-narik tangannya mengajak main dan menyebut dirinya ganteng, sekarang malah suka mengumpatinya. Sangat terlihat jika sebal padanya. “Saya permisi dulu, Pak. Terima kasih.” Begitu keluar dari ruangan dosen tersebut, Ratu meraih ponselnya. Dia melihat ada notifikasi pesan dari Sukma, adik dari sang dosen menyebalkan yang menurut Ratu berbanding terbalik dari sang kakak. Sukma itu asik, menyenangkan membahas apa pun dengan perempuan itu meski mereka berdua baru kenal. Sukma Gimana bimbingannya, Tu? Abangku enggak galak, ‘kan?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN