"Mulai hari ini, nggak ada yang namanya main-main lagi buat kamu. Saya udah siapkan meja kerja khusus dan kamu akan saya pantau selama jam kerja."
Otak Aleta mendadak kosong.
Apa-apaan ....
Ada meja dan kursi yang tiba-tiba muncul di sudut ruangan kerja Danu, persis beberapa langkah di belakangnya. Sebelumnya, sudut kecil itu terdapat sebuah meja dengan mesin fax di atasnya, sekarang, mesin fax dipindahkan entah ke mana.
"Apa kamu mengerti, Aleta?"
"Tapi, Pak, salah saya apa? Saya cuma ngobrol sambil ketawa aja masa kena sanksi juga?" Aleta menatap Danu tak habis pikir, jangankan hanya mengobrol sambil tertawa, Aleta hanya duduk diam aja salah.
Sepertinya bagi Danu, eksistensi Aleta yang salah di dunia ini.
"Sudah saya katakan, kamu perlu bimbingan. Sikap kamu nggak berkembang dari awal kerja."
"Iya, Pak, saya juga lagi berusaha membaur. Bapak sendiri yang bilang kalau saya masih harus belajar sama Bagas. Kenapa sekarang saya dipisahin sama dia?" Aleta mencoba membela diri.
Mendengar kalimat terakhir, kening Danu mengernyit tidak suka. Kata-kata itu sepertinya agak salah untuk didengar.
Danu meletakkan penanya, dan tangannya bertumpu di bawah dagu. "Saya yang akan ajarkan kamu."
Aleta tercengang lagi.
Pandangan Danu lurus menusuk, sedikitpun Aleta tidak merasakan kehangatan dari tatapan itu, dan membuatnya menggigil. Meskipun Danu hanya menatap Aleta sementara lalu kembali sibuk ke pekerjaannya lagi, tapi aura dinginnya masih terasa di sekeliling ruangan. Dan dia membiarkan Aleta berdiri dengan bingung seperti patung.
Di sini Aleta tidak tahu, apa yang harus dia lakukan setelahnya. Pergi? Tetap berdiri? Atau duduk di kursi baru?
'Astaga, punya bos mantan pacar sendiri gini amat,' batin Aleta sedih.
"Kenapa kamu masih berdiri? Kembali bekerja." Danu memarahinya.
"Di ruangan ini, Pak? Atau ..."
"Di lubang hidung kamu," kata Danu sarkas.
Jika sedang bercanda, kalimat itu mungkin lucu, tapi saat ini Danu tidak bercanda yang membuatnya tampak menyeramkan.
Bahkan kalimat itu masih belum membuat Aleta merasa jelas. Dia memberanikan diri bertanya lagi, "Iya, maksud saya, di ruangan saya atau di ruangan Bapak, gitu?"
Danu kembali mendongak dari file kerjanya, tampak tak sabar.
"Di pangkuan saya, Aleta." Nada suara Danu mulai menekan. "Kalau kamu punya nyali, sini duduk di pangkuan saya. Terlalu banyak tanya kamu ini."
"Ya, saya sih mau-mau aja duduk di pangkuan Bapak." Aleta tersenyum kering.
"Ngomong apa kamu?"
"Nggak, Pak. Nggak apa-apa. Jadi saya mulai kerja di ruangan ini sekarang, Pak?"
"Tahun depan."
"Ah, Bapak, bercanda aja." Aleta tertawa kikuk, tapi dia masih berdiri dengan ragu-ragu ingin duduk atau tidak.
Masalahnya, jika dia duduk di ruangan Danu, dia pasti akan menjadi bulan-bulanan Danu lebih parah. Tidak berada satu ruangan saja dia diomeli terus, apalagi satu ruangan?
Meskipun ini bagus untuk perkembangan hubungan mereka ke depannya. Tapi Aleta juga tidak setegar itu diteriaki Danu setiap saat.
"Kenapa kamu masih diam? Apa begini saja kamu harus dibimbing?"
Aleta tidak sempat menjawab karena Danu sudah berdiri menghampirinya dan begitu saja tangannya ditarik oleh lelaki itu. Aleta pikir dia akan dimarahi, tapi dia didorong duduk di kursi barunya dengan kasar. Saat mendongak, dia melihat wajah Danu persis di depannya, dengan kedua tangan yang menahan sandaran kursi.
Ditatap dalam jarak sedekat itu, jantung Aleta berdegup dengan cepat. Dia tidak berharap Danu mendengarnya, atau mungkin Danu sudah mendengar karena suara itu terlalu keras.
Kali ini napas Danu yang hangat dan harum, menerpa wajah Aleta sehingga kulitnya yang sensitif segera bergidik. Dia menutup matanya erat-erat.
"Kenapa kamu nutup mata?" tanya Danu kemudian.
Aleta masih tidak membuka mata, memalingkan wajah. "Pak Danu terlalu dekat."
Terdengar derit kursi dan tekanan yang menghilang dari sana. Danu sudah berdiri sambil bersedekap saat Aleta membuka mata.
"Lain kali kalau kamu terlalu banyak bertanya dibanding bekerja, saya akan potong gaji kamu."
Apa?
"Paham?"
"P-Paham, Pak."
Apa lagi ini, Tuhan?
***
Hampir jam pulang kerja, tidak ada energi yang tersisa dan Aleta hampir seperti tanaman kering yang dehidrasi. Untungnya dia tidak harus bertemu dengan Danu lagi saat pulang dan terpaksa harus lewat jalan lain guna menjauh dari Danu.
Dia menghela napas dalam perjalanan menuju ruang presensi, di situ dia bertemu Bagas.
"Kamu beneran seterusnya pindah ke ruangan Pak Danu? Itu bagus dong, Al." kata Bagas semringah.
"Bagus apanya? Aku disiksa di sana."
"Kalau kamu nggak cari masalah, Pak Danu juga nggak akan marah."
"Masalah apa? Dia denger aku bersin aja ngamuk, Gas." Aleta mengingat kejadian itu dan mendesah.
Bagas menatapnya dengan prihatin. "Aku juga sebenernya bingung. Kenapa Pak Danu galak banget ke kamu, ya? Ke pegawai lain dia baik banget lho. Bahkan sering traktir jajan."
'Ya iyalah, dia baik sama semua orang, lah dia bencinya sama aku doang,' Aleta mencibir dalam hati.
"Kamu jujur deh, ada masalah apa sebenarnya kamu sama Pak Danu?" tanya Bagas penasaran.
Wajah Aleta masih murung, mungkin tidak apa-apa untuk memberitahu Bagas garis besar masalahnya, jadi dia berkata, "Kita teman SMA, cuma sempet ada masalah dan kami ribut. Sepenuhnya salah aku sih, jadi wajar aja kalau dia masih dendam."
"Bahkan untuk orang sebaik Pak Danu, masih bisa nyimpen dendam?" Bagas kaget.
"Kenapa nggak? Dia juga manusia biasa, 'kan?"
Lagipula Aleta tidak pernah sekalipun mau menyalahkan sikap Danu terhadapnya, dia ingin menerimanya agar Danu bisa melihat kalau Aleta memang merasa bersalah. Selama apa pun permusuhan ini, Aleta berharap dia punya kekuatan untuk bertahan.
Bahkan jika dunia ini kiamat.
"Tapi dia bahkan bantu kamu untuk cari apartment waktu itu, dia juga bayar biayanya dimuka. Kalau dia benci kamu, dia nggak mungkin mau repot-repot soal itu, 'kan?" Bagas menggosok jempolnya sebelum mulai menghadap mesin sidik jari.
Tetapi apa yang dikatakan Bagas ada benarnya. Sampai saat ini Aleta juga tidak bisa menebak bagaimana perasaan Danu terhadapnya, apakah dia masih marah atau tidak.
"Mm." Aleta agak malas dan bingung untuk menanggapi.
"Kamu yang sabar ya, Al. Aku yakin Pak Danu bakal maafin kamu kok." Bagas menempelkan sidik jarinya di mesin presensi sambil menenangkannya. Jam pulang biasanya tidak ramai, jadi mereka tidak perlu antre.
Menanggapi Bagas, Aleta hanya menjawab dengan anggukan. Setelah Bagas selesai melakukan absen pulang, mereka bertukar posisi.
"By the way, aku udah bilang 'kan hari ini nggak bisa nganterin kamu?" tanya Bagas sebelum pergi.
Bagas sudah mengatakan lewat pesan. Biasanya mereka berboncengan karena jalan mereka searah, plus untuk mengirit biaya ongkos pulang. Tapi karena hari ini Bagas tidak langsung pulang, terpaksa mereka pulang masing-masing.
"Yeah, duluan aja."
"Oke deh, hati-hati, ya?"
Aleta melambaikan tangan ketika Bagas bergegas untuk turun melalui lift yang langsung menuju ke basemen parkir pegawai. Dia mendesah, hari ini dia terpaksa harus naik taksi lagi karena di luar sudah gelap. Ongkos untuk naik taksi sebenarnya lumayan tinggi, tapi jika dia naik ojek malam-malam begini, dia tidak berani.
Bagaimana jika dia diculik Nona Kunti? Dia masih cantik dan perawan, apa pun bisa terjadi.
Ketika di lobi, rupanya dia melihat Marwa duduk sendirian di bangku taman, dia segera mendekat.
"Masih nunggu jemputan?"
Mendengar suaranya, Marwa mendongak dari ponselnya. "Al, kamu masih di sini?"
"Aku nggak bisa bareng Bagas hari ini."
Marwa menggeser sedikit tubuhnya membiarkan Aleta untuk duduk. Setelah Aleta duduk di sebelahnya, dia mulai mengotak-atik layanan taksi online.
Marwa melihat ke arah ponselnya. "Kamu naik taksi? Itu 'kan mahal banget."
"Bener banget! Mahal!" Aleta mengingat argo taksi ke apartmentnya akan memakan biaya setidaknya lima kali makan nasi sayur dan telur di Kantin Melati. "Tapi aku nggak berani naik ojek."
"Bener juga sih."
Marwa sebenarnya ingin membantu, tapi tidak punya pilihan yang bagus. Setiap lembur kantor, dia akan dijemput oleh sang adik yang masih menjadi siswa SMA, itu pun hanya naik motor. Mereka tidak mungkin bonceng bertiga. Apalagi malam-malam begini.
"Kamu ada uang?" tanya Marwa lagi.
Aleta merasakan nada cemas dalam pertanyaan itu dan merasa tersentuh. "Sebenernya nggak ada, tapi diada-adain."
"Al, saran aku, kamu pindah aja kontrakannya ke dekat kantor. Kayaknya deket sini ada deh yang murah."
"Serius?"
"Aku bisa mintain contact person-nya kalau kamu emang mau."
Aleta baru ingin mengiyakan tapi dia teringat kalau apartmentnya sudah dibayar selama beberapa bulan oleh Danu. Jadi selama itu akan menjadi pemborosan jika dia pindah. Mau tak mau dia bertahan sedikit lagi dan terpaksa harus pulang bersama Bagas. Kalau dipikir-pikir itu juga tidak mungkin setiap hari karena dia tahu diri. Aleta tidak mau terlalu sering memanfaatkan kebaikan Bagas.
"Kayaknya entar deh, aku pikir-pikir dulu."
"Kalau kamu butuh kapan pun, aku akan bantu cari." Marwa menegaskan lagi.
Diam-diam Aleta tertawa, tidak hanya karena mereka sekarang dekat, tapi yang dulu sempat dia sangka sebagai cewek sombong dan cuek, ternyata punya sifat yang begitu murni. Marwa sendiri pernah bercerita kalau dia tidak punya teman di kantor karena tidak ada yang mau berteman dengannya. Saat itu, Aleta juga tidak berani bertanya apa alasannya.
Aleta mengendurkan bahunya lelah. Mulai memikirkan nasibnya lagi. Ternyata memulai semua dari nol tidak semudah kelihatannya. Walaupun Arumi sudah menyarankan untuk meminjamkan uang, tapi Aleta berpikir dengan meminjam terus menerus, dia tidak akan pernah belajar.
Hanya saja, dia tidak tahu kalau hidup tanpa uang akan sesulit ini.
Tiba-tiba terdengar suara klakson dan sebuah mobil hitam muncul. Dari jendela yang terbuka, kepala seseorang yang sedang ingin dihindari Aleta muncul. Dan Aleta hampir mengumpat sebelum mendengarnya bertanya,
"Kenapa kalian berdua belum pulang?"
Jantung Aleta berdegup kencang lagi dan dia tidak memiliki suara untuk menjawab.
tbc.