8. Terpaksa tinggal bersama

1945 Kata
Kepala Aleta menoleh ke kanan ke kiri, mencari siapa pun. Di sana hanya ada dia dan Marwa, berarti Danu sedang bicara dengan mereka. Aleta tidak tahu harus menjawab apa, jelas dia ingin menolak karena dia sedang malas diomeli Danu. "Saya nunggu dijemput, Pak." Marwa menjawab lebih dulu. "Saya juga dijemput." Marwa mengerutkan dahi diam-diam, tahu bahwa Aleta sedang berbohong. Di sisi lain, juga tahu kenapa dia berbohong. "Ini udah malam. Bareng aja, saya antar sampe rumah," tawar Danu. "Makasih, Pak, tawarannya. Tapi bentar lagi adik saya sampe." Mata Aleta bergerak-gerak dengan gelisah. Walaupun tidak spesifik Danu menunggu jawabannya, tapi dia tetap harus menjawab dengan basa-basi. Aleta berpikir dengan cepat. Siapa nama yang bisa dia jual untuk membuat Danu pergi? Aleta menjilat bibirnya, otaknya berpikir panik. Ketika Aleta berpikir untuk menjual nama Bagas di atas segala kebohongan, ada suara klik kecil terdengar. Aleta mendongak terkesiap. Danu telah keluar dari mobil, berdiri di depan mereka dengan pintu terbuka. Wangi pengharum dari dalam mobil membaur di tengah udara. "Saya lihat Bagas pulang sendiri hari ini. Kalau kamu mau, saya bisa antar kamu, Aleta." "Eh? Nggak usah, nggak apa-apa." "Apa selain Bagas, ada yang jemput kamu juga?" Danu bertanya dengan kesabaran yang langka, tidak ada tanda-tanda kemarahan. Aleta merasa lega sesaat, tapi dia ingat bahwa Marwa ada di sini, Danu pasti sedang memainkan kedok baik. Dengan cepat bibir Aleta cemberut lagi, sangat kentara sehingga Danu bisa menyadarinya. "Kalau memang ada yang jemput kamu, sekalian saya tungguin sampai yang jemput datang. Saya nggak bisa ninggalin dua perempuan nunggu di luar malam-malam begini." Bersamaan dengan itu, suara klakson terdengar dari kejauhan. Lampu oranye yang terang menyoroti jalanan aspal yang gelap. Tak lama sebuah motor tiba di dekat mereka. "Kak, lama nunggu?" Seorang remaja membuka helm, tubuhnya kurus dan tinggi, dan wajahnya sangat mirip dengan Marwa. Dengan perbedaan kecil, siapa pun bisa melihat bahwa ini pasti kerabat Marwa. "Nggak kok, Kakak baru aja keluar." Marwa mendesah lega, begitu melihat Aleta, dia merasa agak bersalah. Kurang lebih dia tahu cerita antara Aleta dan Danu yang sedang berseteru, dan Aleta yang berulang kali ingin ganti jabatan di kantor pasti tidak mau ditinggal berdua saja dengan sang bos. Walaupun Danu orang yang baik, Marwa tetap tidak tega meninggalkan Aleta di sana. Masih dengan sikap tenang, Danu nampak menunggu dengan sabar ada yang bicara di antara mereka setelah itu. "Udah dijemput tuh. Cepet naik." Aleta mengusir dengan sukarela. "Nggak apa-apa kalau kutinggal, Al?" Aleta sebenarnya tidak merasa nyaman, tapi tidak mungkin menahan Marwa lebih lama, jadi dia hanya mengangguk dan menyuruhnya untuk bergegas. Ketika motor Marwa sudah menjauh dari halte tunggu di taman. Giliran Danu yang menunggu Aleta untuk menjelaskan sesuatu. Tapi setelah beberapa saat, Aleta hanya diam dan menunduk. "Jadi, apa kamu juga masih nunggu jemputan?" Danu memandangnya dengan tatapan lurus. Aleta dengan lesu menggeleng. "Naik ke mobil." Danu telah naik terlebih dahulu di kursi sopir, menunggu Aleta masuk. Rupanya Aleta masih dalam pikiran berkecamuk antara harus masuk atau tidak. Mobil Danu adalah keluaran terbaru. Harganya mungkin tidak main-main untuk mobil semewah ini. Duduk di dalam nampaknya cukup nyaman. "Kamu mau naik atau nggak?" tegur Danu tidak sabar dari kursi di dalam. Aleta mengangguk cepat-cepat, kikuk. Akhirnya masuk ke dalam dengan degupan jantung yang menggila. Dia duduk di kursi penumpang dan tanpa melihat Danu, dia tahu bahwa lelaki itu sedang menatapnya. "Apa saya harus kasih tau juga untuk pasang seatbelt saat naik mobil?" "Ah?" "Nggak tau cara pakainya?" Adu mata intens terjalin di antara mereka. Tangan Aleta bergerak tepat waktu bersamaan dengan tangan Danu yang meraba karet seatbelt. Kulit mereka bersentuhan, seperti menyemburkan listrik kuat, Aleta menarik tangan, kaget. Tenggorokannya naik turun gugup. Bibirnya terlipat ke dalam. Secara praktis, dia membiarkan tangan Danu mengambil alih. Bunyi klik ringan menandakan bahwa karet itu telah terpasang dengan baik. Tapi jantung Aleta masih tidak membaik. Ini perkembangan baru; dia bisa satu mobil dengan sang mantan atas inisiatif lelaki itu sendiri. Dengan segera Aleta memikirkan cara untuk mulai membuat topik agar bisa menarik percakapan yang serius kali ini. Baru saja dia ingin membuka mulutnya, ponsel Danu berdering tepat waktu. "Halo?" Aleta tidak tahu siapa yang berbicara saat itu, tapi tatapan Danu mengarah padanya tanpa arti. "Kami udah di mobil. Mau ngomong sama dia?" kata Danu lagi. Perasaan Aleta langsung tidak nyaman. Kami? Tepat saat Aleta menerima ponsel Danu, kontak yang tertera di layar adalah nama saudara kembarnya, Arumi. Aleta melirik Danu, seolah-olah meminta persetujuan untuk langkah selanjutnya, tapi Danu sepertinya pura-pura tidak melihat. "Al, ada berita buruk." Itu adalah kalimat pertama ketika dia mendengar suara Arumi yang gemetar. Aleta melupakan sejenak kegugupannya dan dia mulai merasa gelisah. "Ada apa, Rum? Kamu baik-baik aja, 'kan?" tanya Aleta cemas. Tangannya dengan cepat berkeringat sambil mencengkeram ponsel Danu. "Aku baik-baik aja," jawab Arumi tergesa-gesa, dia melanjutkan, "Orang-orang Papa udah sampai Indonesia, dan siap lacak keberadaan kamu di sana. Kamu buruan sembunyi, ok?" Aleta linglung untuk sesaat. "Tapi gimana mungkin Papa bener-bener kirim anak buahnya ke sini?" "Ceritanya panjang. Papa bakal nyeret kamu balik ke Turki." Balik ke Turki? Selagi Arumi menjelaskan secara mendetail alasannya, dia mendengar kegelisahan Arumi bahkan lebih parah. Arumi bilang ayahnya marah besar padanya dan Rasyad, sang ayah tidak menyetujui hubungan mereka. Bahkan sang ayah mengancam bahwa dia hanya mau menyetujui mereka kalau Aleta mau kembali ke Turki dan menerima dijodohkan lagi. Mendengar bahwa suara Arumi serak dan sengau, Aleta menebak bahwa dia mungkin telah menangis seharian penuh. Saat ini, Danu masih tidak menjalankan mobilnya, seolah-olah menunggu Aleta selesai berbicara. Akhirnya Aleta juga tahu bahwa alasan Danu mengajaknya pulang bersama juga usul dari Arumi. Jujur saja Aleta ingin marah karena Arumi membawa Danu pada masalah ini, tapi dia tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Arumi. "Tapi kamu nggak apa-apa, 'kan? Kalau Papa maksa kamu pisah atau semacamnya, jangan mau, Rum. Rasyad itu kebahagiaan kamu. Kamu cinta sama dia, 'kan?" Perkataannya malah membuat Arumi menangis semakin deras. Suara sesenggukan di telinganya membuat hati Aleta hancur. Dia tahu seberapa besar cinta Arumi pada Rasyad, dia menyembunyikannya selama bertahun-tahun bahkan setelah tahu bahwa lelaki pujaannya akan dijodohkan dengan saudara kembarnya sendiri. "Aku oke. Aku khawatirnya sama kamu. Aku nggak tau gimana harus ngeyakinin Papa." Arumi masih menangis. "Yang kamu lakuin udah bener, Rum. Makasih udah ngasih tau soal ini." Ini juga alasan kenapa Arumi sengaja menghubungi ponsel Danu. Pastilah sang ayah juga memeriksa aktifitas ponselnya. "Al, kalau bisa kamu sembunyi di tempat yang aman. Ganti nomor HP kamu dan jangan lakuin pembelian apa pun pakai kartu debit." Aleta memberikan kalimat penenang dan tidak banyak yang bisa mereka bahas setelah itu karena Rasyad telah mengambil alih telepon. Rasyad berkata Arumi sangat emosional karena Abraham berniat menjodohkan Aleta lagi dan membuat penyakitnya kambuh. Aleta akhirnya menutup sambungan telepon. Ketika ponsel itu ditarik kembali oleh pemiliknya, Aleta mendongak terkejut, melihat Danu menatapnya. Pandangan mata itu tidak bisa dibaca sama sekali. "Kamu udah denger semuanya, jadi kamu udah tau kalau sementara kamu bisa tinggal di rumahku," kata Danu. Mata Aleta menyipit. "Apa aku nggak bisa tinggal di apartment aja?" "Saya cuma nyediain tempat buat kamu tinggal. Selebihnya saya nggak ikut campur, saya nggak mau terseret." Aleta tidak tahu harus menjawab apa. "Jangan pikir karena saya ngasih bantuan ini, masalah antara kita di masa lalu selesai, Al. Saya bantu kamu karena Rumi yang minta." Tidak persis seperti dugaan Aleta sebelumnya. Tidak ada perkembangan apa pun. Danu masih sangat jauh, dan dia terus menjauh tanpa bisa digapai lagi. "Maaf, Dan, aku butuh kejelasan." Aleta berusaha tenang. "Kamu sebenernya nggak mau maafin aku, 'kan? Kamu cuma mau liat karma di masa lalu balik ke aku. Tapi kenapa kamu mau bantu aku?" Danu tampak menarik napas dan menahannya di kerongkongan. "Kamu nggak ada di posisi saya, gimana kamu tau apa yang saya mau dan apa yang akan saya lakuin?" Dengan mempertahankan percakapan formal, sudah sangat jelas bahwa Danu masih menarik jarak. Tapi di tengah jarak itu, dia menyediakan lilin untuk menerangi rapuhnya garis yang membentang itu. Dia mencoba membuat Aleta mengerti sekaligus tidak ingin Aleta menaruh harapan. Semua ini abu-abu. "Dan, kalau kamu terpaksa untuk lakuin ini nggak usah. Aku nggak butuh bantuan siapa pun." Aleta menarik kait seatbelt, di sisi yang sama Danu mengunci pintu dari tempatnya. "Mau ke mana kamu malam-malam?" tanya Danu dingin. "Apa pun yang kamu pikirin, saya nggak peduli. Saya cuma mau bantu Arumi. Kalau kamu terus-terusan mau buat dia khawatir, itu terserah kamu. Kamu sendiri yang tahu gimana kondisi Arumi." Perkataan Danu masuk akal. Ini malah menambahkan beban lain di pundak Aleta. "Tinggal di rumah aku sampai keadaan aman. Kalau kamu khawatir aku bakal apa-apain kamu, aku bakal siapin beberapa penjaga, sementara aku pergi dari rumah itu." Mata Aleta membelalak. "Kenapa kamu harus ngelakuin itu?" "Kenapa? Karena aku ngelakuin ini buat Arumi. Dia secara khusus minta bantuan ini ke aku." Danu dengan lugas menekankan bahwa bantuan ini hanya dilakukan untuk Arumi. Sama sekali tidak ada hubungannya dengannya. Aleta hanya tersenyum pahit. "Oke, mohon bantuannya," kata Aleta dengan suara tercekat. Tangan Danu menarik tuas kunci dan menyalakan mobil, dia memutar setir, menggunakan jalan alternatif menuju ke rumahnya. Jalan itu berlawanan arah dengan rumah Aleta. Sepanjang jalan, mereka disekap kebisuan yang ambigu. Tangan Aleta menumpu pipinya, sementara dia menatap jalanan malam, berusaha untuk tidak menangis. Apa? Apa yang bisa dilakukan ayahnya ketika berhasil menarik Aleta kembali? Sudah pasti dia akan dijodohkan dengan kenalannya lagi. Entah itu pejabat, pengusaha, polisi, direktur, lawyer dan sebagainya. Aleta sudah menebak alur semua ini. Benar kata Arumi, dia harus pergi untuk secara tegas menekankan bahwa dia tidak ingin menerima perjodohan apa pun. Bahkan sejak dulu, alasan dia meninggalkan Danu salah satunya adalah karena perjodohan konyol itu. Dan dia harus berapa di posisi ini. *** Satu jam berikutnya, mereka tiba di kawasan elit sebuah perumahan besar. Melewati pos satpam yang dijaga dua orang petugas, mobil Danu masuk lancar sampai blok ketiga. Gerbang tinggi berwarna putih segera dibuka oleh seorang laki-laki. Sementara Danu mengemudikan mobil sampai garasi, perasaan gugup Aleta kembali. Rumah ini bukan rumah lama Danu lima belas tahun lalu. Alamatnya juga berbeda. Melihat Danu bisa membangun rumah dan halaman besar ini, dia percaya bahwa Danu telah berusaha keras sampai berhasil berdiri di atas. Danu membukakan pintu untuknya, tapi dia segera pergi tanpa menunggu Aleta turun. Di dalam rumah, keadaan terang benderang, seorang wanita menyambut mereka di pintu depan. Wanita itu mengambil alih tas kerja dan jas Danu. "Al, ini Bu Mira, asisten rumah tangga di sini. Selain Bu Mira, ada Pak Agus satpam di depan tadi. Mereka adalah suami istri. Kalau butuh apa pun, kamu bisa bantuan mereka." Danu menjelaskan itu semua tanpa intonasi. Setelah dia melepaskan dasi, dia menyerahkannya pada Mira. Lalu dia menatap wanita itu sejenak sebelum melanjutkan, "Bu Mira, ini Aleta, teman saya dari Turki. Tolong bantu dia selama tinggal di sini." "Baik, Pak," jawab wanita itu. Danu acuh tak acuh pergi tanpa peduli apa pun lagi. Aleta tersenyum pada Mira dan dia digiring ke sebuah kamar kosong lain di lantai satu. Aleta ingat bahwa Danu naik ke lantai dua, pasti kamarnya ada di atas. Di rumah sesepi ini, perasaan tak nyaman yang dialami Aleta justru lebih besar. Apa dia benar-benar harus tinggal di sini? Lagipula apa di rumah sebesar ini apakah Danu tinggal sendiri dengan dua pembantu? Kenapa sangat sepi? Aleta sedikit penasaran. "Non, kalau mau mandi, biar saya siapin handuk dan sabun baru dulu. Tunggu sebentar, ya," kata wanita itu. Aleta mencegahnya yang akan pergi. "Bu, di rumah ini Danu tinggal sendiri, ya? Dia nggak tinggal sama ayahnya?" Lima belas tahun lalu, Danu sudah kehilangan ibu kandungnya yang meninggal karena penyakit keras. Ayahnya saat itu adalah seorang dosen di sebuah universitas swasta yang terkenal. Aleta sedikit banyak masih ingat wajahnya. "Oh, itu ... sebenarnya saya masih baru di sini. Tapi setau saya, Pak Danu yatim piatu, Non." tbc.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN