9. Benci setengah mampus

1970 Kata
Selepas mandi air hangat dan sabun cair floral yang wangi, Aleta menggelung rambut basahnya dengan handuk. Di atas ranjang, ada sepasang pakaian tidur motif diagonal yang membosankan berwarna navy. Saat dia teliti, sepertinya ukuran baju itu baju cukup besar. Ada yang aneh. Lebih tepatnya ukuran ini sepertinya pas dipakai Danu. Baju itu dibentangkan lebar; lengan panjang, celana panjang, banyak kancing. Ini benar-benar ukuran laki-laki, ini pasti milik Danu! Yes, tentu saja. Aleta pergi ke rumah Danu tanpa membawa apa pun; baju, alat mandi dan semacamnya. Aleta sempat berpikir bakal pakai baju kantornya yang sudah dipakai kerja seharian, mungkin agak sedikit berbau tak sedap—tapi dia tidak berpikir kalau untuk meminjam pakaian Danu. Well, Aleta rasanya ingin memeluk baju ini semalam suntuk ketimbang memakainya di tubuh. Tiba-tiba, fantasinya tentang tidur sambil memeluk baju Danu hancur berkeping-keping saat dia mendengar ketukan pintu. Aleta segera membukanya dan menemukan Bu Mira di sana. "Non, makan malam udah siap." "Ah, tunggu bentar. Aku pakai baju dulu." Aleta menarik handuk di kepalanya dan mengusap rambut basahnya sekilas. "Kalau bajunya kebesaran, nanti saya cariin ikat pinggang, Non. Itu sebenernya baju Pak Danu, katanya kalau Non nggak mau pakai, malam ini juga bakal dipesenin baju yang baru." Aleta mengganti baju dengan pintu setengah terbuka, tapi Bu Mira patuh ada di luar jadi dia tidak bisa melihat ke dalam. Meskipun begitu, Aleta masih bisa mendengar suaranya. "Nggak usah, ini juga cukup buat tidur malam ini. Besok aku bisa ambil baju yang ada di rumah." Bu Mira agak terkejut. "Non Aleta, tinggal deket sini?" Karena tidak mau Bu Mira berpikir yang tidak-tidak, Aleta segera menjawab, "Ya, tadi lagi dadakan aja mau nginep di sini masalah kerjaan." "Saya kira Non Aleta pacarnya Pak Danu." Tubuh Aleta praktis membeku. Pacar? Ya, dia berharap Danu mau menjadi pacarnya lagi. Kalau dia dikasih kesempatan kedua, dia pasti tidak akan mengulang kesalahan yang sama. Di meja makan, saat itu Danu tampaknya sudah setengah jalan dalam menghabiskan makanan di piringnya. Aleta mengambil duduk di seberang meja dengan gugup. Dia menunggu Danu mengatakan sesuatu, tapi lelaki itu bersikap seolah-olah dia tidak ada. Aleta masih tidak putus asa untuk menunggu lagi; satu menit, dua menit bahkan sepuluh menit—dia masih tidak mendengar suara Danu. Dia mendesah. Akan tetapi tepat saat dia pasrah dan kecewa, dia mendengar Danu akhirnya berkata, "Makan yang banyak. Saya nggak mau nanti Rumi mikir kalau saya memperlakukan kamu dengan buruk." Aleta mendongak terkejut. Dia tidak tahu harus menjawab apa pada kalinat tiba-tiba itu. Yang pasti ada duri kecil yang menusuk di hatinya setiap kali Danu bersikap dingin. Terdengar bunyi kursi berderit mundur. Kemudian suara Danu berkata lagi, "Saya sudah selesai." "D-Danu ..." panggil Aleta mencegah. Sudut mata Danu berkedut, dia berbalik badan. "Apa?" "Aku bahkan belum makan, kenapa kamu pergi? Apa kamu nggak mau nemenin aku sebentar?" Aleta kembali bicara non-formal, berharap ini bisa mencairkan kekakuan di antara mereka. Tetapi Danu menatap lurus padanya. Tatapan mata lelaki itu tak berubah. Seperti ketika di kantor atau ketika sedang rapat. Begitu serius dan dingin. Masih membuat jantung Aleta berdegup kencang antara gugup dan takut. Tanpa Aleta sadari sendiri sepenuhnya, tatapan Danu jatuh pada bahunya yang terbuka. Pakaian Danu punya ukuran dua kali lebih besar. Karena Aleta kurus, salah satu lengan bajunya turun sampai lengan. Danu bergerak maju. Di posisinya, Aleta ketar ketir memikirkan bahwa dengan Danu mendekat saja, dia sudah hampir melompat karena gugup berat. Tapi dia salah. Saat itu Danu tidak mendekat untuk duduk sesuai keinginannya. Dia berdiri di dekat Aleta, menarik lengan bajunya yang turun dengan gerakan agak kasar. "Apa pun trik yang kamu pakai untuk menggoda saya, itu tidak berpengaruh sedikit pun." Begitu saja, Danu pergi. Aleta tidak bergerak sama sekali dari posisi sebelumnya. Mematung. Kata-kata Danu seperti parang dan itu menembus langsung lewat d**a ke punggungnya. *** Untunglah keesokan paginya adalah weekend. Seharusnya ini jadi hari bersantai dari beban kerja. Sayangnya, Aleta tidak bisa melakukan itu. Dia melupakan sejenak pikiran tentang Danu. Rasa sakit hati yang diterimanya kemarin ditelannya bulat-bulat dan dia masih merasa tidak pantas untuk menyalahkan sikap Danu padanya. Menurutnya itu masih wajar. Apalagi ketika mengingat kembali percakapannya dengan Bu Mira malam itu. Aleta sangat sedih mengetahui bahwa ayah Danu sudah meninggal dunia tanpa dia ketahui. Dia jelas buta dengan segalanya tentang Danu lima belas tahun ini. Pada akhirnya ini membuat Aleta paham kenapa Danu sangat membencinya. "Kapan kamu maafin aku, Dan," desah Aleta. Lantas, dia memakai telepon rumah untuk memutar nomor saudara kembarnya ketimbang larut dalam kesedihan. Setidaknya dia butuh pengalih untuk melupakan Danu sesaat. Untungnya dalam dering ketiga, sambungan yang dilakukannya terhubung. "Gimana keadaan kamu, Rum?" Aleta tidak berbasa-basi. Dengan mendengar suaranya, Arumi pasti sudah menebak siapa yang menelepon. Dia mendengar suara batuk ringan dan beberapa gemerisik yang lembut, dia menebak pasti Arumi baru bangun tidur. Perbedaan waktu Indonesia dan Turki adalah empat jam. Di tempatnya saat ini sudah jam sepuluh pagi, itu artinya di Turki masih jam enam pagi. "Aku baik-baik aja. Kamu sendiri gimana? Kamu tinggal sama Danu, 'kan?" Arumi menjawab dengan suara sengau. "Aku di rumah Danu. Aman kok." Jeda sebentar, dan dia mendengar Arumi batuk lagi. "Rumi, aku serius nggak apa-apa. Tolong jangan bebanin pikiran kamu, ya. Inget jaga kesehatan." Terdengar tawa ringan. "Kalau kamu khawatir, buruan bawa calon suami di hadapan Papa, biar dia kicep." Arumi bercanda. "Dih, masih sempet-sempetnya bercanda. Percuma dong aku khawatir." Mendengar suara tawa Arumi lagi, Aleta merasa ringan. Dia menyandarkan tubuhnya di meja telepon, memainkan kabel sambil tersenyum. "Tapi aku serius, Al." Arumi menekankan kalimatnya, suasana dengan cepat. "Coba pikir deh, satu-satunya cara untuk bikin Papa bungkam, ya kamu harus bawa calon suami di depan keluarga besar." Yang dikatakan Arumi memang masuk akal. "Kamu pasti udah baikan sama Danu, 'kan? Kamu bisa minta Danu cepet-cepet nikahin kamu," usul Arumi. Aleta tersenyum kecut. "Seandainya segampang itu, Rum. Kamu udah tau sendiri sekarang Danu gimana ke aku." "Dia belum maafin kamu?" "Belum." "Nggak mungkin." Arumi kaget. "Masa Danu belum maafin kamu? Jangan bercanda deh, Al." "Bercanda gimana? Dia masih kasar dan galak ke aku, Rum. Trus itu apa namanya kalau bukan masih marah?" Nada Aleta mulai agak menekan juga. Dia celingukan panik, berharap Danu tidak mendengar ini. "Danu masih narik jarak. Nggak sekalipun dia kasih aku kesempatan untuk minta maaf. Aku baru nyoba untuk ngomong satu kata aja, dia langsung ngamuk." Aleta mendengus sedih. Kalau Arumi di sini sekarang, pasti ekspresinya saat ini terlihat bingung. Ini mereka membahas satu orang yang sama, yang mereka kenal di masa lalu. Lazuardi Senandanu—cowok baik hati, lembut dan perhatian. Bicara soal galak, pemarah, kasar dan dingin, itu bukan deskripsi tentang Danu sama sekali. "Gini deh, mungkin nggak kalau kamu salah nangkap?" tanya Arumi tak putus asa. "Maksudnya?" "Ya, sebenernya dia udah maafin kamu, tapi gengsi, misalnya?" Aleta mengingat dua minggu pertemuannya dengan Danu. Semua ekspresi, gerak gerik, perbuatan dan perkataannya, dibayangkan Aleta dengan serius. Nggak! Danu benar-benar benci Aleta setengah mampus! "Percuma, Rum. Dia beneran udah nggak mau maafin aku. Dia udah benci lahir batin." Aleta tersenyum pahit. "Tapi, Al, coba kamu pikirin lagi. Kalau misal Danu benci sama kamu, mana mungkin dia masih mau bantu kamu, 'kan? Kamu bilang dia CEO di perusahaan itu. Dengan jabatannya, dia bisa aja pecat kamu di hari pertama. Nah lihat sekarang, apa dia ngelakuin itu?" Aleta tidak menjawab. "Kamu harus positif, Al. Danu orang yang baik, semarah-marahnya dia, sifat aslinya bakal kelihatan. Dia bukan orang setega itu." "Tapi dia bilang, dia terpaksa ngebantu aku karena kamu yang minta, Rum." "Dan kamu percaya?" Percaya atau tidak—Aleta sudah terlanjur mendengar kalimat tak berperasaan Danu. Aleta tidak bisa memikirkan apa pun sejak itu. "Aleta, percaya sama aku. Danu cuma butuh waktu. Kalau kamu ada di posisi Danu, kamu pasti ngelakuin hal yang sama. Jangan putus asa, ok?" *** "Gampang banget kalau cuma ngomong, ngelakuinnya susah." Aleta menggerutu. Terakhir sebelum Arumi menutup telepon, dia menyuruh Aleta membeli ponsel dan nomor yang baru. Karena situasinya seperti ini, dan dia tidak ada uang, dia terpaksa menerima uang pinjaman dari Arumi lagi. Kali ini Arumi akan mentransfer uang lewat rekening Danu. "Trus sekarang gimana cara mintanya?" Aleta menggaruk kepalanya dengan gelisah. "Aku nggak lihat Danu daritadi. Apa dia keluar?" Bu Mira tiba-tiba lewat saat Aleta sedang kebingungan. Wanita itu sedang membawa satu keranjang pakaian dan akan menuju ke belakang. "Bu Mira," panggilnya. "Iya, Non?" "Em, itu, Danu pergi ya?" "Pak Danu di ruangan kerjanya deh kayaknya. Saya juga nggak lihat, tapi mobilnya masih ada, berarti masih di rumah." Setelah Bu Mira pamit pergi, Aleta mencari di mana ruang kerja Danu. Rumah ini cukup besar dan memiliki banyak pintu ruangan yang tertutup. Dua pintu yang dibukanya kosong. Ketika melihat satu pintu terbuka sedikit dan melongok ke dalam, akhirnya dia melihat Danu. Awalnya dia hendak mengetuk pintu, tapi melihat Danu tertidur di kursi, dia mengurungkannya. Perlahan-lahan Aleta masuk ke dalam. Danu saat ini tertidur sambil memeluk buku tebal bersampul merah. Seperti sebuah novel misteri. Aleta berdiri diam saat berada tepat di depan Danu. Melihat bulu lentik yang bergetar karena tidur yang tak nyaman. "Danu?" panggil Aleta pelan. Tidak ada jawaban. Aleta berpikir untuk membangunkannya atau tidak. Setelah sekian menit, dia tidak menemukannya. Melihat fitur Danu yang tampan dan halus, dia begitu terpana sehingga dia menghabis waktu sia-sia tanpa sadar. "Ganteng," gumamnya. Aleta menghela napas ringan. Pendingin ruangan begitu dingin dan Danu hanya memakai pakaian tipis, dia pasti kedinginan, 'kan? Tapi saat itu, Aleta melihat selimut dengan motif batik mandala yang ada di stand hanger, mengambilnya dengan mudah. Masih dengan gerakan halus, Aleta menuju ke kursi di mana Danu tidur. Dia membentangkan selimut itu, berniat membungkus tubuh Danu. Ketika dia berhasil melakukannya, dia berbalik dan berjalan pergi. Belum genap dua langkah, pergelangan tangan Aleta ditangkap dan ditarik. Tak siap, Aleta tergelincir ke depan, dan jatuh di atas Danu yang telah membuka mata. 'Sejak kapan dia bangun?' Aleta merasa gugup. Pada saat ini, waktu segera melambat baginya. Pergelangan tangannya diremas kuat tapi dia tidak merasakan sakit. Detak jantung yang cepat beradu. Entah milik siapa yang paling cepat seperti tabuh yang dipukul tongkat. Getarannya membuat d**a ngilu. "Um, Danu—" "Mau ngapain kamu?" "Aku mau izin pergi untuk—" "Kenapa kamu masuk ke ruangan saya tanpa izin? Apa yang mau kamu lakuin?" "Aku tadi mau ngetuk pintu, tapi—" Aleta berhenti untuk menarik dirinya dari posisi tidak nyaman ini, dan cengkeraman Danu sulit dilepas. "Tapi kamu mau cari kesempatan waktu saya lagi tidur?" potong Danu tajam. Kalimat itu lurus menusuk hati Aleta. "Nggak, aku ... aku cuma nggak mau ganggu kamu tidur." "Omong kosong." Danu tertawa mencemooh. Dalam jarak sedekat ini, Aleta sama sekali tidak bisa menahan rasa hangat dari napas Danu yang menerpa pipinya. Ketika tangannya ditarik lebih keras, dia memekik. Sejenak dia melihat mata Danu yang penuh dengan kebencian. "Ingat, Aleta. Saya atasan kamu. Di sini saya masih pantau karakter kamu. Kalau kamu masih mau kerja, jangan cari masalah, jangan ngelakuin hal-hal yang nggak pantas meskipun ini di luar jam kerja." Nggak pantas? Apa Danu memang menuduhnya akan melakukan hal tidak senonoh hanya karena ini? Aleta menggigit bibir, berusaha menahan getaran bibirnya itu. Juga air mata yang hampir jatuh karena rasa sakit hati yang tak terbendung. "M-Maaf." Akhirnya Danu melepaskannya. Sama seperti ketika tangan itu ditarik, saat dilepas gerakannya juga kasar. Danu berdeham ringan. "Jadi, mau ke mana kamu?" "Aku mau pulang untuk ambil beberapa keperluan di rumah." Tidak ada jawaban langsung dari Danu. Aleta meliriknya dan mendapati Danu tengah menatap ke depan dengan kosong. "Oke, itu aja, aku pergi sekarang." "Kamu nggak boleh pulang terlalu malam." Danu berkata tiba-tiba, langkah Aleta berhenti lagi, ha.pir berbalik. "Saya nggak suka ada yang berisik waktu saya lagi tidur. Dua jam lagi, saya mau kamu udah di rumah ini." Satu jam? Dalam jarak rumah mereka yang sejauh itu? Ini sih penyiksaan! Wajah Aleta kaku, dia menertawai dirinya sendiri dalam hati. 'Apanya yang gengsi, Rum. Dia benci setengah mampus sama aku.' tbc.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN