10. Tidak bisa melepaskannya lagi

1484 Kata
Sulit bagi Danu untuk melihat Aleta sebagai orang yang sama. Kebencian di masa lalu telah menghancurkan bayangan Aleta sebagai remaja yang manja dan lugu, yang senang membuat Danu dalam kesulitan dan tidak ingin berpisah bahkan lima menit saat mereka berkencan. Tapi ini jelas berbeda. Sudah lima belas tahun. Danu tidak menyangka ternyata waktu terlewat cukup lama, tapi seolah-olah baru kemarin dia melihat Aleta merengek untuk disuapi es krim. Danu saat remaja sangat mengenal Aleta dengan baik, begitu keinginannya tidak terkabul, dia akan marah berhari-hari sebelum dibujuk. Danu mengingat itu kembali, tidak bisa menahan rasa jijik. Menggelengkan kepala, Danu mengambil ponselnya cepat-cepat. Dia harus melakukan sesuatu sebelum terjebak dengan ingatan masa lalu lebih dalam dan menghubungi satu nomor yang pertama dia temui. "Rin, aku traktir makan oke?" *** "Kok lo kurusan sih?" Itu adalah kalimat pertama yang Danu terima ketika dia menjemput sahabatnya, Karina, di depan rumah. Bahkan sebelum mendengar jawaban Danu, Karina buru-buru masuk. "Ngobrol di dalem aja, entar anak gue sadar kalau gue nggak ada, nangis lagi minta ikut." Danu mengikutinya membuka pintu, memasang seatbelt sebelum menjawab, "Kenapa nggak diajak aja?" "Ada ayahnya yang jagain, 'kan libur hari ini," jawab Karina acuh tak acuh. Mengenal Karina sebagai kakak kelas di universitas dulu, Danu sudah hapal karakteristiknya. Karina memang perempuan yang bebas dan suka bicara apa yang ada di pikirannya, dia juga pemberani. Saat kuliah, dia bahkan tomboy dan pernah menembak lelaki seenak jidat di depan orang banyak, tapi ternyata hanya karena dia mendapat tantangan dare pada waktu itu. Lucunya adalah lelaki yang dulu mendapat prank gila itu sekarang menjadi suaminya. "Dan ayahnya nggak masalah nih, istrinya pergi sama cowok lain?" Danu memutar setir setelah keluar dari kawasan perumahan milik pemerintah dan masuk ke jalan raya yang ramai. Pandangannya masih fokus di depan, saat dia mendengar Karina menggerutu. "Ya kali, dia cemburu sama lo. Kayak lo nggak kenal Bisma aja." Karina memutar bola mata, kembali memakai lipstik. Danu hanya menanggapi dengan senyuman tipis. Mobil itu dengan cepat masuk tol bebas hambatan dan kemacetan sangat minim. Dalam setengah jam, mereka tiba di pusat kota. "Mau makan di mana?" tanya Danu sesaat setelah lepas dari akses loket tol. "Terserah. Eh, jangan ding. Gue denger ada resto yang baru buka di Mal. Kenapa nggak ke sana aja?" tawarnya. "Resto baru?" "Yup, katanya punya artis gitu lho. Jadi gue penasaran mau cobain." "Oke." Tak sampai setengah jam kemudian, mereka tiba di restoran yang dimaksud. Karena sedang grand opening, tempat itu lumayan ramai dan banyak tamu yang akhirnya harus menggunakan waiting list. Beruntung mereka berdua mendapatkan kursi. "Kamu pesen aja dulu," kata Danu. Rupanya restoran menyediakan banyak sajian seafood dengan beragam jenis rasa dan masakan. Karina melihat itu semua dan merasa sangat kecewa, karena dia baru ingat kalau Danu alergi dengan seafood. "Lo pesen apa, Dan? Seafood semua. Apa kita pindah aja?" Karina membolak balik menu sampai bagian akhir. Lama tidak mendapatkan sahutan, Karina mendongak dan mendapati Danu melamun sambil melihat ponselnya. Karina hampir ingin menegurnya, tapi kemudian dia terdiam sebentar. Kalau dipikir-pikir, dia merasa ada yang aneh dengan Danu sejak tadi. Awalnya dia kira itu memang karena sifat Danu yang pendiam dan tidak banyak punya inisiatif, tapi yang sekarang bahkan lebih parah. Mereka sudah lama tidak bertemu, sepertinya Danu memang lebih kurus dari terakhir kali. "Dan? Danu? Hoi, Danu!" Danu terkesiap, mendongak. Wajah Karina menatapnya menyelidik. "Ada apa? Kenapa bengong?" Tanpa sadar Danu meremat ponselnya dan dia mengalihkan pandangan sekilas. "Nggak apa-apa, agak ngantuk. Kamu udah pesen?" Karina tidak percaya begitu saja. Hari ini Danu memang aneh, baginya. Seperti ada yang disembunyikan. Mengingat Danu menghubunginya duluan untuk mengajaknya makan, dugaannya mungkin tidak salah. "Lo baik-baik aja?" tanya Karina lagi. Danu mengangguk. Karina mendesah. "Di sini seafood semua, yuk pindah." "Aku nggak makan, Rin. Kamu pesen aja apa pun. Aku pesen minum aja." Bulu kuduk Karina bergidik. "Please, jangan buat gue seolah-olah lagi ngebuli lo deh. Ini kalau orang liat bisa salah paham. Nanti gue makan porsi gede dan lo cuma ngeliatin aja, gue dikira lagi malak orang yang ada." Danu sudah menduga bakal ada jawaban seperti ini dan dia tertawa. Padahal dia benar-benar tidak memiliki selera makan, makanya sejak tahu bahwa ini restoran seafood, Danu tidak keberatan. Suasana hatinya tidak baik lagian. Sejak tadi dia membiarkan ponselnya dalam mode getar. Sebelum menghubungi Karina, dia tidak mengecek pembaruan masuk. Beberapa menit lalu, dia baru berpikir untuk melihat-lihat dan tanpa sengaja menemukan pesan Arumi, yang isinya begini, [Dan, aku transfer uang untuk Aleta. Dia mau beli HP baru. Tolong kasih ke dia ya.] Dengan seketika, Danu tidak bisa berkata-kata. Dia mematung. Lalu segera ingatannya memperlihatkan bagaimana dia memergoki Aleta masuk ke ruang kerjanya tadi pagi dan Danu malah menuduhnya ingin mencari kesempatan. Mengingat itu, Danu ingin menceburkan diri ke laut. Sial! Kenapa Danu menjadi seperti ini? Dia memang bertujuan untuk memberi Aleta pelajaran, tapi kenapa setelah dia melakukannya, dia tidak merasa bahagia? Jelas-jelas bahwa Aleta sekarang sedang dalam kesulitan. Danu bahkan baru sadar bahwa Aleta belum mendapat gaji pertamanya. Dengan kartu debit yang dinonaktifkan dan ponsel yang terpaksa harus diganti, Danu membiarkannya pergi seorang diri kembali ke apartmentnya. Apa uangnya masih cukup? "Ah, udah deh elah. Pikiran lo ke mana-mana padahal gue ngomong sampe berbuih daritadi!" gerutu Karina tiba-tiba. "Kamu ngomong apa?" "Ngomong kalau kentut gue bau harum dan bisa dijual dalam kemasan botol kaca. Mau nyoba?" "Nggak deh. Jadi kamu udah pesen apa belum?" "Udah, gue pesenin lo espresso, oke nggak? Sama muffin juga sih tadi yang rasberi." Belum.sempat Danu menjawab, ada suara dalam kepalanya, 'Tapi mnum kopi terus nggak baik, Pak.' 'Saya cuma khawatir sama kesehatan Bapak. Karena Bapak baik sama saya.' Danu berdecak. Ah, kenapa dia malah mengingat ucapan Aleta sih? Kacau! "Oke, aku mau itu." Obrolan mengalir setelah pesanan mereka tiba di meja. Danu kebanyakan hanya pasif dan menjawab sebagian topik pancingan Karina. Jadi sebagian waktu terkikis begitu saja tanpa sadar. Ini jugalah alasan kenapa Danu mengajak Karina keluar. Hanya dengan mendengar Karina mengoceh ini itu, pikiran carut marut Danu tenggelam di dasar danau. Dadanya terasa ringan dan dia mulai mengikuti percakapan dengan biasa. "Aduh, kelilipan mata gue." Karina mengeluh tiba-tiba sesaat mereka keluar dari resto dan menuruni eskalator. Dia meraba-raba ke depan. "Danu, tolong." Danu menarik Karina ke sudut pinggir agar tak tergelincir jatuh. Adegan ini terlihat seperti agak memeluk. "Yang mana?" "Sebelah kiri, duh pedes." Karina menutup membuka beberapa kali, sampai meneteskan air mata. "Tunggu, jangan diusap." Danu menarik pipi Karina dan meniupnya pelan-pelan. Dengan beberapa kali tiupan, mata Karina membaik dan dia mulai membuka mata perlahan. "Udah oke?" tanya Danu menunduk. "Udah." Karina mengusap setitik air matanya, celingukan ke kanan dan kiri, lalu menatap Danu dengan serius. "Sebenernya ada yang masih pengin gue omongin ke lo, tapi nanti aja di rumah. Sekarang anter gue pulang dulu ya." *** Ternyata hari sudah sore. Apa pun yang ingin dikatakan Karina biasanya adalah hal yang tidak terlalu penting. Pada akhirnya dia lupa begitu saja saat sampai di rumah. Danu melirik jam, sudah lima jam dia berada di luar. Aleta pasti telah kembali karena Danu menyuruhnya pergi satu jam. Memang terdengar mustahil pergi satu jam dari rumahnya ke apartment Aleta, tapi kalau Aleta masih punya muka untuk protes, Danu hanya perlu mengingatkan kembali kesalahannya di masa lalu. Danu adalah korban. Dan korban berhak balas dendam dalam cara apa pun. Bukankah begitu? Sampai di rumah, Bu Mira sedang menyapu halaman saat Danu turun dari mobil. Seperti biasa dia mengambil jaket kulit yang dipakai Danu dan menggantungnya dengan baik di stand hanger. "Saya kira Pak Danu pergi jemput Non Aleta." Kata-kata ini membuat Danu menoleh. "Dia belum pulang?" "Belum, Pak." Belum pulang? Danu mengambil ponsel dan mencoba untuk menghubunginya, tapi kemudian dia ingat bahwa Aleta akan mengganti nomor baru. Pasti tidak aktif. Danu bertanya lagi pada Bu Mira, "Apa ada yang nelepon ke rumah pas saya pergi?" "Nggak ada, Pak." Kening Danu mengernyit. Lalu kenapa ini? Kenapa Aleta tidak pulang? Apa dia kesal karena Danu memarahinya tadi pagi? Atau tidak mungkin kalau anak buah Adiyaksa sudah menjemput Aleta, 'kan? Mengingat ini, perasaan Danu tiba-tiba tak enak. Dia menyambar jaketnya kembali dan membuat Bu Mira terkejut. "Pak?" "Saya keluar sebentar, kabarin saya kalau ada yang telepon ke rumah." Danu bicara sambil berlari ke mobil. "B-Baik, Pak." Dengan segera Danu memutar mobil ke arah apartment yang disewakannya untuk Aleta. Dengan menggunakan mobil tanpa macet biasanya butuh satu jam. Sialnya, karena ini hari libur, mobil sangat ramai memenuhi jalan-jalan. Setiap detik dan menit, detak jantung Danu meningkat cepat. Kaki dan tangannya bergerak gelisah. "Jadi, kamu berani pergi lagi tanpa kabar, Al." Danu meremat setir mobil dengan kuat. Bukannya Danu peduli dengan kehadiran Aleta, atau bukan karena hatinya goyah begitu saja, tapi Arumi sudah mempercayakan Aleta padanya. Mana mungkin dia membiarkan Aleta pergi ke Turki lagi, 'kan?! Tidak bisa! Danu belum selesai balas dendamnya. Ini baru dimulai. Dia masih harus balas dendam sampai Aleta merasakan apa yang namanya kecewa dan sakit hati yang lebih parah! Aleta belum boleh pergi sampai itu terwujud! tbc.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN