11. Cemburu buta

2079 Kata
Akhirnya, Danu hanya pulang tanpa hasil. Dia sempat ke apartment Aleta, tapi mendapati tempat itu sepi. Bu Mira yang melihat kedatangan Danu tanpa Aleta di sisinya, hanya bisa kebingungan, tidak berani bertanya. "Aleta masih belum pulang?" tanya Danu memijat batang hidungnya. "Belum, Pak. Nggak ada telepon juga." Bu Mira mengambil jaket kulit Danu yang lembab karena keringat. Di cuaca sedingin ini, sangat aneh untuk berkeringat, kecuali dia terpaksa harus berlari atau naik puluhan anak tangga dengan buru-buru. Mungkin salah satunya menjadi alasan. "Pak Danu mau saya siapkan makan malam apa?" tanya Bu Mira ketika melihat Danu hampir naik ke lantai atas. "Nggak usah, saya masih ada pekerjaan." Meskipun hanya seorang pembantu, tapi Bu Mira tidak sepenuhnya bodoh. Sekarang adalah hari Sabtu dan Danu punya kebiasaan menyendiri di hari libur seperti ini. Jika dia menggunakan alasan bekerja untuk menghindari makan malam, dia pasti punya masalah. Sebenarnya Bu Mira tidak mau memikirkannya, melihat kedatangan Aleta kemarin, dia tidak mengerti kenapa majikannya itu terus murung. "Anak muda jaman sekarang kisah cintanya ruwet banget." Bu Mira mendengus. Di kamarnya, Danu menjatuhkan dirinya di ranjang. Dia merogoh kantung untuk mengambil ponselnya, tapi yang dia lakukan hanya melihat satu nama kontak yang tertera. Bingung bagaimana harus memulai. Jika dia memberi tahu Arumi bahwa Aleta pergi entah ke mana, dia pasti akan membuat saudara kembar mantannya itu kaget. Dia tidak mau itu terjadi mengingat Arumi punya penyakit jantung. Tetapi, ke mana Aleta kemungkinan pergi? Kencan? Ini malam Minggu omong-omong, itu mungkin saja. Masalahnya apa dia berani melakukan itu setelah Danu memintanya untuk tidak pergi terlalu lama? Jika dia memang berani, Danu pantas untuk memberinya pelajaran. Ternyata setelah lima belas tahun, memang begini tabiat Aleta, pergi tanpa kabar seenak jidat. Tidak peduli bagaimana perasaan orang lain. Tidak mau memikirkannya lebih lama, Danu bergegas mandi. Sambil mandi dia memikirkan kemungkinan lain, seperti; bisa jadi Aleta mampir ke tempat rekan kerja untuk bermain atau karena kehabisan uang, dia tidak bisa pulang dan kembali ke apartmentnya. Danu berdecak, keinginan untuk mencekik Aleta sangat besar ketika dia pulang nanti. Tunggu dulu .... Tidak mungkin dia benar-benar diculik anak buah Om Adiyaksa, 'kan? Ini adalah dugaan pertama Danu, kalau dipikir-pikir sekarang, itu masuk akal. Dia ingin bertanya pada Arumi mengenai ini, tapi masih tidak tega membuat Arumi panik dan kolaps. Ngomong-ngomong, apa Arumi sudah sembuh? Apa benar-benar tidak masalah bertanya padanya tentang ini? Ah, Danu bingung. Keluar dari kamar mandi, wajah Danu malah semakin buruk. Dengan segera dia menarik kemeja biru dan celana cargo warna khaki, tidak berniat tidur, dan mencoba peruntungannya untuk mencari Aleta lagi. Saat sedang mengancingkan kemeja, dia mendengar suara kendaraan dari luar, sangat rendah dan jauh, tapi apa pun itu dia berharap ada kemungkinan kecil. Tirai dibuka sedikit. Dari lantai dua, cukup luas untuk melihat ke halaman luar rumahnya sampai gerbang. Benar saja, dia melihat orang yang dicarinya sejak tadi ada di pintu gerbang. Dia tidak sendiri, bersama dengan seseorang yang dia kenal. Deja vu. Danu seperti pernah melihat adegan ini sebelumnya. Mendapati bagaimana dua orang itu tertawa bersama seolah-olah dunia ini milik mereka sendiri. Dengan marah, Danu bergegas turun. Sangat cepat. Tetapi dengan kelihaian yang luar biasa, dia mengubah ekspresi kesalnya menjadi lembut. Maju ke depan dengan langkah tenang seumpama dia baru memasuki panggung opera dengan segudang talenta pertunjukan. Aleta rupanya menyadari kedatangannya dan segera menunduk gelisah. "Lho Pak Danu ada di sini juga?" Bagas juga menyadari kehadirannya dan kaget. "Al, berarti yang kamu bilang ini rumah sepupu kamu, maksudnya—" Bagas mengaduh karena kakinya diinjak tak manusiawi. "Sepupu? Apa maksudnya?" Danu masih tersenyum tenang. "Kalian abis malam mingguan, ya? Kalian pacaran?" Skak! Aleta kena mental dengan segera karena kalimat itu terdengar sarkas di telinganya. Wajah Bagas malu. "Ah, Bapak bisa aja. Ini saya abis antar Aleta beli HP baru, Pak. Tadi ketemu di jalan, dia hampir keserempet mobil." Alis Danu berkerut. Diam-diam Aleta mencubit Bagas dan memelototinya. "Bukan gitu, tadi cuma salah jalan aja. Bukan diserempet, Gas." "Apa bedanya?" Bagas bingung. Sementara itu, Danu segera meneliti tubuh Aleta dari atas ke bawah. Tangan dan kaki masih utuh. Tidak ada sobek di bajunya atau luka di mana pun. Dia jelas baik-baik saja. Danu entah bagaimana merasa lega. "Kamu harus hati-hati, Aleta. Indonesia nggak sama kayak di Turki." "Turki?" Bagas membeo. Aleta sangat ingin menepuk jidat. Dia segera menjelaskan, "Iya, beda 'kan Indonesia sama Turki, beda negara." Danu menyadari bahwa Aleta tak memberi tahu siapa pun bahwa dia berasal dari Turki, di sisi lain juga tidak peduli. Bagas rupanya kooperatif untuk tidak bertanya. "Jadi, kamu mau mampir dulu?" tanyanya pada Bagas. "Ah, ini beneran rumah Pak Danu? Aleta bilang tadi—aw. Apaan sih, Al? Sakit." Danu semakin curiga. Aleta nyengir. "Udah malem. Buruan pulang, ada razia di ujung jalan tadi nanti kamu ketangkep lagi. Ayo, cepet, pakai helm kamu." "Kenapa? Aku bukan anak tongkrongan nggak akan ditangkep." "Ish! Cepet pulang!" Bagas tidak berdaya dan bingung karena Aleta mendorongnya sedemikian rupa. Terpaksa naik ke motornya dan memakai helm. Meskipun masih bingung, dia tidak ingin kepo lagi. "Ya udah, Pak. Saya pulang dulu, ya. Aleta juga udah selamat sampai sini. Saya cuma ngojekin aja, soalnya tadi—" Cubitan kuat terasa di lengannya lagi dan dia lagi-lagi meringis. "Cepetan, Bagas. Pulang." "Iya, bawel. Hih!" Bagas memeletkan lidah. Menatap Danu lagi. "Oke, Pak. Selamat malam." Setelah motor Bagas tak terlihat lagi, Aleta menghela napas lega. Tapi rupanya dia masih belum keluar dari masalah lain yang menunggunya. "Dari mana kamu, baru pulang segini?" tanya Danu dingin. "Udah saya bilang untuk pulang setelah satu jam pergi. Kenapa kamu malah asyik-asyikan pacaran di luar sana? Sama Bagas lagi. Cinlok kamu?" Aleta baru ingin menjawab, tapi Danu mengangkat tangan. "Saya nggak mau denger alasan apa pun, ya, Al. Kamu di sini tanggung jawab saya. Kamu tinggal di rumah saya." Danu menekankan. "Saya nggak minta kamu suka sama aturan yang saya buat, tapi saya mau kamu ngerti." "Dan, tadi itu ..." "Stop! Saya nggak mau denger. Saya cukup tau aja, ternyata kamu tuh masih kayak ini, nggak berubah. Licik kamu, Al." Aleta membeku, tak percaya Danu bisa mengatakan hal itu. "Kamu pergi gitu aja tanpa kabar. Nggak mikirin gimana orang lain panik nyari kamu. Memang kamu tuh setega itu, 'kan?" Kata-kata itu sangat menusuk sehingga ada rasa nyeri tak terkatakan di dalam d**a Aleta. Dia hampir menangis. "Gimana? Puas kamu ngelakuin itu? Puas ngeliat orang yang kamu sakitin, menderita?" Danu menyeringai. "Jangan sampe Bagas jadi korban kamu selanjutnya. Amit amit saya." "Jaga mulut kamu, Dan!" Untuk sepersekian detik, Danu terkejut, tapi itu hanya sesaat karena dia dengan segera mengendalikan diri. "Wow, jadi kamu nggak terima aku bilang gitu? Kamu udah cinta sama Bagas?" "Apa sih maksud kamu? Aku nggak ngerti." "Nggak ngerti atau pura-pura bego kamu?" Tangan Aleta terangkat untuk memukul Danu. Tapi dia berhenti ketika dia hampir menyentuh pipi itu. Adu mata intens terjadi di antara keduanya. Kali ini Aleta bisa menangkap ekspresi terkejut dari Danu atas perlakuan itu. Anehnya, Danu tiba-tiba tertawa. "Kenapa berhenti? Kamu mau pukul saya, 'kan? Sini pukul. Jangan ragu-ragu," tantang Danu. Aleta menurunkan tangannya. Dadanya kembang kempis karena perasaan ya g campur aduk. "Kamu tau saya nggak bakal mukul perempuan, jadi saya bakal terima kalau kamu mau pukul saya. Pukul sampai puas, Al. Tapi itu cuma membuktikan seberapa liciknya kamu." Air mata yang ditahan Aleta akhirnya jatuh dan dia mulai sesenggukan. "Danu, please stop. Aku tau, aku salah, Dan. Aku tulus mau minta maaf sama kamu. Tolong jangan pojokin aku kayak gini lagi." Tenggorokan Danu bergerak sedikit. "Maaf? Mau kamu nunggu lima belas tahun lagi sampai saya maafin kamu?" Kepala Aleta mendongak terkejut. "Nggak mau, 'kan?" Suara Danu merendah. "Nggak ada maaf buat kamu. Jangan mimpi. Semua perlakuan saya hari ini, kebaikan saya, cuma karena saya kasihan sama kamu. Jangan berharap lebih." Aleta terpaksa terbungkam. Tidak menyangka bahwa Danu memiliki dendam sebesar ini padanya. Danu juga melihat ekspresi Aleta yang kaku. Lucunya, dia tidak merasa puas. Dia malah merasa dia yang terluka. Dia menghela napas. "Udah malam. Ayo, masuk. Saya nggak mau dibilang laki-laki jahat yang ninggalin perempuan di luar malem-malem sendirian. Jangan lupa kunci pintu." Setelah mengatakan itu, Danu pergi, tanpa melihat ke belakang lagi, dia masuk membawa rasa sakit yang menusuk lebih dalam pada jantung Aleta. Tubuh Aleta segera berjongkok. "Trus gimana sama kamu, Dan? Kamu juga udah punya pacar di luar sana, aku bisa apa?" Tentu saja Aleta tahu itu. Dia memang punya alasan kenapa pulang terlambat dari waktu yang ditolerir Danu, tapi dia tidak melakukannya dengan sengaja. Karena dia butuh ponsel baru, dia mengambil cadangan uangnya terlebih dahulu. Dia pergi ke Mal untuk membeli ponsel sebelum mengabari Danu alasan dia akan terlambat. Di penyeberangan jalan, dia hampir diserempet oleh mobil karena melamun. Itulah kenapa dia bisa bertemu Bagas dan memintanya untuk menemani. Pada saat itu, Aleta tidak menyangka bahwa dia akan melihat Danu juga ada di sana bersama perempuan lain. Mereka sangat dekat, bercanda dan mengobrol dengan menyenangkan. Ada suatu ketika Aleta melihat Danu mendekatkan wajahnya pada wanita itu, seolah-olah ingin menciumnya padahal mereka di tempat umum. Bagi Aleta yang masih mencintai Danu. Bagaimana dia bisa menerima ini? Hatinya sakit. Seolah-olah baru saja diterjunkan dari langit tinggi ke tebing terjang dengan batu-batu tajam. Dia hampir mati dengan hati yang berdarah. Ingin rasanya dia melampiaskan amarah dan menghampiri Danu, tapi akhirnya dia hanya menahan diri. Dia mengajak Bagas untuk makan, pergi ke taman melihat pertunjukan olahraga anak-anak di taman kota. Sampai lupa waktu. Ketika dia pulang, itu sudah malam dan dia tahu apa konsekuensinya jika Danu tahu hal ini. Tapi dengan polos Aleta masih berharap bisa bertanya pada Danu untuk mengetahui siapa wanita itu. Sayangnya, jangankan bertanya, dia sudah dimarahi habis-habisan bahkan sebelum dia membuka mulut. Apalagi Danu harus mengungkit masa lalu mereka. Ini begitu jauh. Danu begitu jauh untuk digapai sehingga Aleta tidak tahu apakah dia masih bisa bertahan. *** "Non, coba pakai obat mata ini." Aleta terkesiap saat Bu Mira menghampirinya yang melamun di taman pagu itu. Selain membawa obat mata, Bu Mira juga membawakan sarapan untuknya. "Trus jangan lupa makan sarapannya juga, Non. Pak Danu nggak makan, masa Non Aleta juga nggak makan. Mubazir makanan buatan saya." Aleta menoleh. "Danu nggak makan? Dia ada di kamarnya, 'kan?" Bu Mira menggeleng lesu. "Pak Danu pergi pagi-pagi banget. Buru-buru gitu. Semalem juga sama, nggak makan sama sekali. Dia khawatir banget pas tau Non Aleta belum pulang." Mendengar ini seolah-olah ada tabuh yang memukul dadanya yang mati, sehingga berdetak tidak nyaman. "Danu nyariin aku?" "Iya, Non. Pak Danu agak panik. Mungkin dikira Non Aleta diculik siapa gitu." Entah bagaimana, Aleta merasa sedikit menghangat. Ternyata Danu masih memikirkannya, meskipun sedikit, tapi itu masih ada. "Aku harus minta maaf sama Danu." Aleta bergumam. Bu Mira masih di sana dan dia mendengarnya. Pembantu wanita itu agak aneh ketika melihat mereka ribut di gerbang semalam tadi, tapi tidak berani membahasnya. "Makanya Non jangan pergi lama-lama lagi, apalagi ngilang gitu aja tanpa kabar. Kasian Pak Danu, Non. Kelimpungan gitu." Bu Mira mengompori. Kata-kata ini begitu menusuk sehingga Aleta hampir muntah darah. "Iya, aku tau." "Pak Danu orang yang baik kok, Non. Mana ganteng, kaya, pengertian lagi," kata Bu Mira sambil mengelap meja kaca di depannya. "Mungkin lagi suntuk sama kerjaan aja, makanya agak sensitif belakangan ini." Maaf, Aleta tahu kenapa Danu sensitif, itu jelas bukan karena masalah kantor, oke?! "Sensitifnya cowok ngelebihin cewek hamil 'kan, Non. Suami saya juga begitu kadang-kadang." Aleta tertawa. "Gitu dong, Non. Ketawa. Kan cantik. Jangan murung. Jangan nangis terus juga. Semua masalah harus dibicarakan dengan baik-baik supaya ketemu solusi." Aleta jadi tercerahkan. "Bu Mira tau nggak, Danu pergi ke mana?" "Nggak tau, Non." Aleta mengendur kecewa. "Mungkin ketemu sana Non Karin kali, ya. Biasanya kalau pergi gitu, pasti sama Non Karin." "Karin itu siapa?" "Ah, Non Aleta jangan salah paham, ya. Itu bukan pacarnya Pak Danu kok." Bu Mira segera memberikan penjelasan seolah-olah takut Aleta curiga. Jadi, sejak kemarin Bu Mira memang punya gagasan bahwa kedua orang ini sedang pacaran, tapi karena sedang ada konflik di antara keduanya, dia pikir itu pasti soal wanita. Bu Mira tidak mau Aleta makin sedih. Tapi Aleta terlanjur merasa tidak aman. "Jadi siapa dia, Bu?" "Dia temen baiknya Pak Danu, sering kok main ke sini." Aleta tersenyum kering. 'Sering masih ke sini' bisa didefinisikan sebagai pacar juga. Kalau teman doang mana mungkin dia sering-sering main, apalagi untuk main-main dengan laki-laki seusia Danu yang sudah tidak muda lagi. Ah, kenapa dia harus terus menerima kenyataan pahit sih? "Non, percaya deh, mereka cuma temen kok." Bu Mira jadi gugup. Tapi gimana Aleta bisa percaya lagi? Dia cemburu buta yang ada. tbc.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN