12. Jutek terus sampe meninggoy

1893 Kata
Seminggu berada di rumah Danu, Aleta stres. Rasanya kayak hampir serangan jantung kalau dia harus selalu prepare untuk segala hujatan kejam Danu. Namun setelah berpengalaman dijutekin setiap hari, kesabaran Aleta sangat tebal, tapi tidak dengan badannya yang menipis. Hari Jumat sudah separuh jalan. Aleta merasa lelah luar biasa dan ingin pulang. Sejak dikatakan anak buah sang ayah mengejarnya ke Indonesia, sampai hari ini tidak ada kabar apa pun. Selama itu pula, Danu menanggung semua keperluannya dengan embel-embel utang. Padahal Aleta tahu Danu tidak seprimitif itu sampai jadi kikir. Aleta mengingat insiden minggu lalu, di mana dia dipergoki Danu pulang bersama Bagas. Setidaknya dia berharap Danu cemburu sedikit saja, Aleta merasa Danu memang cemburu. "Rumi kirim uang lewat kartu saya. Pegang ini, jadi kamu nggak perlu repot bikin kartu baru pakai nama kamu." Ini adalah kata-kata Danu minggu lalu. Ketus dan galak seperti biasa, tapi Aleta bisa merasakan perhatian. Danu bahkan berkata bahwa selama masalah Aleta belum selesai, kartu ini akan dipergunakan untuk menerima gajinya setiap bulan. See? Aleta sama sekali tidak kepikiran soal gajinya sendiri, tapi lihat bagaimana Danu mengatur semuanya? Dan Aleta masih percaya kalau Danu benci padanya? Yeah, benci itu memang ada, tapi pasti sudah berkurang dengan seringnya kebersamaan mereka. Dengan begini, tinggal dengan Danu tidak buruk juga. Aleta menciumi kartunya dengan sukacita. Sambil mesam mesem. Bahkan setelah seminggu, atau mungkin selamanya, kartu itu akan menjadi kesayangannya. "Al, kamu baik-baik aja?" tanya Marwa khawatir karena kelakuan gilanya. "Aku baik." Aleta terkekeh. "Dua minggu lagi gajian. Aku nggak sabar." Dua minggu masih lama, dude! Selepas keduanya tiba di Kantin Melati, suasana lebih ramai dari hari sebelumnya. Hampir semua meja yang biasanya kosong terisi. Ini membuat Aleta tidak terbiasa. Spot favoritnya pun diambil orang lain. "Kenapa hari ini rame banget?" Aleta agak bingung. "Maklum tengah bulan, orang-orang mulai keabisan uang." Marwa menjelaskan dengan sabar. "Oh, gitu." Mereka terpaksa duduk di tempat yang kosong. Rupanya, meja itu diisi dengan Bagas dan Kevin. Awalnya Marwa ragu untuk berbagi meja, tapi semua meja saat ini penuh dan yang mereka kenal dekat cuma Bagas. Jadi Marwa akhirnya mengalah. Aleta mengetuk mejanya pelan-pelan. "Boleh kita duduk di sini?" Bagas dan Kevin hampir mendongak secara bersamaan. Dengan senang hati mendengar suara cewek mendekat, tapi begitu melihat siapa yang datang, wajah Kevin terang-terangan tidak nyaman. "Lo ngajak dia?" Kevin menaikkan sebelah alisnya. Aleta bingung. Pertanyaan ini jatuh pada siapa? Lalu dia melihat Bagas samar-samar menyenggol lengan Kevin. Namun wajah Kevin masih tidak bahagia. "Duduk aja, kosong kok." Bagas mempersilakan. Giliran Aleta bersiap untuk duduk, Marwa menarik tangannya. Aleta melirik dan mendapati keraguan di wajah Marwa. "Nggak apa-apa, Al. Makan di tempat lain aja. Penuh." Suara Marwa bergetar. "Kenapa?" "Kita bisa makan di atap dan—" Meja digebrak kasar begitu Kevin berdiri dan terlihat lebih kesal. Keributan kantin yang sebelumnya mengecil dan mata semua orang tertuju pada mereka. "Vin, udah?" tanya Bagas masih tenang. "Kalau lo masih mau makan terserah." Kevin keluar dari meja dan pergi meninggalkan makanannya yang setengah utuh. Bagas menggelengkan kepala. "Nggak apa-apa. Duduk aja. Kevin udah selesai kok." Aleta masih tidak mengerti. "Kenapa? Dia nggak mau aku gabung, ya?" Tidak ada yang menjawab pertanyaan itu. Terlebih Bagas segera melirik Marwa yang menunduk dan terlihat tak nyaman. Sayangnya, Aleta tidak menyadari ini dan terfokus pada mata beberapa orang yang masih tertambat di meja mereka. Meskipun tidak jelas apa yang mereka bisikkan, tapi itu sepertinya bukan hal baik mengenai mereka. Aleta menarik Marwa duduk dengan paksa. "Ada apa sih?" tanya Aleta lagi. Serius, ini ada apa? Dia masih penasaran dan mulai memikirkan banyak spekulasi buruk di kepalanya. Tidak mungkin ayahnya sudah tahu dia bekerja di sini dan melakukan omong kosong semacam; menjebak anaknya supaya dibenci semua pegawai dan akhirnya dipecat dengan tidak terhormat. Oke, itu ngawur. Ayahnya tidak seluang itu memikirkan rencana untuk menjebaknya. Kalau dia memang menemukan Aleta, dia akan langsung menyeretnya tanpa basa-basi. Dengan pemikiran ini, Aleta tenang sedikit. Tapi masih gugup. "Udah, Al. Jangan dipikirin." Bagas melihat kerutan di dahi Aleta dan menenangkannya. "Marwa juga." "Bukan gara-gara aku gabung 'kan, dia marah?" Ngomong-ngomong, Aleta juga tidak begitu kenal dengan Kevin. Cuma tahu bahwa lelaki itu dekat dengan Bagas. Dia tidak merasa pernah menyinggung Kevin di mana pun. "Nggak. Lagi suntuk dia belum gajian." Aleta memaklumi. "Bener juga. Pantes aja kamu makan di sini. Biasanya di sebelah." "Itu ikut-ikutan aja, Al. Di sebelah ada makanan murah juga kok, tapi ya gitu nggak ngenyangin. Enaknya karena tempatnya cozy dan ber-AC aja." Duh, Aleta jadi tidak sabar ingin masuk ke sana. Sabar, nunggu gajian, ya. Lama tidak mendengar suaranya, Aleta baru teringat dengan Marwa. "Marwa? Kenapa diem?" Aleta menyenggol bahunya. "Kamu sakit?" Marwa menggeleng. Bagas yang sedang meminum soda kalengnya mengintip secara halus. Tidak berekspresi. Dia menaruh kaleng kosongnya di meja, bersendawa kecil dengan sengaja. "Aku sebat dulu, ya." Bagas memberi isyarat dengan dua jarinya di mulut. Aleta akhirnya tahu, artinya mau merokok. "Oke." Meskipun dia masih janggal juga kenapa Bagas ikutan pergi, tapi dia tidak memikirkannya. Kemudian dia memusatkan perhatiannya pada Marwa lagi yang masih tampak aneh. "Marwa, kenapa sih? Ada masalah, ya?" "Maaf ya, Al. Aku buat kamu nggak nyaman." Marwa menjawab dengan topik lain. "Gimana? Apa maksudnya?" Aleta blank. "Aku agak pusing, kayaknya aku balik ke ruangan dulu deh." Sebelum Aleta sadar, kursi bergeser dan Marwa berlari keluar dari kantin tanpa penjelasan. Aleta bengong. Sejenak dia lupa di mana dia berada dan apa yang sedang terjadi. Dia mencoba mengingat-ingat wajah lesu dan pucat Marwa dan sedikit khawatir. Pada akhirnya, dia menyelesaikan makan siangnya seperti. Dia makan seperti sedang melakukan balapan lari. Cepat. Tanpa dikunyah. Karena masih kepikiran sama Marwa yang belum makan siang, dia akhirnya membeli dessert di Kantin Mawar untuk sahabatnya itu. Masuk ke ruangan itu pertama kalinya, ini seperti kembali masa tenangnya sebelum dia bekerja keras. Kantin itu bersih dan luas, pendingin ruangan dan panas dari jendela mendukung. Benar kata Bagas, suasananya lebih enak. Cozy. Tipikal anak muda. Tidak ada tembok pudar terkena cipratan air, tidak ada bau minyak jelantah, bau gosong gorengan atau bau bumbu sambal yang nyengat. Sirkulasi udara sepertinya sudah diatur dengan baik, setiap stan kantin punya ruang dapur yang agak ke belakang. Bahkan Aleta menangkap perintilan sofa kulit di lounge dan mini bar. Sedap. Benar-benar seperti langit dan bumi. Aleta sadar kehidupan seperti inilah yang dia jalani sejak dulu. Terbiasa bergelimang harta, dia bisa memilih tempat bagus dan menghindari tempat yang murah. Setelah setengah bulan di Kantin Melati, tempat yang dulu dianggap kotor oleh Aleta, sebenernya tidak buruk. Meskipun bau minyak ada di mana-mana, kantin itu juga punya penyaring udara. Sebenernya tidak kotor juga. Cuma bau minyak memang agak kental. Aleta menghela napas. "Jangan menghalangi jalan masuk. Kamu nggak tau berapa orang yang kesal ngeliat kamu bengong di depan pintu?" Suara itu membuyarkan kenangan-kenangan indah Aleta di masa jayanya, dan kembali pada kenyataan bahwa dia akan menemukan Danu di mana pun. Termasuk Kantin Mawar ini. Kepala Aleta melihat agak ke belakang, dan memang benar, banyak yang mengantre menunggunya untuk masuk. Aleta menyingkir, kikuk. "Bapak baru turun? Mau makan siang, Pak?" Danu hanya meliriknya sekilas, tidak menjawabnya sama sekali dan pergi. "Jutek banget mantan." Aleta menggerutu. Untungnya, hati Aleta benar-benar kebal hanya karena kebaikan Danu. Jadi mau diketusin seperti apa, dia merasa itu hanya angin yang menggelitik telinganya sampai geli. 'Oke, Danu zheyeng, silakan jutek terus sampe meninggoy. Aku tetep sayang kok. Unch.' Aleta hampir melupakan tujuan dia kemari. Dia bergegas mencari stan dessert di mana Danu sering membelikan 'pegawai' makanan kecil. Saat dia menemukannya, dia melihat Danu juga ada di sana. Aleta berdecak. "Ngapain kamu ngikutin saya?" tanya Danu begitu mendapati Aleta di sebelahnya, melihat-lihat. "Hmm. Saya mau pesan kue, Pak." Aleta menjawab kalem. "Bapak mau bagi-bagi kue lagi, ya?" "Geer banget kamu. Saya beli buat saya makan sendiri." "Oh." Aleta tidak begitu menghiraukan kejutekan Danu, dia masih melihat menu dan harga. Memilah yang paling murah namun mengenyangkan. Dia tidak menyadari bahwa gerakan Danu berhenti total, jari-jarinya meremat kotak kue dengan gerakan menghancurkan. Lalu dia berkata, "Jangan terlalu lama milih, antrean panjang. Yang mau makan bukan kamu aja." Aleta menoleh dan tersenyum. "Makasih, Pak, udah diingetin." Kening Danu mengernyit dan entah mengapa merasa semakin marah. Dia menyadari bahwa Aleta aneh belakangan ini, biasanya dia akan melihat mantannya itu murung bahkan menangis diam-diam jika dimarahi. Tapi sekarang malah sering tebar senyum. Danu ingat bahwa Aleta sudah pacaran dengan Bagas, itu pasti alasannya. "Mau beliin kue buat pacar sampe bingung gitu. Pacaran makan cinta juga udah seneng biasanya." Danu menyindir. Aleta masih diam dan memilih-milih. Senyum tidak hilang dari pandangannya. "Pacaran boleh, tapi jangan sampai saya tahu hubungan kamu ganggu kerjaan. Saya nggak segan-segan hukum kamu. Kamu 'kan masih pegawai training di sini." 'Sabar. Sabar.' Aleta melipat bibir, menutup matanya. Dia akhirnya menatap Danu, tidak jelas arti pandangannya, tapi begitu kuat dan tidak goyah. Danu balas menatapnya. "Kenapa kamu menatap atasan kamu kayak gitu? Nggak suka sama apa yang saya omongin?" Aleta menurunkan matanya. "Nggak apa-apa, Pak. Cuma bingung aja, apa salah saya sekarang?" Ditatap sekejap barusan, lalu melihatnya menunduk lesu, Danu punya perasaan tak nyaman di hatinya. Perasaan aneh yang tidak bisa dijelaskan, seperti ingin marah dan ingin mendorong mantan pacarnya ini ke tembok terdekat untuk mengintimidasinya dan membuatnya takut. Lucu sekali. "Yang salah itu eksistensi kamu, Aleta." Biasanya dengan kalimat yang menusuk, itu akan membuat Aleta menangis. Danu ingin melihatnya sakit hati sekarang. Terdengar decakan dari orang di sebelahnya. "Bapak bosen 'kan ketemu saya? Balikin saya ke ruangan sebelumnya aja, Pak. Kasihan Pak Danu nanti stres ngeliat saya terus. Sakit jantung di usia muda itu bisa bahaya juga lho, Pak." Urat di dahi Danu menonjol karena kemarahan. "Kamu ngomong gini karena kamu marah saya pisahin sama pacar kamu?" Astaga. Aleta nyebut. "Pak, saya sama Bagas nggak pacaran. Bapak dapet ide darimana sih, ngira kami pacaran terus?" "Maling mana ada yang mau ngaku." Danu mendengus. "Maling? Apa yang saya curi, Pak? Saya bukan maling." "Apa pun yang keluar dari mulut kamu, Aleta, saya nggak percaya." "Nggak masalah, Pak. Saya nggak butuh Bapak percaya juga. Bapak 'kan batu prasasti." Kalimat itu menusuk d**a Danu begitu telak. Baru akan membalas lagi, dia melihat penjaga stan makanan itu kepergok mengonsumsi keributan mereka berdua, dan tersenyum kikuk pada Danu. "Bisa tolong bungkus ulang ini, Bu?" Danu menyerahkan kantung kuenya yang hancur karena tanpa sadar dia remat selama keributannya dengan Aleta. Pada saat yang sama, Aleta juga selesai memilih kue dan menyerahkan nampan. Dia sedikit cemberut karena harganya memang mahal. Dia baru sadar bahwa cake kecil selama ini memang semahal itu. "Berapa totalnya, Bu?" tanya Danu, memberikan kartunya. "Totalin sama punya dia juga, ya?" "Ah?" Aleta yang sedang meratapi dompetnya, kaget. "Kenapa? Saya beliin ini buat pacar kamu, biar dia nggak sedih punya pacar yang kere kayak kamu." Penjaga stan meringis mendengar kalimat itu, ikut merasa kasihan dengan Aleta. Prihatin juga. Mungkin demi pacar cewek malang ini rela membeli kudapan mahal karena takut diputusin. "Kalau kayak gitu, nggak usah, Pak. Saya punya duit! Makasih!" Aleta tersinggung. Danu terang-terangan tidak memberinya muka, dan bertanya pada penjual kue. "Udah selesai?" "Udah, Pak. Sekalian total punya Kakak ini, 'kan?" Danu tersenyum, cukup puas. Menekan digit pin sampai pembayaran selesai, dan mengambil kartunya kembali. "Terima kasih," kata Danu, lalu menatap sang mantan dengan congkak. "Aleta, ini akan saya masukin ke catatan utang kamu. Jangan lupa dicicil akhir bulan nanti." Danu pergi begitu saja dengan senyum yang tidak pergi dari wajahnya. Begitu sombong dan bangga. Aleta hampir serangan jantung! tbc.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN