Aleta memandangi hujan rintik di Minggu siang. Tapi dia tidak menyetel lagu sedih dan tidak merasa galau juga. Sebaliknya dia berbinar-binar karena akan kencan dengan pacar, Danu.
Suara motor tua terdengar dari arah gerbang, Aleta bersemangat berlari dari teras rumah.
"Kenapa kamu lari-lari gitu? Musim ujan jalanan licin, jangan sampe kepeleset," kata sang pacar lembut.
"Aku nggak sabar ketemu kamu," jawab Aleta bucin.
Danu tertawa lembut, tidak terdengar suara tawanya, namun wajahnya yang agak tersipu terlihat menggemaskan.
"Jadi jalan?"
"Jadi dong, Pacarku!"
"Tapi agak gerimis. Nggak masalah?" Danu sedikit berdecak.
"Nggak apa-apa. Mau ada hujan, badai, tsunami, banjir, tornado, guntur, longsor——"
"Hush! Mulai deh, nggak berhenti kayak kereta." Tangan Danu dengan gemas mencapit bibir Aleta yang cemberut.
Sengaja, Aleta terus mengoceh dalam cengkeraman jari Danu. Malah membuat Danu mengernyit, semakin menjepitnya.
"Udah ah, makin jadi kalau aku ladenin kamu." Danu melepaskannya, menggelengkan kepala.
Aleta nyengir. Nggak sabar ingin menggelayut di lengan pacarnya yang baik dan gemesin.
Saat Danu tiba-tiba turun dari motor, Aleta kebingungan. Dia melihat Danu melepas jaket dan helmnya. Kegantengannya yang tersembunyi dalam helm, meluber ke mana-mana, sampai Aleta hampir menumpahkan air liur.
Tapi saat sebuah jaket disampirkan ke bahunya, Aleta terdiam.
"Eh?"
Ekspresi Danu sangat serius. Dia mengancingkan ritsleting sampai batas leher. Dia juga memakaikan helm di kepala Aleta.
"Lho, kok aku yang pake helm? Kamu nggak nyuruh aku yang bawa motor untuk boncengin kamu, 'kan?" Aleta berspekulasi bodoh.
"Emang kamu bisa naik motor?"
"Nggak bisa, tapi kalau kamu mau ngajarin, aku mau belajar kok."
"Yakin kamu mau belajar sama aku? Aku punya banyak teknik nih kalau emang kamu mau?" Danu berkata sambil naik ke motor, dan menghidupkan mesin.
"Ya maulah. Apa sih yang aku nggak mau dari kamu? Dinikahin juga mau."
"Bisa, ya, kamu, ngeledekin aku terus." Danu geleng kepala. "Ayo, naik. Nanti keburu rame, jalan ditutup."
By the way, mereka mau lihat pawai tari di gelanggang olahraga. Sebelum melakukan pertunjukan biasanya peserta tari akan diarak keliling jalan raya beberapa kilometer. Ini sudah biasa terjadi di kota mereka setiap tahun.
Aleta buru-buru naik. "Kamu nggak percaya sama aku? Emang kamu nggak mau nikahin aku, Dan?"
"Mau dong."
"Kapan?"
"Besok Senin kalau sekolah libur."
Sepenuh hati, Aleta mencubit pinggang Danu, sampai empunya menggeliat kesakitan.
"Sakit, Sayang." Danu menolehkan kepalanya sedikit, memberi Aleta peringatan.
Tetapi, Danu mau marah bagaimana juga tidak pernah terlihat menakutkan. Malah ini yang membuat Aleta senang membuat Danu kesal. Sayangnya, Danu tidak pernah kesal.
Tangan Aleta terjulur memeluk pinggang Danu. "Aku sayang kamu, Dan."
Danu tidak menjawab, dia tiba-tiba diam.
Langit tiba-tiba gelap dan mereka satu-satunya yang ada dalam dimensi gelap yang tiada ujung. Aleta bingung. Di sisi lain masih menganggap itu normal di kepalanya. Meskipun sedikit aneh jika ada anomali seperti ini.
Apa mereka tiba-tiba masuk ke ranah alien?
"Danu?" panggilnya. "Kok jadi gelap, ya?"
Tidak ada suara di depannya. Kepala Danu turun menunduk. Hawa dingin tiba-tiba datang. Ada embusan angin entah dari mana.
Aleta menggigil. "Dan? Danu?"
"Aleta ..." Danu balas memanggil, suaranya sangat lemah dan rendah. Dia memanggil lagi, "Aleta ... Aleta ... Aleta ..."
Suaranya semakin rendah, semakin rendah dan rendah, ringan, berirama.
....
"Aleta ... ayo, kita nikah ...."
Terdengar petir keras menyambar di luar jendela yang tiba-tiba muncul. Petir itu menghancurkan jendela dan juga kepalanya. Aleta terpental jatuh ke lubang hitam dengan kuat.
"Aleta, ayo, Aleta ... Aleta, ayo ... ALETA!!!"
Aleta langsung membuka mata lebar-lebar. Berdiri. "Ya, Danu, aku udah siap nikah!"
Sunyi senyap.
"Eh?"
Aleta mengerjap kaget. Dia melihat banyak pasang mata melihat ke arahnya dengan ekspresi perpaduan bingung dan aneh.
"Pfft! Hahahaha!!!"
Tiba-tiba Kevin tertawa sangat keras sehingga dia tidak bisa mengontrol lagi. Hampir terjungkal di kursi. Akibatnya, semua orang yang menahan diri untuk tidak tertawa, tertular olah tawa keras Kevin. Jadilah semuanya tertawa.
Aleta masih setengah nyawa. Tidak mengerti. Tapi dia mendengar suara dehaman memperingatkan.
"Udah bangun kamu?"
Tubuh Aleta membeku. Kepalanya menoleh patah-patah hanya untuk menemukan Danu berdiri di sampingnya. Tangan Danu bersedekap. Wajahnya tampak murka.
"P-Pak?"
Aleta langsung ingat bahwa dia sedang ada di ruang rapat bersama perwakilan beberapa divisi perusahaan. Konyolnya, di situasi serius itu, dia tertidur!
Lebih parahnya, dia memimpikan kejadian di masa lalu!
"Mampus!" Aleta merasa nelangsa.
"Apanya yang 'mampus'?" tegur Danu. "Kamu nggak merasa bersalah udah tidur dalam rapat?"
Tawa Kevin sudah berhenti. Ruangan itu hening tepat setelah Danu mengucapkan kalimat terakhir.
"M-Maaf, Pak. Saya ketiduran." Aleta kikuk, beralasan, "Soalnya semalam saya begadang untuk nyelesain pekerjaan kantor. Iya, Pak, gitu."
"Udah salah, masih alasan?" dengus Danu mencemooh. "Jangan kamu kira saya nggak tau kamu begadang karena sibuk chat sama pacar kamu."
Jleb.
Seperti ada pisau yang menusuk jantung dua orang sekaligus di ruang rapat itu. Bagas sih aslinya tidak berpacaran dengan Aleta, tapi Danu sudah sejak seminggu menganggapnya begitu. Bahkan Bagas tidak bisa menghitung entah berapa kali dia disindir oleh Danu, sadar atau tidak.
Jadi, dia merasa tersindir juga kali ini.
"Emang apa sih kerjaan kamu? Kerjaan sebagai asisten saya itu udah paling ringan. Apa pernah saya nyuruh kamu kerja di luar jam kantor?"
Bagas dan Aleta lagi-lagi tersindir.
"Pernah, Aleta?"
Aleta menggelengkan kepala, tidak berani mendongak.
Ruangan menjadi hening dan kaku seperti semua orang adalah bunga yang dibekukan dalam peti mayat. Karena Danu tidak pernah berkata sekeras itu, semua orang yang tidak pengalaman, menjadi takut dan segan.
"Ini peringatan buat yang lain juga, ya," sambung Danu lagi, melihat ke arah penonton rapat. "Saya nggak pernah 'kan batasin kalian untuk pacaran? Tapi kalian harus ingat sama kerjaan masing-masing. Belajar. Mulailah manage waktu kerja dengan baik. Jangan sampe ada kejadian kayak gini. Paham?"
Semua orang serempak menjawab, "Paham, Pak."
Danu melihat jam tangan sebagai pengalihan emosi yang cerdas, berkata, "Rapat ditutup. Jangan lupa sama apa yang kita bahas hari ini. Kalian boleh pulang."
Semua orang keluar dari ruangan dalam sekejap. Masih dengan suasana ambigu dengan kemarahan bos mereka yang langka, tapi tidak berani menggosip sebelum mereka jauh dari jangkauan sang bos.
Begitu Aleta juga akan pergi melarikan diri, Danu memanggilnya.
"Siapa yang menyuruh kamu pergi, Aleta? Saya masih punya pekerjaan untuk kamu."
Hati Aleta langsung jatuh ke jurang.
***
Ternyata, pekerjaan yang Danu maksud adalah membuatkan kopi dan memesankan makanan.
Seriously?
Aleta ketar ketir hanya untuk ini?
Untungnya, dia bisa cekatan menyelesaikan 'pekerjaan' itu. Makanan yang dipesankan pun tidak mendapat protes apa-apa. Akhirnya dia diperbolehkan pulang saat itu juga, dan dia kemudian tahu bahwa Danu ternyata tidak langsung pulang karena akan lembur pekerjaan.
'Bos macam apa sih lembur mulu? Kalau lembur karena sengaja ngehindarin aku sih, percaya,' gerutunya.
"Ya, Danu, aku udah siap nikah! ... Pfft! Astaga, kalau inget masih ngakak aja gue. Buahahaha!"
Mendengar hal itu lagi, mulut Aleta berkedut. Dia melirik Kevin yang muncul entah dari mana seperti jendela dari mimpinya dan mulai kesal.
Lagipula sejak kapan mereka akrab?
Bukannya tadi siang Kevin sengaja pergi saat dia mau gabung meja?
"Udah, Vin, jangan ledek Aleta terus." Bagas menegur.
Tetapi, Kevin adalah si bebal. "Al, Al, lo mimpi jorok, ya? Gila! Berani banget sih ngayal mau nikah sama atasan. Sayang banget gue nggak ngerekam kejadian epic itu! Siyal!"
Aleta mendengus kesal.
Sumpah! Sok akrab banget ini orang!
"Emang aku tadi nyebut nama Pak Danu, ya?" tanya Aleta dengan wajah sedih pada Bagas. Pikirannya jadi carut marut. Malu tujuh turunan juga rasanya.
"Iya!" Kevin menjawab semangat. "Inget nggak tadi? ... 'Kamu mau nggak nikah sama aku, Dan?' gitu!" tirunya. Tertawa lagi tanpa dosa.
"Beneran?" Aleta shock. Tapi kenapa sepertinya kata-katanya di mimpi bukan itu?
Bagas meringis, lalu mengangguk membenarkan. Di samping itu, Kevin masih tertawa terpingkal-pingkal sampai mukul-mukul tembok. Membuat rasa malu Aleta yang tak seberapa menjadi buruk, seolah-olah itu aib. Semua orang di meja rapat jelas mendengar semuanya.
"Ngaku deh, lo mimpi jorok, ya?" Kevin bertanya meledek, menahan tawa dengan sorot serius.
"Nggak usah didengerin, Al." Bagas bergeleng kepala.
Sementara Aleta, dia bingung harus menjelaskan bagaimana, karena dia sudah tidak bisa lagi menutupi wajahnya dari rasa malu ini. Siapa yang tahu dia bakal mengigau parah saat tidur begitu? Dan kenapa juga dia bisa tidur pas lagi rapat serius?!
Malu, Aleta. Malu!
Sampai mereka menuju mesin presensi, Kevin masih meledeknya sambil banyak memberikan pertanyaan terselubung. Kevin sama sekali tidak tahu kalau Danu adalah kenalannya, yang tahu cuma Bagas dan Marwa. Inilah kenapa kedengarannya lebih miris. Aleta dikira sedang mimpi di siang bolong.
Dia memang mimpi, tapi mimpinya bukan di waktu siang, tapi sore bolong.
"Kamu mau pulang sama aku?" Bagas bertanya.
Sebelum menjawab, Aleta celingukan mencari keberadaan makhluk gaib yang mengejeknya sejak tadi. Ternyata sudah pergi lebih dulu.
Fiuh.
"Nggak kayaknya, Gas."
Lagipula, Aleta harus ke toko komputer untuk melihat-lihat laptop baru agar saat gajian nanti dia bisa menyisakan budget untuk membelinya.
"Oke, kamu mau bareng Pak Danu toh?"
"Hm, kenapa?"
Bagas menempelkan sidik jarinya ke sensor absensi elektronik sebelum menjawab, "Aku pikir kamu masih tinggal di rumahnya Pak Danu. Kan dia lagi lembur sekarang. Kamu nggak nungguin dia?"
Benar juga. Aleta baru terpikirkan.
"Kenapa Bos lembur hari ini?" tanyanya. "Maksudku, kenapa Bos lembur dan anak buahnya pulang?"
"Aku juga sempet nanya soal ini, kata Pak Danu lemburnya bukan masalah kantor kok." Bagas bergeser memberi Aleta ruang untuk mengabsen.
"Bukan masalah kantor?"
"Yup. Kayaknya akhir-akhir ini Pak Danu lagi sibuk ketemu Pak Brein. Kamu tau 'kan?"
Aleta mengingat-ingat. "Aku emang beberapa kali liat jadwalnya, paling nggak seminggu dua kali ada acara makan sama Pak Brein, sih."
"Maksud aku, kamu tau 'kan siapa Pak Brein?"
"Nggak tau."
Bagas menepuk jidat. Keduanya keluar dari ruang presensi dan berjalan ke lorong, berhenti sebentar dengan sengaja.
"Pak Brein Sutomo, owner perusahaan ini. Dia itu keturunan Cina gitu, Al. Perusahaannya banyak banget di sini. Hansen Group ini cuma perintilannya. Katanya nih, ya, dia juga punya perusahaan di berbagai negara lain juga. Tajir melintir."
"Oh."
Reaksi pasif itu membuat Bagas mengerutkan dahi. "Kamu nggak takjub gitu?"
"Hah?"
"Dia orang paling kaya nomor lima di Indonesia, Al!"
Ya, terus? Aleta bingung. Kalau bos perusahaan miskin, itu baru bikin orang takjub. Namanya bos di mana-mana sudah biasa kaya raya, 'kan? Seperti ayahnya, yang punya beberapa rumah sakit di Turki. Bahkan setiap tahunnya sang ayah mengajak orang kaya berdonasi untuk membantu orang tidak mampu agar bisa berobat di rumah sakitnya. Itu baru hebat.
Aleta sudah sering bertemu dengan pengusaha kaya yang melakukan donasi rutin ke rumah sakitnya. Karena dia direktur di sana, secara khusus dia yang menemui para pengusaha itu. Mendengar ada kekayaan sebesar milik Brein Sutomo, itu sudah makanan sehari-harinya dulu.
Jangankan orang kaya nomor lima. Orang kaya nomor satu di Turki saja, Aleta tidak akan terlalu takjub.
"Hebat dong, ya." Aleta akhirnya hanya pura-pura kagum. Sebenarnya yang lebih gampang membuatnya kagum adalah harga nasi sayur telur yang cuma sepuluh ribu.
Nggak kagum sih, kaget karena semurah itu.
Bagas sepertinya tahu bahwa Aleta pura-pura takjub, mengalihkan topik. "Jadi, kamu beneran nggak nebeng?"
"Nggak, Gas. Makasih tawarannya."
Bagas basa-basi singkat sebelum akhirnya turun ke lift basemen. Ketika sosoknya menghilang, Aleta juga hilang—hilang arah. Dia jadi kepikiran Danu yang sendirian di ruangannya. Apa Danu tidak takut kalau tiba-tiba lampu kedap kedip dimainin hantu gentayangan kantor?
Hiiii!
Dengan segera Aleta naik lift kembali ke lantai atas. Dia segera memencet lantai dua puluh delapan. Lift berjalan lambat, melihat pantulan dirinya di cermin, Aleta terbayang kegelapan di dalam mimpinya sore tadi dan berhalusinasi tentang petir. Lalu merinding sendirian.
Untungnya, dia sudah sampai di lantai tujuannya sebelum dia menjadi gila karena halusinasi petir.
Begitu lift terbuka, Aleta buru-buru melangkah. Tapi baru menapak dua langkah ke depan, dia melihat sosok Danu ada di hadapannya saat itu, dan berhenti dadakan.
Tatapan mereka bertemu satu sama lain.
Tidak ada banyak suara dalam keheningan itu. Aleta sepenuhnya tuli karena semua inderanya dipenuhi dengan Danu. Bahkan dia tidak mendengar suara desisan pintu lift yang bergeser menutup.
Dia baru sadar ketika tangan Danu terulur ke depan menahan pintu lift. Tubuh Danu yang agak membungkuk, menebarkan parfum yang wangi dan segar di hidung Aleta.
"Kenapa kamu balik lagi?" tanya Danu dingin, menatap dari atas karena perbedaan tinggi mereka.
Aleta dengan gugup melihat ke atas juga. Pada dagu Danu yang lancip dan halus.
"Aku balik lagi karena khawatir kamu digangguin hantu kantor, Dan."
tbc.