Mereka minum teh dalam diam. Tapi itu bukan diam yang canggung. Bukan keheningan yang menyulitkan. Justru ada kenyamanan yang langka—seolah keheningan itu berbicara lebih banyak daripada kata-kata. Jayne sesekali melirik Elang. Pria itu duduk dengan tenang, kedua tangannya melingkari cangkir, sorot matanya lembut tapi penuh kewaspadaan. Dan Jayne menyadari sesuatu: Elang tidak hanya hadir secara fisik malam ini. Ia benar-benar hadir secara utuh—mendengarkan, merasakan, mendukung. Itu sesuatu yang selama ini Jayne rindukan tapi tak pernah berani harapkan. Jam sudah lewat tengah malam ketika akhirnya Elang meletakkan cangkirnya di meja, lalu berdiri. Gerakannya mantap, tidak tergesa. “Aku harus pulang,” katanya, suaranya serak tapi tetap hangat. Ia menatap Jayne, lama. “Tapi kamu bakal ba