Semakin Dekat.

1294 Kata
“Kayla juga tumbuh tanpa ibunya sejak bayi,” ucap Elang. Kalimatnya sederhana, tapi cukup untuk menjembatani dua dunia yang sama-sama pernah retak. Jayne menatap wajah Elang lebih dalam. Ada keteguhan di sana, tapi bukan dari orang yang sok kuat. Lebih seperti seseorang yang tidak punya pilihan lain selain bertahan—dan melakukannya dengan diam-diam. “Dia perempuan yang kuat,” ujar Jayne sambil melirik Kayla yang kini tertawa kecil karena Ranu menggambar dinosaurus berkacamata. “Elang juga, ya?” lanjutnya, mencoba mencairkan suasana dengan sedikit humor. “Ngurus anak sendirian itu nggak gampang.” Elang tertawa pelan. Suaranya dalam tapi ringan, dan Jayne menyadari ia menyukai suara itu. “Awalnya panik juga,” katanya. “Tiap malam begadang, bingung ngasih s**u berapa takar. Tapi ya, lama-lama ... dijalanin aja. Hidup kadang nggak ngasih pilihan selain bertahan.” Jayne mengangguk, sedikit tersenyum. Kalimat itu menampar lembut sisi dirinya yang sudah lama merasa sendiri dalam diam. “Sekarang kerja di mana, Jayne?” tanya Elang kemudian, nada bicaranya tetap ramah, tidak menginterogasi. “Aku kerja di Takizaki Group. Tapi sekarang lagi cuti, pengin lebih banyak waktu buat Ranu. Kasian dia baru pindah, banyak yang harus dia adaptasiin.” Elang mengangguk. “Bagus itu. Anak-anak butuh waktu, apalagi kalau lingkungan berubah.” Jayne meliriknya. “Kalau Elang?” “Aku kerja di bengkel,” jawab Elang santai. “Kadang juga bawa mobil antar-jemput anak sekolah. Ya, bisa dibilang driver tetap tapi nggak resmi,” candanya. Jayne tertawa kecil. “Pantes mobilnya wara-wiri. Aku sempat kira kamu supir langganan sekolah.” Elang ikut tertawa. “Lumayan, kan. Satu profesi, dua fungsi: ayah dan logistik.” Jayne menyandarkan tangan di pagar taman, matanya kembali tertuju pada Ranu yang kini sedang mendorong Kayla pelan di ayunan. “Kamu tahu,” ucapnya pelan, “aku pikir pindah ke sini bakal jadi awal yang berat. Tapi … ternyata ada hal-hal kecil yang bikin aku merasa tidak terlalu sendirian.” Elang tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap ke depan, lalu berkata lirih, “Kadang yang kecil justru bikin kita kuat. Kayak tawa anak, atau ... tetangga yang bisa diajak ngobrol begini.” Jayne menoleh, matanya tertambat pada wajah pria itu—dan untuk pertama kalinya sejak sekian lama, ia merasa dilihat. Bukan sebagai janda, bukan sebagai wanita yang gagal mempertahankan pernikahan. Tapi sebagai manusia yang masih pantas dihargai, didengar, dan dimengerti. Langit mulai berganti warna, rona jingga pudar perlahan ditelan ungu tua. Angin sore membawa udara lembap dan harum tanah. “Elang,” ucap Jayne lirih. “Makasih, ya.” Elang hanya tersenyum kecil. “Aku cuma ngobrol, Jayne.” “Tapi kamu dengar. Itu lebih dari cukup.” Dari kejauhan, terdengar suara Ranu memanggil dengan nada dramatis khas anak-anak, “Ma! Aku lapeeer!” Jayne dan Elang tertawa bersamaan. Suara tawa yang sederhana, tapi terasa seperti pintu kecil yang terbuka ke arah kehidupan baru. Dan sore itu, untuk pertama kalinya, Jayne merasa—mungkin, hanya mungkin—ia tidak sendirian lagi. *** Suara tawa Ranu dan Kayla bercampur dengan bunyi ranting kecil yang patah di bawah kaki anak-anak. Di bangku taman, Jayne dan Elang masih larut dalam percakapan—tentang pekerjaan, sekolah anak, bahkan sekilas soal hujan deras semalam. Waktu seakan berjalan santai, sore merona dengan cahaya keemasan yang membelai wajah mereka. Tiba-tiba, dari arah ujung taman, terdengar suara seorang ibu memanggil, “Dinda! Ayo pulang! Udah mau magrib!” Suara itu memantul di udara, sederhana tapi cukup untuk memecah gelembung nyaman yang membungkus Jayne dan Elang. Jayne tersadar, menoleh ke arah langit yang kini mulai memerah pekat. “Cepet banget, ya. Rasanya tadi baru duduk,” ujarnya sambil tersenyum tipis. Elang mengangguk, sorot matanya ikut melirik senja yang merayap turun. “Iya. Kayaknya kalau ngobrol begini, waktu suka main curang.” Ada jeda. Bukan karena kehabisan bahan pembicaraan, tapi karena keduanya diam-diam menyesali betapa singkatnya momen ini. Jayne sempat memikirkan, Kalau saja sore lebih lama… Kayla berlari kecil menghampiri ayahnya sambil terengah, “Pa, aku laper.” Ranu menyusul, pipinya memerah, matanya berbinar. “Ma, pulang yuk!” Jayne menunduk sedikit, merapikan rambut Ranu yang berantakan, lalu menatap Elang sebentar—tatapan singkat yang menyimpan rasa terima kasih sekaligus… sedikit enggan berpisah. “Kalau gitu, aku bawa Kayla pulang dulu,” kata Elang sambil menepuk bahu Ranu ringan. Jayne mengangguk, tersenyum. “Iya, makasih udah nemenin sore ini.” Elang membalas senyum itu, hangat tapi tertahan. “Sama-sama.” Anak-anak sudah tak sabar. Begitu keluar dari taman, Kayla langsung berteriak, “Siapa cepat sampai rumah, dia yang menang!” Ranu menyahut cepat, “Siap! Satu… dua… tiga!” Mereka pun berlari, langkah kecil tapi penuh semangat, meninggalkan Jayne dan Elang beberapa meter di belakang. Tawa mereka memecah udara sore yang mulai teduh. Jayne menggeleng sambil tersenyum. “Kayaknya hari ini mereka bakalan tidur cepat, capek lari-larian begitu.” Elang ikut tersenyum, tangannya masuk ke saku celana. “Kalau mereka capek, kita yang diuntungkan. Malam bisa tenang.” Jayne melirik sekilas. “Bisa istirahat atau malah kerja?” “Kerja mungkin, tapi … sore kayak gini bikin saya lupa laptop ada di rumah,” jawab Elang santai. Langkah mereka melambat tanpa disadari. Jarak taman ke rumah memang tak jauh, tapi entah kenapa, keduanya berharap jalannya bisa memanjang seperti jalan di film—tidak berujung, memberi mereka waktu ekstra untuk terus berbicara. “Kalau boleh jujur,” kata Jayne pelan, “saya jarang ngobrol sepanjang ini sama tetangga.” Elang menoleh sebentar, tatapannya tenang. “Saya juga. Biasanya pulang kerja langsung masuk rumah. Tapi… hari ini beda.” Jayne tersenyum tipis, tapi dadanya hangat. Ada sesuatu di nada suara Elang yang membuat kalimat itu terasa lebih dalam dari sekadar basa-basi. Dari kejauhan, suara tawa Kayla dan Ranu terdengar lagi. “Aku duluan! Aku duluan!” Tak lama, mereka berdua sudah berdiri di depan pagar rumah masing-masing, napas terengah-engah, wajah penuh kemenangan meski keduanya mengklaim sebagai pemenang. Jayne dan Elang akhirnya sampai, saling bertukar pandang sejenak sebelum berpisah di depan gerbang. Waktu terasa terlalu cepat lagi—persis seperti di taman tadi. *** Malam mulai turun, lampu-lampu rumah di kompleks menyala satu per satu. Di rumah kecil mereka, suara tawa dan percakapan Ranu mengisi udara. Anak itu sedang mandi, berdiri di dalam bak kecil penuh busa, sambil terus berceloteh tanpa jeda. “Terus tadi Kayla bawa bekal roti isi selai stroberi, Ma. Terus dia bagi setengah buat aku. Terus kita gambar dinosaurus bareng, dan … oh iya! Kayla juga suka T-Rex, sama kayak aku!” Jayne bersandar di ambang pintu kamar mandi, tangan menyilang di d**a. Wajahnya memantulkan senyum yang tak bisa ia tahan. “Wah, banyak sekali ceritanya hari ini,” komentarnya sambil memastikan Ranu menggosok kakinya dengan benar. “Iya! Soalnya seru, Ma. Aku suka sekolah di sini,” jawab Ranu sambil memercikkan sedikit air ke wajahnya sendiri. “Terus Om Elang lucu. Dia bilang kalau aku bisa ajarin Kayla gambar T-Rex, nanti dia mau lihat.” Jayne terkekeh, menggeleng pelan. “Ya udah, ayo selesaiin mandinya. Udah malam, nanti keburu lapar lagi.” Beberapa menit kemudian, Ranu keluar dari kamar mandi dengan piyama bergambar dinosaurus, rambutnya masih basah. Jayne mengeringkannya sambil membimbingnya ke meja makan. Makan malam sederhana sudah tersaji—nasi hangat, sayur bening, dan tempe goreng. Ranu makan dengan lahap, sesekali masih bercerita, tapi suaranya mulai melambat, tanda lelah mulai datang. Setelah piring mereka kosong, Jayne menggandeng Ranu ke kamar. Anak itu langsung memeluk bantalnya, matanya setengah terpejam. “Selamat tidur, Ma,” ucapnya setengah menguap. Jayne mengelus rambutnya, tersenyum lembut. “Selamat tidur, Sayang.” Beberapa menit kemudian, napas Ranu terdengar teratur. Jayne duduk di tepi ranjang sebentar, menatap wajah kecil itu, lalu beranjak ke ruang tengah. Malam terasa tenang … tapi entah kenapa, ada satu wajah lain yang muncul di benaknya—dan itu bukan anaknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN