Mati Lampu.

1171 Kata
Ruang tamu hening. Jayne duduk sendirian di sofa, lampu temaram dari meja sudut memberi cahaya hangat. Di luar jendela, rintik hujan mulai turun, memantulkan bayangan di kaca. Ia menatap secangkir teh yang mulai mendingin di meja. Kepalanya sebenarnya penuh daftar hal yang harus dilakukan besok—belanja bahan makanan, membereskan cucian, mengurus dokumen cuti. Tapi entah kenapa, pikirannya malah berputar pada satu momen sore tadi. Tawa Elang saat ia bercanda di taman. Cara pria itu menatap ketika ia bercerita. Tenang, tanpa tergesa. Rasanya seperti ada seseorang yang benar-benar mendengar, dan itu sudah lama sekali tidak ia rasakan. Jayne menghela napas, sedikit jengah dengan dirinya sendiri. “Ah, ini cuma tetangga,” gumamnya pelan. Tapi bahkan kalimat itu tidak cukup meyakinkan. Tiba-tiba kilat menyambar di kejauhan, disusul petir menggelegar yang membuat kaca jendela bergetar. Lampu di rumah berkedip-kedip, lalu padam sepenuhnya. Jayne mengedipkan mata, mencoba membiasakan diri dengan kegelapan. Hanya suara hujan deras yang kini terdengar. Ia beranjak mengambil lilin dan menyalakannya di atas meja makan. Cahaya kuning redup menyapu ruangan, menciptakan bayangan yang menari di dinding. Sudah hampir satu jam sejak listrik mati. Jayne sempat mencoba menyalakan kembali MCB di panel listrik belakang rumah, tapi tidak berhasil. Bahkan, kini tercium bau hangus samar. Jantungnya mulai berdegup cemas. Ia berdiri di dekat jendela, memeluk dirinya sendiri. Kalau memanggil teknisi, belum tentu ada yang mau datang malam-malam begini. Dan kalau dibiarkan … bagaimana kalau korsleting? Pikirannya terhenti pada satu nama. Elang. Mereka memang belum lama saling kenal, tapi ia ingat jelas—di salah satu obrolan singkat, pria itu pernah bilang kuliah di teknik elektro. Jayne menggigit bibir, lalu mengambil ponselnya. Jemarinya ragu saat membuka kontak terakhir yang meneleponnya minggu lalu—Elang. Nada tunggu berdering. Satu … dua … tiga kali. Jayne hampir menutup panggilan ketika terdengar suara berat itu, agak serak. “Halo?” “Maaf … malam-malam begini aku ganggu,” ucap Jayne, suaranya sedikit gugup. “Tadi … rumahku listriknya mati. Udah coba cek MCB, tapi kayaknya … bau gosong. Takutnya korsleting.” Hening sejenak di ujung sana sebelum Elang bertanya, “Kamu sendiri di rumah?” Jayne menelan ludah. “Iya.” “Sekarang jam berapa?” “Jam sebelas kurang.” “Oke. Tunggu di dalam. Aku ke sana sekarang.” Jayne nyaris menjatuhkan ponsel. “Kamu … mau ke sini?” “Ya. Jangan otak-atik panelnya lagi. Nanti aku lihat.” Sambungan terputus. Jayne masih berdiri mematung di dekat meja, menatap lilin yang nyalanya bergetar terkena hembusan angin. Untungnya, Ranu sudah terlelap di kamarnya. Kalau anak itu sudah tidur, mati lampu ataupun suara hujan deras pun tidak akan membangunkannya. Lima menit kemudian, suara bel terdengar memecah sunyi malam. Jayne membuka pintu perlahan. Di baliknya berdiri Elang, mengenakan kaos hitam yang sedikit basah di bagian bahu, jeans pendek, dan aroma hujan yang terbawa masuk bersamanya. Tatapan matanya singkat namun tajam. “Mana panel listriknya?” suaranya rendah, nyaris tenggelam oleh suara hujan. Jayne menunjuk ke arah belakang rumah. “Lewat pintu samping … tapi agak becek.” Elang hanya mengangguk, lalu melangkah menuju pintu samping sambil menyalakan senter ponselnya. Jayne mengambil payung kecil di rak, lalu mengikuti langkahnya. Halaman samping rumah gelap dan licin. Bau tanah basah bercampur aroma logam dari hujan yang baru turun deras. Jayne sedikit mempercepat langkah untuk sejajar dengan Elang, tapi kakinya terpeleset di permukaan lantai semen yang licin oleh lumut. Refleks, Elang memutar badan dan menangkap tangannya. Genggamannya hangat dan mantap, membuat Jayne bisa kembali menapak dengan stabil. “Hati-hati,” ujarnya singkat, tapi nadanya ada sedikit nada khawatir. Jayne menunduk, merasa wajahnya memanas. “Iya … maaf.” Tangan mereka belum terlepas ketika Elang kembali melangkah. Entah karena alasan praktis atau … alasan lain yang tak mereka ucapkan, genggaman itu bertahan sampai mereka tiba di ujung halaman, di depan kotak panel listrik yang menggantung di tembok. Elang menyorotkan cahaya senter, keningnya sedikit berkerut. “Hm … ini kabel netralnya kegores atau digigit tikus, terus kena air hujan. Makanya bau gosong.” Jayne berdiri di belakangnya, masih memegang payung kecil yang jelas-jelas tak cukup menutupi keduanya. Hujan membasahi lengan Elang, menetes pelan hingga ke ujung jarinya, tapi ia tak terlihat terganggu. Posturnya tegap, bahunya lebar, dan gerak tangannya cekatan saat memeriksa kabel. “Aku punya obeng sama isolasi di tas,” kata Elang. “Tapi harus matiin semua dulu.” “Ya … gak apa. Makasih banget, kamu mau datang malam-malam begini,” jawab Jayne, suaranya nyaris tenggelam oleh suara hujan. Elang tidak langsung membalas. Tangannya sibuk mencabut kabel, memotong bagian yang rusak, lalu menyambung ulang dengan hati-hati. Cahaya senter memantul di wajahnya, menonjolkan rahang tegas dan mata yang penuh konsentrasi. Hujan semakin deras. Jayne menggigil sedikit, lalu mencoba menutupi Elang dengan payung, tapi payung kecil itu sama sekali tak cukup. Elang mendongak sebentar. “Kamu masuk aja. Dingin.” Jayne menggeleng. “Aku … takut kamu kehujanan.” Tatapan Elang sempat bertahan di wajahnya sebelum ia kembali fokus pada kabel. “Gak apa. Sebentar lagi selesai.” *** Setelah lima belas menit yang terasa seperti selamanya, Elang menyalakan kembali saklar utama. “Tes,” gumamnya pelan. Jayne menoleh ke dalam rumah. Lampu-lampu menyala serentak, mengusir gelap yang sedari tadi menekan suasana. Ia menghela napas lega. “Nyala! Astaga … kamu penyelamat banget.” Elang hanya mengangguk, wajahnya tetap tenang. “Tapi kamu harus panggil teknisi besok. Ini cuma perbaikan darurat. Kabelnya harus diganti total, biar aman.” “Oke. Aku catat.” Mereka kembali masuk. Elang mengusap lehernya, bajunya basah sebagian. Jayne bergegas ke rak, mengambil handuk kecil, dan menyerahkannya. “Kamu pasti capek, ya? Mau teh atau kopi?” tanyanya, suaranya sedikit canggung. “Teh, boleh,” jawab Elang singkat. Jayne segera bergerak ke dapur. Sementara itu, Elang duduk di kursi dekat meja makan, matanya perlahan menyapu ruangan. Rumah Jayne lebih terlihat sederhana, dipenuhi buku di rak kayu tua, ada beberapa tanaman hijau di pojok, dan aroma kayu bercampur wangi teh yang mulai menguar. “Maaf berantakan,” gumam Jayne sambil menuang air panas. “Enggak kok,” jawab Elang tanpa mengalihkan pandangan. “Rapi.” Jayne duduk di seberangnya, menyodorkan cangkir teh hangat. Uapnya tipis menari di udara. Sejenak, hanya ada suara hujan di luar dan detak jam dinding. “Sering kejadian begini?” tanya Elang sambil meniup tehnya. Jayne menggeleng. “Baru kali ini. Mungkin gara-gara hujan terus-menerus.” Elang hanya menggumam, matanya sekilas menatapnya. Jayne mencuri pandang. Tanpa ekspresi juteknya, wajah Elang tampak … muda. Tenang. Tapi di matanya ada semacam bayangan yang tak ia mengerti. “Maaf, kamu jadi repot,” katanya pelan. Elang menatapnya. “Jayne .…” Nada suaranya membuat Jayne berhenti mengaduk teh. “Aku gak keberatan kalau kamu butuh bantuan. Malam-malam begini sekalipun.” Jayne terdiam. Jantungnya berdetak lebih cepat. “Aku gak tahu kenapa,” lanjut Elang, suaranya lebih rendah, “tapi setiap kali kamu minta tolong … aku gak bisa bilang enggak.” Jayne menunduk. “Aku … juga gak tahu harus bilang apa.” Petir tiba-tiba membelah langit, membuat ruangan terang sesaat. Jayne spontan menutup telinganya, tubuhnya sedikit meringkuk.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN