Elang menaruh cangkirnya. “Kamu takut petir?”
Jayne mengangguk kecil. “Sedikit.”
Elang berdiri, lalu melangkah mendekat. “Sini.”
Jayne menatapnya bingung. “Apa?”
“Aku jaga. Kalau takut, kamu bisa istirahat dulu.” Elang menepuk sisi sofa di sebelahnya lebih dekat dengannya bahkan sangat dekat.
“Maksud kamu?”
“Rumah ini udah aman. Tapi kamu keliatan capek. Kalau kamu gak nyaman aku di sini, aku bisa tunggu di luar sampai hujan reda.”
Jayne menatap matanya. Ada rasa ragu, tapi juga … rasa aman. “Enggak. Kamu di sini aja.”
Elang kembali duduk, tapi kali ini di lantai dekat sofa, punggungnya bersandar ke dinding, kaki terjulur santai.
Jayne menarik selimut tipis dan berbaring di sofa sebelah Elang. Lampu ruang tamu diredupkan, hanya meninggalkan cahaya hangat. Hujan di luar terus jatuh, ritmenya berpadu dengan detak jam.
Ia membuka mata sebentar, melihat Elang di sana, memainkan kunci motornya dengan satu tangan.
“Elang …,” bisiknya.
“Heum?”
“Kenapa kamu baik banget?”
Elang tersenyum tipis. “Aku bukan orang baik, Jayne.”
“Kalau bukan … kenapa kamu tetap datang waktu aku butuh?”
Hening sebentar. Lalu, dengan suara yang nyaris seperti pengakuan, Elang berkata, “Mungkin karena kamu satu-satunya orang yang gak lihat aku seperti yang lain lihat aku.”
Jayne tidak membalas. Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak lama, ia tertidur dengan rasa … aman.
***
Sekitar pukul dua dini hari, Jayne terbangun.
Bukan karena petir—hujan sudah mereda—melainkan rasa haus yang membuatnya membuka mata.
Ruangan remang-remang, cahaya lampu kecil di sudut membuat bayangan lembut di dinding.
Dan di sana, tepat di lantai dekat sofa, Elang masih duduk bersandar, kepala sedikit miring.
Matanya terpejam, tapi napasnya tenang.
Jayne bangkit perlahan, mencoba tidak menimbulkan suara. Tapi langkahnya yang terlalu dekat membuat Elang bergerak.
Matanya terbuka setengah, lalu fokus padanya.
“Kamu kebangun?” suaranya berat, seperti orang baru saja terlelap.
Jayne mengangguk. “Haus. Mau ambil air.”
Elang berdiri perlahan, meregangkan tubuhnya. “Biar aku—”
“Nggak usah,” potong Jayne cepat. “Kamu udah capek.”
Tapi Elang sudah melangkah lebih dulu, masuk ke dapur, dan kembali dengan segelas air.
Ia menyerahkannya, jari mereka bersentuhan sekilas.
Jayne menunduk. “Makasih.”
“Tidur lagi,” ucap Elang pelan. “Masih malam.”
Jayne menghela napas, lalu kembali ke sofa. Saat ia membaringkan diri, matanya sempat menangkap Elang duduk lagi di lantai, tapi kali ini lebih dekat.
“Kenapa kamu nggak pulang aja?” tanyanya tanpa berpikir panjang.
Elang menatapnya sebentar, lalu tersenyum samar. “Masih hujan, bagaimana kalau nanti ada petir lagi dan mati lampu?”
Jayne tertawa kecil, tapi dadanya terasa hangat. Ia memejamkan mata lagi, membiarkan rasa kantuk membawanya pergi.
Sebelum benar-benar tertidur, ia mendengar suara Elang pelan—nyaris seperti bicara pada dirinya sendiri.
“Aku nggak pernah sekhawatir ini.”
Jayne tidak bergerak, pura-pura sudah tidur. Tapi di balik selimut tipis itu, bibirnya tersenyum.
***
Jayne terbangun karena suara kursi bergeser pelan.
Cahaya abu-abu pagi mulai merembes dari jendela, tanda hujan semalam sudah berhenti.
Ia mengerjap, lalu mendapati Elang sedang berdiri, merapikan jaketnya yang sempat ia jadikan alas duduk.
“Kamu … mau pulang?” suara Jayne masih serak karena baru bangun.
Elang menoleh, tersenyum tipis. “Kayla biasanya bangun jam enam. Aku nggak mau dia bingung kalau liat gak ada aku si rumah.”
Jayne duduk perlahan di sofa, selimut tipis masih melingkari bahunya. “Oh … iya. Bener juga.”
Suasana hening sesaat. Hanya suara tetes air dari talang di luar yang terdengar.
“Listriknya udah aman. Tapi inget, siang nanti panggil teknisi,” kata Elang sambil mengenakan sandal.
Nada suaranya datar, tapi tatapannya memastikan ia serius.
Jayne mengangguk. “Iya. Makasih … lagi.”
Elang berjalan ke pintu. Tangannya sempat berhenti di pegangan, lalu ia menoleh setengah.
“Jayne.”
“Heum?”
“Kalau butuh sesuatu … meski cuma minta tolong buka toples … panggil aja.”
Jayne tersenyum kecil, tidak tahu harus membalas apa. “Oke.”
Elang menundukkan kepala sedikit sebagai salam, lalu melangkah keluar.
Udara pagi terasa segar, aroma tanah basah menguar.
Jayne berdiri di ambang pintu, menatap punggungnya yang semakin menjauh di jalan setapak.
Ada sesuatu di dadanya—bukan sekadar rasa aman yang ia rasakan semalam, tapi juga kekhawatiran yang entah kenapa muncul begitu saja.
Ia belum mengenal Elang sepenuhnya, tapi … hatinya sudah memberi ruang kecil untuknya.
Dan itu, justru yang paling membuatnya takut.
***
Pintu rumah Elang terbuka perlahan.
Ia melangkah masuk dengan hati-hati, memastikan suara derit engsel tidak membangunkan Kayla.
Lampu ruang tamu temaram, hanya cahaya tipis dari tirai yang menandakan pagi sudah datang.
Ia membuka sendalnya, lalu memandang ke arah kamar Kayla.
Gadis kecil itu masih terlelap, rambutnya berantakan di bantal.
Elang menghela napas lega—setidaknya ia pulang sebelum Kayla bangun dan bertanya-tanya.
Tapi pikirannya … jauh dari sini.
Ia masih bisa membayangkan Jayne berdiri di ambang pintu tadi, selimut tipis di bahunya, wajahnya sedikit pucat karena baru bangun.
Ada rasa yang sulit dijelaskan—campuran ingin melindungi, penasaran, dan entah kenapa … takut jika ia terlalu dekat.
Elang membuka kulkas, menuang segelas air dingin.
Tapi bahkan saat meneguknya, bayangan tatapan mata Jayne yang penuh kehati-hatian itu terus membayang.
Ia bersandar di meja dapur, menatap kosong ke luar jendela.
Jayne dan dia … sama-sama pernah kehilangan, sama-sama pernah memilih untuk bertahan demi anak.
Mungkin itu sebabnya setiap berbicara dengannya, Elang merasa seperti bicara pada seseorang yang benar-benar mengerti.
Bukan sekadar ramah, tapi Jayne mendengar—dan memahami.
Itu sesuatu yang jarang ia temui.
Justru karena itu, ada rasa waspada.
Ia takut jika terlalu nyaman, ia akan lupa bahwa mereka berdua masih belajar memperbaiki diri masing-masing.
Tapi di sisi lain … ada keinginan untuk tetap berada di lingkar kehidupannya.
Dari kamar, Kayla mulai bergerak-gerak, tanda akan bangun.
Elang meletakkan gelas di wastafel, lalu mengusap wajahnya.
Sebelum ia sempat memikirkan lebih jauh, ia sudah memutuskan satu hal—
Apapun yang membuat Jayne seperti sekarang, ia ingin jadi orang yang tidak menambah bebannya.
***
Pagi itu, aroma kopi hitam dan roti panggang memenuhi dapur rumah Elang.
Kayla sudah duduk manis di kursinya, rambutnya dikepang dua oleh Siti, pengasuhnya. Seragam olahraga berwarna putih list orange di pinggirnya.
"Kayla cantik banget pagi ini," kata Elang sambil menuang s**u ke gelas putrinya.
Kayla tersenyum lebar. “Iya dong. Soalnya mau ketemu Ranu.”
Elang tersenyum tipis. “Ah, jadi Papa cuma nomor dua nih?”
Kayla terkekeh, “Papa kan udah tiap hari aku lihat.”
Mereka sarapan bersama, obrolan ringan diiringi suara sendok garpu beradu. Setelah selesai, Elang mengecek jam di pergelangan tangan. “Ayo, kita jemput Ranu dulu sebelum sekolah.”
***