Mobil hitam Elang parkir di depan rumah Jayne. Tak lama, pintu terbuka dan Ranu berlari kecil menghampiri sambil memanggul tasnya.
“Pagi, Om Elang! Pagi, Kayla!” serunya riang sebelum naik ke jok belakang.
Namun sebelum masuk, Ranu menoleh ke ibunya dan berkata nyaring, “Ma, aku mimpi semalam Om Elang ada di rumah kita. Eh, tapi itu beneran, ya?”
Jayne langsung tersenyum sambil mencubit gemas pipi anaknya. “Dasar tukang mimpi kamu. Udah, masuk sana. Nanti telat.”
Ia menutup pintu mobil dengan sedikit dorongan lembut. “Ayo, Om Elang, jalan. Sebentar lagi bel masuk.”
Elang mengangguk, tapi sempat melirik Jayne sekilas lewat kaca jendela. Tatapan mereka hanya bertemu sepersekian detik sebelum mobil perlahan melaju, meninggalkan Jayne berdiri di depan rumah sambil melambai.
Di jok belakang, Ranu sudah asik bercerita ke Kayla tentang mimpinya, sementara Elang hanya mengulum senyum tipis tanpa komentar.
***
Di dalam mobil, Kayla menoleh penasaran ke Ranu.
“Mimpi Papa aku di rumah kamu ngapain?” tanyanya sambil mengunyah permen karet kecil.
Ranu menjawab polos, “Beneran kok. Om Elang betulin listrik sama Mama Jayne. Terus Mama senyum-senyum.”
Elang langsung terbatuk kecil, pura-pura fokus ke jalan. “Ranu, duduknya yang bener. Sabuk pengamannya udah dipasang belum?”
“Udah,” jawab Ranu santai, lalu menambahkan dengan nada serius, “Om Elang, kalau Mama takut petir, Om boleh dateng lagi ya.”
Kayla tertawa, “Ih, kayak drama TV. Nanti Papa jadi pahlawan Aunty Jayne!”
Elang hanya menggeleng sambil menahan senyum, tapi telinganya terasa sedikit panas. Ia mempercepat laju mobil, berharap pembicaraan itu segera beralih.
Untung saja, lampu merah di perempatan membuatnya punya alasan untuk menginterupsi. “Eh, kalian udah siap pelajaran olahraga? Jangan sampai lupa bawa topi.”
Percakapan pun beralih ke topik sekolah, tapi sisa senyum di bibir Ranu dan Kayla membuat Elang yakin mereka berdua sudah punya bahan cerita baru untuk sore nanti.
***
Setelah suara mesin mobil Elang memudar, Jayne berdiri di ambang pintu rumahnya, menatap jalan yang kini sepi. Angin pagi masih membawa sisa aroma hujan semalam, dan daun-daun di pekarangan basah mengilap diterpa matahari pertama. Ia menutup pintu pelan, langkahnya ringan tapi pikiran terasa berat oleh sesuatu yang tak bisa ia jelaskan.
Ranu sudah berangkat pagi ini dengan Elang dan Kayla. Jayne membayangkan mereka berdua berceloteh di mobil, dengan Kayla yang cerewet tapi ceria dan Ranu yang sesekali membalas dengan tawa kecilnya. Ia tersenyum, membayangkan Ranu mencubit pipi Kayla seperti semalam, atau berebut siapa yang duduk di samping siapa di dalam mobil. Sesekali, Jayne menahan tawa sendiri membayangkan betapa polosnya anak itu.
Jayne duduk di meja, menyeruput teh panasnya, dan membiarkan pikirannya melayang. Ia tahu mereka baru beberapa kali berbicara—beberapa pertemuan singkat, beberapa percakapan ringan—tapi rasanya ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Rasa nyaman, rasa aman, dan ... rasa penasaran.
Di sudut rumah, buku-buku anaknya masih berserakan. Ranu sudah meninggalkan jejak tawa kecilnya semalam, dan itu membuat hati Jayne hangat sekaligus rindu. Ia tersenyum tipis, memikirkan bagaimana Ranu begitu ceria di pagi ini, begitu polos dan bahagia tanpa beban.
Saat meneguk teh terakhirnya, ponsel Jayne bergetar lembut di atas meja. Sebuah pesan masuk muncul dari Elang:
[Ranu sampai di sekolah dengan selamat. Kayla juga. Semoga harimu menyenangkan.]
Jayne tersenyum sendiri, menatap layar ponsel sebentar sambil jari-jarinya menari di keyboard. Ada rasa hangat yang tiba-tiba menyelimuti dadanya, meski hanya dari pesan singkat itu.
Ia membalas dengan cepat:
“Terima kasih, Elang. Semangat kerja juga ya hari ini!”
Beberapa detik kemudian, ponsel kembali bergetar. Elang membalas:
[Sip. Jangan lupa makan siang juga, ya.]
Jayne menahan senyum kecilnya. Pesan itu sederhana, tapi memberi rasa diperhatikan yang sudah lama ia rindukan. Ia menutup ponsel sejenak, menatap cangkir teh kosong di mejanya, dan menghela napas ringan.
Jayne memutuskan untuk menata rumah sebentar—merapikan buku, menyapu, tapi pikiran tetap sesekali melayang ke tetangga sebelah yang kini terasa lebih dari sekadar kenalan.
Di luar, matahari semakin meninggi. Burung-burung berkicau, tetangga mulai sibuk dengan aktivitas pagi mereka. Jayne menatap ke jendela ruang tamu, membiarkan cahaya masuk, seakan menandai hari baru—hari yang mungkin membawa lebih banyak tawa, cerita, dan hal-hal kecil yang perlahan membuat hidupnya terasa lengkap lagi.
Dan di benaknya, satu hal tetap tak bisa ia singkirkan: malam itu, hujan, lampu mati, dan kehadiran Elang di sampingnya—sesuatu yang entah mengusik hatinya dengan cara yang lembut, tapi tak bisa ia abaikan.
Jayne mengambil napas panjang, menyeruput teh terakhirnya. Ia memandang rumahnya, rumah kecil yang perlahan mulai terasa seperti tempat untuk memulai hidup baru, bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk Ranu. Bayangan Ranu tertawa dengan Kayla, dan bayangan Elang muncul lagi di benaknya. Ia menggeleng pelan, tersenyum, membiarkan perasaan itu mengalir.
Untuk mengalihkan pikirannya, Jayne duduk di meja kerjanya yang sederhana, membuka laptop. Layar menyala, menampilkan deretan email masuk dan notifikasi kalender. Hari ini sebenarnya ia sedang cuti, tapi ada rapat dewan direksi yang harus dihadiri secara online melalui Zoom. Ia menghela napas, lalu tersenyum kecil. "Ya sudahlah … kalau cuma online, bisa sambil ngopi," gumamnya.
Tak lama kemudian, layar Zoom menampilkan wajah-wajah familiar—rekan-rekan dewan direksi yang sudah ia kenal lama. Jayne tersambung, menyesuaikan posisi kamera, lalu menyalakan mikrofon. "Selamat pagi semua," sapanya hangat.
Dari sisi layar, seorang pria berambut rapi muncul, wajahnya familiar tapi lebih serius—Jayden, saudara kembarnya yang kini menjadi CEO perusahaan. Wajah Jayne otomatis cerah.
"Jayne! Selamat pagi," sapa Jayden dengan nada ceria tapi tetap profesional. "Bagaimana kabarmu? Dan Ranu?"
Jayne tersenyum, sedikit tersipu. "Baik, Jayden. Ranu juga sehat. Baru saja berangkat sekolah dengan tetangga kami. Kayla juga ikut, jadi mereka berdua tampak senang."
"Ah, baguslah. Senang mendengar kalian nyaman di lingkungan baru," komentar Jayden, matanya menyiratkan perhatian lebih dari sekadar rekan kerja. "Kamu sendiri bagaimana? Masih dalam masa cuti ya?"
"Ya, aku mencoba memanfaatkan waktu untuk menata rumah dan fokus ke Ranu," jawab Jayne sambil menyandarkan punggung pada kursi. "Tapi rapat online tetap harus diikuti."
Jayden tersenyum. "Aku tahu. Tapi jangan terlalu menekan diri. Kadang kamu perlu waktu buat istirahat juga, Jayne."
Jayne menelan napas, sejenak pikirannya melayang ke malam sebelumnya. Hatinya masih terasa hangat saat mengingat tatapan Elang, tangannya yang terampil memperbaiki listrik, dan cara pria itu tanpa basa-basi memperhatikan keselamatannya.
"Siap, aku akan hati-hati," gumam Jayne pelan, seakan menenangkan diri sendiri. Ia menatap layar lagi, mengatur dokumen yang akan dibahas.