Rapat pun dimulai. Topik demi topik dibahas—laporan keuangan, strategi pemasaran, dan beberapa keputusan operasional. Jayne fokus, mengetik catatan, sesekali memberi masukan. Namun meski ia mencoba menahan diri, pikirannya sesekali melayang ke sosok Elang, membuatnya tersenyum sendiri di depan laptop.
Di tengah rapat, Jayden menoleh ke kamera, menatap Jayne dengan pandangan lembut. "Jayne, jangan lupa makan siang juga, ya. Jangan terlalu tenggelam di pekerjaan," pesannya sambil tersenyum.
Jayne menahan senyum, hampir tertawa sendiri. "Iya, akan kucatat, Jayden." Ia menyadari, meski sibuk dengan pekerjaan dan tanggung jawab, ada hal-hal kecil seperti perhatian itu yang membuatnya merasa diperhatikan—hal-hal sederhana, tapi berkesan.
Seiring rapat berlangsung, Jayne mulai menata strategi pribadi. Ia mencatat beberapa ide, membalas pertanyaan, dan menyesuaikan presentasi dengan data terbaru. Tapi di setiap jeda, pikirannya kembali ke Elang—bagaimana pria itu terlihat saat mengutak-atik panel listrik, bagaimana senyum tipisnya muncul saat Ranu mengoceh tentang mimpi semalam, bahkan cara tangannya memegang kunci motor saat duduk di lantai ruang tamu.
Setelah hampir satu jam, rapat mulai mendekati akhir. Jayden menutup sesi dengan catatan positif. "Terima kasih semuanya. Jayne, semoga kamu bisa menikmati sisa cutimu. Jangan terlalu memaksakan diri."
Jayne tersenyum lega. "Terima kasih, Jayden. Aku akan mencoba." Ia menutup laptop, menarik napas panjang, dan membiarkan diri sedikit rileks.
Di sanalah, di ruang tamu rumah kecilnya, Jayne menyadari sesuatu—bahwa meski hidup barunya penuh tantangan, ada hal-hal yang membuatnya merasa aman dan diperhatikan, ada interaksi kecil yang memberi warna. Dan meski Elang hanyalah tetangga baru yang baru beberapa kali ditemuinya, keberadaan pria itu terasa berbeda, hangat, dan—entah bagaimana—membuat hatinya sedikit lebih ringan.
***
Sorenya, kompleks perumahan masih tenang. Angin sore berhembus pelan, menyapu dedaunan yang bergesekan ringan di atas trotoar. Aroma tanah basah setelah hujan kemarin masih tersisa, menambah suasana segar di halaman depan rumah Jayne.
Jayne baru saja selesai menyiram tanaman dan merapikan pot bunga kecil di teras. Ranu, yang tadi baru bangun tidur siang, sedang duduk di sofa sambil memegang pensil warna, menggambar dinosaurus di buku kesukaannya. Mata anak itu masih agak mengantuk, tapi senyum kecilnya muncul begitu Jayne mendekat.
Suara langkah kaki dari luar halaman membuat Jayne menoleh. Di pagar, berdiri sosok Elang, mengenakan kaos polos dan celana training, rambutnya sedikit basah sepertinya baru mandi setelah pulang kerja. Senyum ramahnya meneduhkan, namun ada energi hangat yang membuat jantung Jayne berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya.
“Ada yang bisa aku bantu?” sapa Elang dengan nada santai, matanya menatap ke arah Jayne.
Jayne tersenyum singkat, agak malu. “Hai… aku hanya merapikan sedikit.”
Elang mengangguk, diam sesaat seolah menimbang kata-katanya. Lalu ia membuka suara lagi. “Jayne, malam ini aku masak. Makan malam bareng, yuk. Sekalian kenalan lebih dekat. Aku masak yang ringan aja—ayam teriyaki sama sup jagung. Kayla udah ribut pengen ngajak Ranu.”
Jayne terkejut, tapi ia berusaha menyembunyikan ekspresinya agar tetap tenang. “Oh… iya? Wah, kebetulan aku belum masak apa-apa juga.”
“Pas banget, ya,” jawab Elang sambil tersenyum lebar, matanya menyorot Jayne hangat. “Jam tujuh, ya? Santai aja. Rumahku terbuka kok.”
Jayne menelan sedikit rasa gugup, menimbang tawaran itu. Sudah lama ia jarang benar-benar bersosialisasi dengan tetangga, apalagi dalam situasi yang cukup santai dan akrab seperti ini. Tapi sesuatu di dalam hatinya berkata bahwa ini momen yang tepat. Ia mengangguk pelan. “Oke… makasih undangannya, Elang.”
“Siap. Sampai ketemu nanti, ya,” ucap Elang, kemudian melambaikan tangan dan berjalan meninggalkan halaman.
Begitu sosoknya hilang dari pandangan, Jayne kembali menoleh ke ruang tamu. Ranu, yang baru saja bangun dari tidur siang, menatapnya dengan mata penuh rasa ingin tahu.
“Siapa, Ma?” tanya Ranu, masih menguap kecil tapi penasaran.
“Om Elang. Dia ngajak kita makan malam di rumahnya. Katanya Kayla juga pengen kamu ikut,” jawab Jayne sambil tersenyum menenangkan.
Mata Ranu langsung bersinar, semangatnya kembali muncul. “Yay! Mau, dong!” serunya sambil melompat dari sofa.
Jayne menghela napas panjang sambil menatap putranya yang riang. Hatinya campur aduk—gembira melihat antusiasme Ranu, tapi juga sedikit waswas. Sudah lama ia tak benar-benar membuka diri dengan tetangga, dan Elang, meski tampak tulus, tetaplah pria yang baru ia kenal beberapa kali saja.
“Ranu, sabar ya, nanti kita siap-siap dulu. Kita gak langsung ke sana sekarang,” kata Jayne sambil mencubit pipi anaknya dengan lembut, membuat Ranu terkekeh.
***
Pukul tujuh lewat sepuluh, Jayne dan Ranu berdiri di depan rumah Elang. Suara tawa Kayla terdengar riang dari dalam, diselingi langkah-langkah kecil yang terdengar tergesa-gesa. Jayne menekan bel, dan tak lama kemudian pintu terbuka, menampilkan Elang dengan senyum hangat.
“Masuk, masuk. Pas banget, makanannya baru matang,” sapanya ramah.
Rumah Elang terasa hangat saat mereka melangkah masuk. Interiornya sederhana tapi rapi, dengan aroma sedap yang langsung menyambut mereka. Di meja makan, sup jagung hangat mengepul dari mangkuk, ayam teriyaki mengilap di piring saji, salad segar tersusun rapi, dan nasi putih dalam rice cooker menunggu disantap.
“Wah, wangi banget,” ujar Jayne sambil membantu Ranu meletakkan sandal.
Kayla, yang sudah selesai mandi, menarik tangan Ranu ke ruang tengah dengan penuh semangat. “Ayo main dulu! Aku udah nyiapin board game!”
Ranu hampir melompat kegirangan, ikut tertawa dan menyeret dirinya ke ruang tengah, membuat Jayne ikut tersenyum. Ia memutuskan duduk di kursi makan, menikmati pemandangan anak-anak yang begitu akrab.
Elang menyusul, menuangkan teh hangat ke cangkir mereka berdua. “Gak nyangka kamu bisa masak juga,” celetuk Jayne sambil melirik aroma masakan yang menggoda.
Elang tertawa pelan. “Terpaksa belajar sejak dulu ngekos. Gak enak juga kalau terus-terusan makan beli. Lagian, kalau sendiri ya… masak itu hiburan juga.”
Jayne menatapnya sejenak, kemudian bertanya dengan nada penasaran, “Kamu pernah ngekos?”
“Dari sebelum ketemu sama mamanya Kayla,” jawab Elang, suaranya ringan tapi ada kesan nostalgia. “Setelah menikah baru pindah ke rumah ini.”
Jayne terkesan. “Hebat, dari ngekos sampai bisa punya rumah sebesar ini.”
Ada jeda. Keduanya diam, tapi bukan karena canggung. Ada semacam pemahaman tak kasat mata yang menyelimuti, rasa nyaman yang muncul perlahan-lahan dari cara mereka saling menatap.
Tak lama kemudian, Elang berdiri. “Ayo, makan sebelum dingin.”
Mereka kembali ke meja makan. Ranu dan Kayla langsung menyerbu hidangan, sambil saling berebut sendok dan bercanda satu sama lain. Kayla menepuk tangan Ranu, pura-pura marah karena Ranu mengambil sup jagung lebih dulu. Ranu menangkis dengan tawa, “Aku cuma mau cicipin dulu!”
Jayne ikut tertawa melihat tingkah lucu anak-anak. Setiap kali Kayla tersenyum manis, matanya berbinar-binar, membuat Ranu menirukan gerakan tangan Kayla dan berakhir tertawa bersama.
Elang menatap mereka sambil tertawa, lalu memandangi Jayne. “Anak-anak kalian selalu penuh energi, ya?”
Jayne mengangguk, tersenyum tipis. “Ya, namanya juga masih kecil. Tapi lihat mereka, senyum saja sudah bikin hati hangat.”
Ada jeda sejenak, hanya suara sendok dan gelas. Jayne mencuri pandang ke Elang yang sedang memotong ayam untuk Kayla. Ada sesuatu yang membuatnya tersenyum—cara Elang sabar mengatur semuanya, penuh perhatian tapi tidak berlebihan.