“Jayne, coba ini,” Elang menawarkan sup jagung ke arah Jayne. Tatapannya hangat, dengan senyum tipis yang membuat pipi Jayne terasa hangat sendiri.
“Terima kasih,” jawab Jayne, suaranya sedikit bergetar tapi ia mencoba terdengar santai. Mereka berdua saling menatap sebentar, tapi cepat mengalihkan pandangan saat Kayla tertawa keras karena Ranu membuat wajah lucu saat mencoba sup jagung panas.
Ranu kemudian menumpahkan sedikit sup di piringnya sendiri, membuat Kayla menahan tawa. Elang buru-buru menyodorkan serbet. “Hati-hati, Nak. Nanti bajumu basah semua.”
Jayne ikut tertawa, dan matanya kembali menatap Elang. Ada rasa nyaman yang perlahan tumbuh, tapi keduanya masih menjaga jarak, seperti memberi ruang untuk masa lalu masing-masing tetap aman.
“Supnya pas banget rasanya, Elang. Bikin nagih,” Jayne memuji.
Elang tersenyum, sedikit tersipu. “Eh, iya? Aku takut kebanyakan bumbu, tapi senang kalau cocok sama seleramu.”
Jayne menatap sebentar mata Elang. Ada sesuatu yang membuatnya merasa nyaman—bukan karena romantisme instan, tapi karena ketulusan yang terpancar dari pria itu.
“Kalau weekend, biasanya ngapain?” tanya Elang sambil mengisi piring Jayne lagi.
“Kadang masak bareng Ranu, kadang main di taman. Enggak banyak aktivitas,” jawab Jayne.
Elang tersenyum tipis. “Kalau kalian mau, kita bisa jalan bareng suatu hari. Anak-anak pasti senang.”
Jayne mengangguk, rasa hangat merayapi dadanya. Ia tahu ini sederhana, tapi kehadiran Elang membuat rumahnya terasa berbeda—lebih hidup, lebih aman, dan sedikit lebih manis.
Ketika makan malam hampir selesai, Ranu dan Kayla mulai saling menyuap sambil bercanda, membuat Jayne dan Elang ikut tersenyum tanpa sadar. Sambil mengangkat gelas teh, Elang menatap Jayne. “Senang lihat kalian bahagia.”
Jayne menatap kembali, tersenyum, dan hati kecilnya berdebar. Tanpa kata-kata panjang, mereka sama-sama merasakan kehangatan yang perlahan mulai menembus jarak hati masing-masing.
***
Setelah suapan terakhir ayam teriyaki berpindah dari piring ke mulut, Kayla meletakkan sendoknya dan menepuk-nepuk tangan Ranu. “Kita main kartu di kamarku yuk!” serunya antusias.
Jayne refleks membuka mulut, ingin bilang, “Jangan terlalu lama,” tapi Elang sudah lebih dulu bicara sambil tersenyum, “Nggak apa-apa. Mereka bisa main sebentar. Aku bersihin meja.”
Jayne sempat ragu, tapi akhirnya ikut berdiri. “Aku bantuin deh.”
Mereka berdua mulai membereskan piring dan gelas ke dapur. Suara piring beradu pelan berpadu dengan aroma sup jagung yang masih menggantung di udara. Elang bersandar santai di meja dapur, menatap Jayne yang sibuk mencuci gelas.
“Kamu selalu gitu, ya? Ngerjain semuanya sendiri,” tanyanya pelan.
Jayne berhenti menggosok. “Kebiasaan,” jawabnya singkat.
“Mau terus begitu?”
Pertanyaan itu membuat Jayne terdiam. Air keran terus mengalir, tapi tangannya berhenti. Ia menoleh, menatap Elang dengan tatapan ragu.
Elang segera melanjutkan, suaranya tenang, “Maksudku, kamu nggak harus selalu tangguh. Kadang, bisa kok minta tolong. Atau sekadar cerita.”
Jayne menarik napas. “Aku… belum tahu harus mulai dari mana.”
“Mungkin semua,” jawab Elang tanpa ragu.
Jayne tertawa ringan untuk pertama kalinya malam itu, dan Elang ikut tertawa. Di tengah tumpukan piring kotor dan cahaya lampu dapur yang temaram, ada sesuatu yang mulai tumbuh—masih samar, tapi cukup membuat d**a Jayne hangat.
Tak lama, suara langkah kaki kecil berlarian dari lorong. Kayla dan Ranu muncul kembali sambil membawa setumpuk kartu, wajah mereka penuh tawa. “Ayo main di meja makan!” seru Kayla.
Malam itu pun berlanjut dengan tawa anak-anak yang bercampur gurauan ringan Jayne dan Elang, mengisi ruang makan sederhana itu dengan kehangatan yang jarang dirasakan Jayne belakangan ini.
***
Anak-anak semakin asyik. Ranu mencoba memamerkan gerakan tangan khas dinosaurus yang ia lihat di buku, sementara Kayla menirukan dengan ekspresi serius, membuat mereka berdua tertawa sampai bersuara keras. Elang menatap mereka, matanya berbinar dan senyum tipis tak bisa disembunyikan.
Jayne menahan tawa, tapi tak bisa menutupi rasa hangat di dadanya. Melihat dua anak itu bahagia membuat hatinya lega. Sesekali ia menoleh ke Elang, dan mereka saling bertukar pandang yang penuh arti—bukan kata-kata, tapi pemahaman dan kedekatan yang tumbuh perlahan.
Jam menunjukkan hampir setengah sembilan ketika Jayne merasa saatnya pulang. Ranu awalnya enggan meninggalkan permainan, tapi Jayne menenangkan. “Nanti kalian main lagi lain waktu, ya. Hari ini cukup sebentar.”
“Terima kasih makan malamnya, Om Elang. Enak banget,” ucap Ranu sambil melambai.
“Sama-sama, Ranu. Senang kalian datang,” balas Elang dengan senyum hangat.
Jayne menatap sejenak suasana hangat itu sebelum menggandeng tangan Ranu, berjalan kembali ke rumah mereka. Ranu berbisik di telinganya, “Ma, rumah Om Elang enak banget suasananya.”
Jayne mengusap kepala anaknya, tersenyum. Dalam hatinya, ia pun setuju. Dan tanpa disadari, malam itu sesuatu yang hangat dan baru mulai tumbuh di hatinya—sebuah perasaan nyaman, aman, dan menyenangkan, yang lama ia lupakan.
***
Sementara itu dari teras rumahnya, Elang berdiri cukup lama menatap punggung mereka, jemarinya mengusap lehernya pelan. Entah sejak kapan, kehadiran tetangga barunya itu mulai mengusik ketenangan yang selama ini ia pertahankan.
“Yuk, masuk, Nak,” ujarnya pelan pada Kayla yang sudah mulai mengucek mata. Gadis kecil itu mengangguk, memeluk boneka kelincinya, lalu mengikuti Elang masuk ke dalam. Ia menuntun Kayla menuju kamar, menyalakan lampu tidur, dan membetulkan selimutnya sebelum mengecup kening anak itu. “Tidur yang nyenyak.” Kayla tersenyum mengantuk, lalu memejamkan mata.
Elang keluar kamar perlahan, menutup pintu agar suara tak mengganggu. Tapi pikirannya tak ikut tertutup bersama pintu itu—masih berputar pada tawa ringan Jayne, tatapan matanya saat mereka di dapur, dan senyum tipisnya di depan pintu tadi. Ada rasa yang tak ia duga, seperti gangguan manis yang muncul tanpa permisi.
Kerjaan di meja belum selesai. Ia menuju ruang kerjanya yang terletak di lantai dua, menyalakan laptop, dan membuka kembali file yang tadi sore ia tinggalkan. Namun, fokusnya buyar. Pandangannya sesekali terarah ke jendela besar di samping meja. Rumah model cluster itu dibangun tanpa tembok tinggi, hanya pagar dan dipisahkan oleh deretan pepohonan ramping yang menjulang. Di sela-sela daun yang bergoyang tertiup angin malam, ia bisa samar-samar melihat cahaya lampu kamar Jayne.
Dari posisinya, ia tak bisa melihat jelas, hanya bayangan lembut di balik tirai. Tapi entah mengapa, itu cukup untuk membuatnya berhenti mengetik, terpaku beberapa detik lebih lama dari seharusnya. Ada rasa ingin tahu yang ia tekan, bercampur dengan kesadaran bahwa jarak di antara rumah mereka sebenarnya begitu dekat—secara fisik maupun … mungkin, sebentar lagi, secara hati.
Tidak lama lampu itu padam, Jayne dan Elang pasti sudah tidur. Elang menghela napas panjang, memaksa pandangannya kembali ke layar laptop. Tapi senyum samar di sudut bibirnya tak mau hilang.