Luka Itu Masih Ada.

1065 Kata
Malam itu begitu sunyi, seakan dunia menahan napasnya. Hanya terdengar detak jam dinding di ruang tengah yang pelan namun menusuk telinga—ritmenya teratur, tapi terasa seperti jarum yang menekan syaraf Jayne satu per satu. Dengung halus AC memenuhi kamar, konstan tapi dinginnya merayap perlahan ke kulit. Cahaya lampu tidur berwarna temaram jatuh di dinding, membentuk bayangan samar dari perabot kamar yang tak bergerak, seolah ikut terjebak dalam keheningan. Jayne tidur dengan posisi miring, wajahnya menghadap Ranu yang sudah lebih dulu tenggelam dalam dunia mimpi. Anak itu memeluk guling kesayangannya, napasnya halus, damai, dan teratur. Wajah kecilnya benar-benar polos—terlihat seperti malaikat kecil yang tak pernah bersentuhan dengan sisi kelam kehidupan. Namun, kedamaian di wajah Ranu kontras dengan tubuh ibunya. Kelopak mata Jayne mulai bergetar, napasnya sedikit memburu. Keringat dingin mulai mengalir di pelipis, meski udara malam cukup sejuk. Jemarinya menggenggam sprei, tubuhnya merintih pelan—tanda mimpi buruk mulai mencengkeram. Dan seperti pintu yang tiba-tiba dibuka paksa, ingatan itu datang. Tidak sopan, tidak memberi peringatan, langsung menyeretnya kembali ke masa lalu. Dalam mimpi itu, ia berdiri di ruang makan rumah lamanya. Aroma masakan yang harusnya menenangkan justru bercampur dengan rasa tegang yang menusuk. Di depannya, Reno—dengan mata merah menyala dan rahang mengeras—menatapnya seperti binatang liar yang siap menerkam. “Hanya karena kau melayani tamu laki-laki itu terlalu ramah!” suaranya meledak, kasar, penuh tuduhan. Jayne mundur satu langkah, punggungnya menabrak sudut meja makan. “Aku cuma menyambut tamu, Ren. Dia klien,” jawabnya lirih, mencoba tetap tenang meski dadanya berdegup kencang. “Alasan! Mata kamu terlalu genit!” Reno meraih gelas di meja dan melemparkannya ke lantai. Suara pecahan kaca memekakkan telinga. Beberapa serpihan melesat dan melukai pergelangan kaki Jayne. Rasa perih bercampur dengan ngeri yang merambat di tulangnya. Sebelum ia sempat mundur lebih jauh, Reno sudah menarik rambutnya kasar, memaksa wajahnya mendongak. Nafas panas lelaki itu menusuk kulitnya. “Apa kamu rindu dipuji sama laki-laki lain, hah? Kurang puas sama aku?!” Air mata Jayne menggenang. Ia menoleh ke arah pintu kamar, tempat Ranu mungkin bisa mendengar. “Ren, tolong ... ada Ranu ... dia bisa dengar ....” Bukannya tenang, kata-kata itu malah membuat Reno semakin kalap. Ia mendorong Jayne ke lantai. Napasnya berat, penuh amarah. Satu tangannya mencengkeram rahang Jayne, menekan kuat hingga rahangnya berdenyut. Tangan satunya merogoh saku celana, menarik ikat pinggang kulit. “Biar kamu tahu rasanya punya istri murahan!” PLAK! Suara sabetan kulit ikat pinggang menghantam kulit Jayne membuat telinganya berdenging. Rasa perihnya begitu nyata—membakar. Jeritannya memecah udara. Jayne terbangun mendadak. Dadanya naik-turun cepat, napasnya memburu seolah ia baru saja berlari. Keringat membasahi leher, punggung, bahkan telapak tangannya. Butuh beberapa detik untuk menyadari bahwa ia ada di kamarnya sendiri, bukan di neraka masa lalu. Matanya menyapu sekeliling: langit-langit kamar, dinding biru pastel yang dicat beberapa bulan lalu, lampu tidur kecil yang masih menyala di nakas. Ranu ada di sisinya, masih memeluk gulingnya, matanya terpejam damai. Jayne menutup wajah dengan kedua tangan, mencoba meredam gemetar yang menjalar di seluruh tubuhnya. Rasanya seperti luka lama itu terbuka lagi, segar dan berdarah. Ia tahu kulitnya baik-baik saja, tapi hatinya? Tidak. Hatinyalah yang memar. Pelan-pelan ia bangkit, berhati-hati agar tidak membangunkan Ranu. Langkahnya menuju dapur terasa berat, seakan setiap langkah adalah perjuangan melawan bayangan masa lalu yang masih menggenggam pergelangan kakinya. Tangannya bergetar saat menuang air ke gelas. Saat air menyentuh bibirnya, ia meneguknya cepat—namun rasa haus itu tak juga hilang. Ia sadar, yang kering bukan tenggorokannya, tapi jiwanya. Ia duduk di kursi makan, memeluk diri sendiri. Malam selalu menjadi musuhnya. Bukan karena gelapnya, tapi karena di dalam gelap, mimpi-mimpi itu bisa datang seenaknya, menguliti luka yang ia pikir sudah menutup. Tok. Tok. Tok. Jayne tersentak. Punggungnya menegang. Pandangannya langsung mengarah ke pintu rumah. Jam di dinding menunjukkan pukul 12 tepat. Siapa yang mengetuk di jam seperti ini? Suara ketukan itu tidak keras, tapi teratur—seperti seseorang yang sengaja memastikan ia mendengar. Bulu kuduknya meremang. Ia menelan ludah, otaknya berusaha mencari penjelasan. Apakah tetangga? Tidak mungkin. Semua orang di cluster ini biasanya sudah tidur jam segini. Tukang pos malam? Tidak masuk akal. Ia bangkit pelan, langkahnya ringan tapi hati berdebar kencang. Jayne berjalan pelan ke arah pintu, kakinya nyaris tak bersuara di atas lantai kayu. Langkahnya ragu-ragu, seolah setiap jarak yang terpangkas menuju pintu justru menambah beban di dadanya. Jantungnya berdebar, kencang tapi tidak beraturan. Ketika ia mengintip dari lubang pintu, bayangan itu langsung jelas: sosok Elang berdiri di beranda. Jaket tipisnya sedikit terbuka, memperlihatkan kaos abu-abu yang tampak kusut. Wajahnya serius, sedikit cemas, alisnya berkerut seperti seseorang yang sedang menahan dorongan untuk langsung mengetuk lagi. Jayne membuka pintu perlahan. “Elang ...? Ada apa?” suaranya serak, hampir seperti orang yang baru selesai menangis. Tatapan Elang langsung menyapu Jayne dari ujung kaki sampai kepala. Bukan tatapan menghakimi, tapi penuh perhatian yang tenang. “Aku lihat lampumu nyala dari jendela. Tadi aku juga denger suara ... kamu nggak apa-apa?” Jayne menunduk, rambutnya jatuh menutupi sebagian wajah. Ia berharap itu cukup untuk menyembunyikan matanya yang sembab. Tapi Elang tahu. Ia tahu dari cara bahu Jayne sedikit bergetar, dan dari tatapan yang menghindar itu—bukan tatapan orang yang baik-baik saja. “Aku ... mimpi buruk,” jawab Jayne akhirnya, nyaris berbisik, seolah takut kata-kata itu akan membuat mimpinya kembali. Elang diam sebentar. Ada jeda di mana matanya meneliti wajah Jayne, seperti menimbang apakah harus mendekat atau memberi jarak. “Kamu mau ditemani sebentar?” tanyanya pelan, suaranya tanpa paksaan. Jayne terdiam. Rasanya mulutnya ingin mengatakan ‘tidak’, tapi hatinya tahu ia tak sanggup menanggung kesunyian lagi malam ini. Lebih dari rasa segan, ia ingin tidak merasa sendirian. Maka ia mengangguk pelan. Mereka berdua masuk ke dapur. Lampu gantung bulat di atas meja makan memancarkan cahaya hangat, menimpa meja kayu yang sederhana. Elang duduk di seberang Jayne, keduanya memegang cangkir teh hangat yang aromanya menenangkan. Jayne masih diam, jemarinya melingkari cangkir seperti mencari hangat yang bisa meredakan gemetar di tangannya. Ia menatap ke permukaan teh, seakan di sana ada jawaban atau keberanian yang ia butuhkan. Elang tidak mengganggu. Ia hanya duduk cukup dekat untuk memberi kehadiran, tapi juga cukup jauh agar Jayne tidak merasa terdesak. “Aku juga pernah mimpi buruk kayak gitu,” ucap Elang akhirnya, suaranya tenang, tidak terburu-buru. “Setelah cerai sama Yola. Rasanya... kosong. Nggak tahu harus marah ke siapa, tapi juga nggak bisa pura-pura baik-baik aja.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN