Jayne mengangkat kepalanya pelan, menatap Elang dengan mata yang masih basah. “Aku dipukul di depan anakku. Itu yang paling sakit. Bukan lukanya ... tapi rasa gagal jadi pelindung buat Ranu.”
Elang menunduk sedikit, menahan diri untuk tidak langsung mengucapkan kata-kata penghiburan murahan. Ia tahu, kadang yang dibutuhkan bukan solusi—hanya seseorang yang mau duduk bersama dalam luka itu. Ia mengulurkan tangannya, menepuk punggung tangan Jayne pelan. Tidak memaksa, tidak mencoba menghapus air mata. Hanya menunjukkan bahwa ia ada di sana.
Jayne merasakan hangat itu. Refleks, jemarinya menggenggam tangan Elang, kuat. Dan untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa diperbolehkan untuk rapuh.
“Kalau aku nggak kuat ...,” bisiknya nyaris tak terdengar.
Elang menatapnya, matanya serius, tapi lembut. “Kamu udah kuat. Dari dulu. Tapi sekarang ... kamu nggak harus sendiri lagi buat kuat.”
Kata-kata itu menembus Jayne. Air matanya kembali menggenang, tapi kali ini bukan karena teror masa lalu. Ada sesuatu yang lain—sebuah kemungkinan baru. Kehangatan yang mulai tumbuh perlahan, seperti fajar yang malu-malu muncul setelah malam yang terlalu panjang.
Beberapa menit berlalu dalam diam yang nyaman. Hanya bunyi sendok yang sesekali membentur dinding cangkir.
Akhirnya Jayne menarik napas panjang. “Aku ... mau coba tidur lagi.”
Elang mengangguk. “Oke. Kalau ada apa-apa, ketuk aja pintuku.”
Jayne berjalan kembali ke kamar, melewati lorong yang remang. Ranu masih tertidur pulas, wajahnya damai. Jayne berbaring di sampingnya, mencoba membiarkan kehangatan teh dan kata-kata Elang meresap.
Hampir saja ia terlelap ...
Ting!
Ponselnya bergetar di meja samping ranjang. Satu pesan masuk. Dari nomor tak dikenal.
[Kamu pikir bisa kabur selamanya, Jayne?]
Wajah Jayne langsung membeku. Darahnya seperti berhenti mengalir. Bibirnya terbuka sedikit, napas tercekat. Jari-jarinya gemetar saat membaca lagi pesan itu, berharap matanya salah lihat.
Tidak. Pesan itu nyata. Dan nama yang selama ini ia paksa terkubur di sudut terdalam ingatannya seolah hidup kembali hanya lewat satu baris teks.
Reno.
Tangannya refleks gemetar. Nafasnya tercekat. Ia tahu betul gaya bahasa itu—intimidasi halus yang menyisipkan ancaman. Reno.
Jayne menatap layar ponsel itu lama, jantungnya berdegup begitu kencang hingga terasa sakit di dadanya. Pesan itu singkat, tapi sarat makna. Kata-kata Reno selalu punya kemampuan untuk mengiris, bahkan tanpa perlu teriak atau memukul. Seolah setiap hurufnya adalah rantai yang kembali melilit lehernya.
Ia buru-buru menekan tombol hapus, seperti anak kecil yang menutup mata saat melihat sesuatu yang menakutkan, berharap semua itu akan menghilang. Tapi itu bohong. Bayangannya tetap tinggal. Kata-kata itu menempel di kepalanya, seperti api kecil yang mulai menjalar diam-diam ke seluruh tubuh.
"Jangan pikir bisa kabur selamanya, Jayne."
Suara Reno bergema di pikirannya, lengkap dengan nada sinisnya.
Jayne menarik napas panjang, memaksa meneguk udara yang tiba-tiba terasa berat. Ia menaruh ponsel di meja samping tempat tidur, lalu memeluk lutut. Sebagian dirinya ingin langsung menghubungi polisi atau minta bantuan Elang, tapi bagian lain—bagian yang selama ini terbiasa melawan sendirian—justru mendorongnya untuk menutup rapat mulutnya.
Ranu tidur di sebelah, wajahnya damai. Anak itu tak tahu bahwa ibunya sedang berperang dengan ketakutan yang lama. Jayne menatapnya lama, lalu membaringkan diri lagi. Ia memaksa memejamkan mata, mencoba menipu tubuhnya bahwa semuanya baik-baik saja. Tapi setiap kali kelopak matanya tertutup, pesan itu muncul lagi.
Jam terus bergerak. Angka di layar ponsel berubah pelan tapi pasti. Jayne masih terjaga ketika cahaya pagi mulai menyelinap di celah gorden.
***
Alarm ponselnya berdering nyaring, memecah kesunyian. Jayne bangkit dengan kepala berat, seperti semalam ia baru saja melalui perjalanan jauh. Tubuhnya terasa pegal, matanya panas, tapi ia memaksa berdiri.
Rutinitas pagi adalah sesuatu yang tidak bisa ia tunda. Sekuat apapun rasa lelahnya, Ranu harus tetap siap berangkat sekolah. Jayne menata seragam anak itu, memeriksa kancing dan resleting, memastikan tidak ada noda di saku. Ia lalu menuju dapur, menyalakan rice cooker, memanaskan nasi, memecahkan dua butir telur, dan menyiapkan s**u hangat.
Semua gerakan itu otomatis, seperti kebiasaan yang sudah tertanam bertahun-tahun. Tapi pagi ini, gerakan Jayne terasa kaku. Setiap denting sendok di piring terasa terlalu nyaring. Setiap aroma masakan justru mengingatkannya pada pagi-pagi lain—pagi-pagi di rumah lamanya, ketika Reno masih ada, ketika satu komentar sinis bisa merusak seluruh harinya.
Suara langkah kaki kecil terdengar dari arah kamar. “Pagi, Ma …,” gumam Ranu sambil mengucek matanya. Rambutnya acak-acakan, bantal masih meninggalkan bekas di pipinya.
Jayne memaksakan senyum. “Pagi, Sayang. Ayo sarapan, biar nggak telat.”
Anak itu duduk di kursi, menyeruput s**u hangatnya sambil sesekali menguap. Jayne memperhatikan wajahnya yang polos, dan sekali lagi, ada rasa bersalah yang menekan dadanya. Ia ingin sekali memastikan Ranu tidak pernah tahu seperti apa Reno sebenarnya. Tidak pernah mendengar lagi suara bentakan itu. Tidak pernah merasakan ketakutan seperti yang ia rasakan tadi malam.
Setelah sarapan, Jayne membantu Ranu memakai sepatu dan menyandang tas. Udara pagi di luar rumah cukup sejuk, tapi bagi Jayne, dinginnya terasa sampai ke tulang.
Mobil Elang sudah terparkir di depan rumah. Kayla duduk di kursi belakang, melambaikan tangan kecilnya sambil tersenyum lebar. “Pagi, Ranu!”
“Pagi, Kayla!” balas Ranu riang, lalu berlari kecil masuk ke mobil.
Elang, yang duduk di kursi kemudi, memandang Jayne. Pandangan itu singgah sedikit lebih lama dari biasanya, seakan mencoba membaca sesuatu di balik wajahnya. “Pagi, Jayne.”
“Pagi, Elang,” jawabnya singkat, memaksakan senyum. Ia berharap senyum itu cukup meyakinkan.
Tapi Elang tetap menatapnya dengan alis sedikit berkerut. “Kamu nggak kelihatan baik-baik aja.”
Jayne menggeleng cepat. “Nggak, cuma … kurang tidur aja.”
Elang tidak mendesak. Ia hanya mengangguk pelan, lalu menyalakan mesin mobil. “Oke. Sampai nanti.”
Mobil perlahan melaju, meninggalkan Jayne berdiri di depan rumahnya. Ia memeluk lengannya sendiri, mencoba mengusir rasa dingin yang tidak ada hubungannya dengan cuaca.
***
Begitu pintu rumah tertutup, keheningan kembali menguasai. Jayne berjalan ke dapur, membereskan piring bekas sarapan. Tangannya gemetar saat ia melihat ponselnya lagi di meja. Layar itu kosong sekarang, tapi seolah menyimpan jejak pesan yang sudah dihapus.
Ia duduk di kursi makan, menatap cangkir teh yang sudah mulai mendingin. Lalu tanpa sadar, pikirannya melayang kembali ke beberapa bulan lalu—hari ketika ia pertama kali memutuskan cerai dan pergi dari Reno.
Ia ingat bagaimana ia mengemasi barang dalam diam, menunggu sampai Reno pergi keluar kota. Bagaimana ia menggendong Ranu yang masih setengah tidur, menaikkannya ke taksi, dan terus memandangi kaca spion untuk memastikan tidak ada mobil yang mengikuti.
Hari itu, ia merasa seperti burung yang berhasil keluar dari sangkar. Tapi sekarang, dengan satu pesan singkat, rasa bebas itu mulai retak.
Jayne memaksa dirinya bangkit. Ia berjalan ke ruang tamu, mencoba mengalihkan pikiran dengan membereskan majalah dan mainan Ranu. Tapi setiap bunyi dari luar—suara motor lewat, langkah kaki tetangga, bahkan derit pintu tetangga yang tertutup—membuatnya menoleh cepat.
Pikirannya bermain-main dengan kemungkinan: Bagaimana kalau Reno tahu alamatku sekarang? Bagaimana kalau dia sudah ada di dekat sini?