Jayne mengangkat kepalanya pelan, menatap Elang dengan mata yang masih basah. “Aku dipukul di depan anakku. Itu yang paling sakit. Bukan lukanya ... tapi rasa gagal jadi pelindung buat Ranu.” Elang menunduk sedikit, menahan diri untuk tidak langsung mengucapkan kata-kata penghiburan murahan. Ia tahu, kadang yang dibutuhkan bukan solusi—hanya seseorang yang mau duduk bersama dalam luka itu. Ia mengulurkan tangannya, menepuk punggung tangan Jayne pelan. Tidak memaksa, tidak mencoba menghapus air mata. Hanya menunjukkan bahwa ia ada di sana. Jayne merasakan hangat itu. Refleks, jemarinya menggenggam tangan Elang, kuat. Dan untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa diperbolehkan untuk rapuh. “Kalau aku nggak kuat ...,” bisiknya nyaris tak terdengar. Elang menatapnya, matanya serius, tapi