Jayne mencoba menenangkan diri. Kompleks ini punya satpam, pintu gerbang selalu dijaga. Rumahnya dekat dengan tetangga, dan Elang ada di sebelah. Secara logika, Reno tidak akan bisa masuk tanpa ketahuan.
Tapi rasa takut jarang mengikuti logika.
Jayne duduk di sofa, menarik napas panjang. Pikirannya kacau, tapi di tengah kekacauan itu, ada satu hal yang ia sadari: cepat atau lambat, ia harus menceritakan ini pada seseorang. Mungkin pada Elang.
Tapi untuk saat ini, ia memilih diam.
Ia meraih selimut tipis di sofa, menyelimutkan diri, dan membiarkan pagi itu berlalu perlahan, sambil menunggu suara mobil Elang sore nanti—suara yang entah kenapa mulai terasa seperti penanda bahwa ia masih aman.
***
Ranu sedang tidur siang. Nafasnya teratur, pipinya sedikit mengembung seperti anak kucing yang kekenyangan. Jayne menatapnya sebentar sebelum menutup pintu kamar pelan-pelan. Hari itu langit mendung, cahaya matahari yang masuk melalui jendela hanya samar, memberi kesan rumah yang sedikit redup dan tenang.
Di ruang makan, laptop terbuka dengan lembar kerja yang menumpuk. Jayne duduk, mencoba memanfaatkan waktu tidur Ranu untuk menyelesaikan pekerjaannya secara online. Jari-jarinya bergerak di atas keyboard, tapi pikirannya masih berantakan. Sesekali, ia berhenti mengetik, menghela napas panjang, lalu menatap layar kosong beberapa detik sebelum kembali menulis.
Keheningan itu pecah tiba-tiba.
TOK!
Suara keras, tunggal, menghantam sesuatu di bawah wastafel dapur. Jayne menegakkan tubuh, telinganya waspada. Ia menoleh ke arah dapur, kening berkerut.
Apa itu?
Awalnya ia pikir itu hanya bunyi piring yang bergeser karena getaran kulkas, atau mungkin tikus—meskipun ia belum pernah melihat satu pun di rumah ini. Tapi kemudian, suara itu diikuti bunyi “tuk… tuk… tuk…” yang makin cepat, berubah jadi ritme tetesan air yang deras.
Jayne bergegas ke dapur. Aroma lembab langsung menyergap hidungnya ketika ia mendekati wastafel. Di lantai, air mulai membentuk genangan tipis, merambat keluar dari bawah lemari.
“Astaga …,” desahnya.
Ia berjongkok, membuka pintu lemari kayu di bawah wastafel. Pemandangan yang ia temukan membuatnya mendesah lebih keras. Sambungan pipa berwarna putih pucat itu longgar—bergetar dan memuntahkan semburan air pelan tapi konstan. Bukan ledakan pipa besar, tapi cukup untuk membuat lemari dan lantai dapur basah kuyup.
Jayne refleks memutar tuas keran utama di bawah wastafel, tapi itu hanya memperlambat tetesan. Air tetap menetes, membentuk irama tak sabar yang menusuk telinganya.
Ia mengangkat kepalanya, rambutnya jatuh berantakan di dahi. Kakinya telanjang, dingin oleh air yang sudah menjalar ke bawahnya. Ia berdiri sambil mengacak-acak rambutnya sendiri, frustrasi. Hari ini sudah terasa panjang—dan terlalu sunyi untuk ditanggung sendirian.
Jayne mengambil lap pel dan ember dari sudut dapur. Ia jongkok lagi, menampung air yang keluar agar tidak semakin menggenang. Tangannya basah dan dingin. Pikirannya melayang ke hal-hal lain yang juga bocor di hidupnya—perasaan aman, rasa percaya, bahkan tidur malam yang nyenyak. Semuanya tampak rapuh akhir-akhir ini.
Begitu air di lantai agak terkendali, ia menyalakan ponsel dan mencari nomor tukang servis pipa. Hasil pencarian memunculkan beberapa kontak: sebagian dari aplikasi, sebagian dari papan pengumuman kompleks yang ia foto minggu lalu.
Jayne menekan nomor pertama. Nada tunggu terdengar, tapi tidak diangkat. Nomor kedua—diangkat, tapi suara di seberang mengatakan mereka baru bisa datang malam nanti. Nomor ketiga—hanya menjanjikan “secepatnya” tanpa kepastian.
“Ya Tuhan .…” Jayne memijat pelipisnya. Ranu pasti akan bangun sebentar lagi, dan ia tidak mau anak itu bermain di lantai basah atau terpeleset.
***
Waktu berjalan lambat. Di luar, langit makin gelap. Mendung yang tadi menggantung kini menebal, membuat suasana rumah seperti menjelang hujan. Jayne duduk di lantai dapur, punggungnya bersandar pada lemari, menatap genangan kecil yang terus ia lap setiap beberapa menit.
Ia menatap ponsel lagi—tak ada pesan masuk, tak ada panggilan balik dari tukang. Rasanya seperti terjebak.
Sebuah suara kecil memanggil dari kamar, “Ma …?”
Jayne menoleh cepat. Ranu berdiri di ambang pintu, matanya masih setengah terpejam, rambutnya berantakan.
“Kamu bangun? Awas, jangan ke sini, lantainya licin,” kata Jayne, bangkit dan berjalan cepat menghampirinya. Ia menggiring Ranu kembali ke kamar, memastikan anak itu aman.
“Ada apa, Ma?” tanya Ranu sambil mengucek mata.
“Nggak apa-apa. Pipa bocor, Mama lagi nunggu orang benerin. Kamu tidur lagi, ya. Nanti kalau udah beres, kita makan sore bareng.”
Ranu mengangguk lesu, kembali memeluk gulingnya. Jayne menghela napas lega setelah menutup pintu kamar.
***
Jam menunjukkan hampir pukul lima sore. Tukang servis belum datang. Jayne menatap ember yang setengah penuh, lalu memutuskan untuk menuangkan isinya ke kamar mandi. Saat ia kembali ke dapur, suara dari luar rumah terdengar—suara mobil berhenti, pintu pagar tetangga terbuka.
Ia sempat melirik ke jendela kecil di atas wastafel. Dari sana, ia bisa melihat sedikit bagian halaman rumah Elang. Mobilnya sudah terparkir, dan ia sedang membuka pintu sambil memanggil Kayla.
Jayne mengigit bibir bawahnya. Sebagian dirinya ingin pura-pura tidak tahu, menyelesaikan masalah ini sendiri. Tapi ada bagian lain—bagian yang sudah lelah memikul semuanya sendirian.
Tetesan air dari pipa masih terdengar, seperti pengingat bahwa waktu terus berjalan. Jayne menghela napas, mengambil ponselnya lagi. Ia mengetik pesan singkat ke salah satu tukang: Mas, bisa cepet? Airnya udah banyak banget.
Tidak ada balasan.
Akhirnya, Jayne duduk di kursi makan, memeluk lutut sambil memandang lantai yang basah. Aroma kayu lembab makin kuat, menusuk hidungnya. Di luar, suara hujan mulai terdengar—rinai tipis yang perlahan berubah deras.
Jayne meraih kain lap lagi, mengelap sisa air yang merembes. Rambutnya sudah lepek, baju kausnya basah di beberapa bagian. Matanya terasa panas, tapi ia menahan air mata.
Karena entah kenapa, hari ini bukan hanya tentang pipa yang bocor.
Jayne menimbang cukup lama. Tangannya memegang ponsel, jempolnya menggantung di atas layar. Gengsi menahan, tapi rasa lelah dan air yang terus menetes membuatnya akhirnya menyerah. Ia mengetik perlahan, setiap kata terasa seperti mengikis lapisan pertahanannya sendiri.
Jayne: Maaf ganggu, Elang ... Apa kamu sudah pulang? Pipa bawah wastafelku bocor. Airnya keluar terus.
Jayne: Aku sudah telpon service pipa tapi belum datang. Bisa ... minta tolong?
Ia menatap layar beberapa detik setelah pesan terkirim, mencoba menebak reaksi di seberang sana. Dua menit berlalu tanpa balasan, tapi kemudian terdengar suara langkah cepat di teras—suara sepatu menghantam lantai dengan ritme mantap.
Tok. Tok. Tok.
Jayne buru-buru mengusap kedua telapak tangannya ke celana, meskipun tidak banyak membantu menghilangkan basah. Ia membuka pintu, dan di sana berdiri Elang—masih dengan kemeja kerja yang ia lihat tadi pagi, bagian lengan sedikit tergulung, rambutnya berantakan seolah terburu-buru. Ada sedikit kelembapan di bahunya, entah dari hujan atau keringat perjalanan. Jelas sekali ia baru saja pulang, bahkan mungkin belum sempat masuk rumah sebelum menyeberang ke sini.
“Elang, maaf banget ganggu ... tapi—”
“Mana pipanya?” potong Elang dengan nada lembut, tapi mantap. Ia melangkah masuk tanpa banyak basa-basi, seperti seseorang yang sudah terbiasa mengambil alih kendali ketika situasi butuh diselesaikan cepat.