Jayne sedikit terkejut oleh ketegasannya, tapi membiarkan Elang lewat dan memandu ke dapur. Genangan tipis di lantai menyambut mereka, aroma lembab langsung menyergap.
Elang jongkok di depan lemari bawah wastafel, membuka pintunya lebar-lebar. Matanya menyapu sambungan pipa yang masih mengeluarkan tetesan air. Ia mencondongkan tubuh, memutar sedikit kepalanya untuk mendapatkan sudut pandang yang lebih jelas.
“Sambungannya lepas setengah,” gumamnya sambil mengetuk ringan bagian pipa. “Mungkin karena tekanan air. Ada seal bocor juga.”
Jayne berdiri di belakangnya, kedua tangannya saling meremas, merasa canggung. “Kalau harus nunggu tukang, aku nggak apa-apa sih. Aku bisa matiin alirannya dulu ....”
Elang menoleh sebentar, menatapnya sambil tersenyum tipis. “Kamu nggak bisa tidur semalaman denger suara tetesan air, kan?”
Tatapannya tenang, tapi ada nada tidak perlu kuat sendirian yang terselip di situ. Jayne hanya mampu mengangguk kecil, lalu mundur setengah langkah untuk memberinya ruang.
Tanpa banyak bicara, Elang membuka tas selempangnya dan mengeluarkan kotak kecil. Jayne memandang dengan alis terangkat ketika melihat isinya—obeng berbagai ukuran, kunci pas, seal tape, bahkan sepasang sarung tangan karet.
“Kamu bawa-bawa alat tukang gitu?” tanya Jayne, setengah heran setengah terhibur.
Elang menaruh kotak itu di lantai dan mulai memilih alat yang ia butuhkan. “Ada anak kecil di rumah. Segala bisa rusak kapan aja,” jawabnya santai. Jemarinya cekatan membungkus tangan dengan sarung karet, lalu meraih kunci pas. “Lagi pula ... kadang lebih gampang benerin pipa daripada ngobrol sama pasien koma.”
Jayne terdiam, menatapnya beberapa detik. Kalimat itu ringan, tapi ada beban yang terdengar samar di baliknya. Ia tidak bertanya, hanya memerhatikan Elang bekerja—gerakannya mantap, tidak tergesa-gesa, tapi juga tidak membuang waktu.
Suara logam bergesekan terdengar, diiringi bunyi cipratan kecil ketika sambungan pipa dilepas. Elang membersihkan ulirnya dengan kain lap yang ia ambil dari wastafel, lalu membungkusnya dengan seal tape putih, memutar perlahan tapi pasti. Jayne mengamati, sedikit terpesona oleh ketelitian yang ia tunjukkan.
Di luar, hujan mulai turun lebih deras, menambah kesan bahwa rumah itu kini adalah dunia kecil yang hanya mereka berdua huni.
Jayne tersenyum samar. Ia menarik kursi dan duduk di bangku dapur, kedua tangannya bertumpu di pangkuan. Matanya mengikuti gerak Elang yang begitu fokus—bahunya sedikit membungkuk, jemarinya bekerja mantap pada sambungan pipa yang membandel. Ia tak banyak bicara, dan bahkan ketika air kotor memercik ke kemeja kerjanya, ia tidak menunjukkan keluhan sedikit pun. Ada ketenangan yang memancar dari caranya bekerja, dan entah kenapa, itu membuat Jayne merasa lebih aman.
“Kayla tidur?” tanya Jayne akhirnya, suaranya lirih tapi cukup untuk memecah keheningan yang hanya diisi suara hujan di luar.
“Iya. Dia ngorok halus sekarang, sepertinya dia capek banget hari ini," jawab Elang tanpa mengalihkan pandangan dari pipa. Gerak tangannya tetap konsisten, mengencangkan mur sambil memeriksa aliran air yang menetes. “Anakmu juga?”
Jayne mengangguk. “Ranu masih tidur siang. Tapi ....” Ia menghela napas. “… aku belum tidur dari semalam.”
Kata-kata itu membuat Elang berhenti sejenak. Ia menoleh, dan tatapan mereka bertemu. Ada kelelahan di mata Jayne, tapi juga keterusterangan yang jarang ia tunjukkan. Elang bisa melihat bahwa ini bukan sekadar kurang tidur biasa.
“Ada pesan dari Reno tadi,” ucap Jayne pelan, hampir seperti takut kalau udara di sekitarnya akan mengirimkan kalimat itu kembali kepadanya.
Elang terdiam. Hanya bunyi hujan yang kini terdengar, memukul atap dengan ritme tak menentu. Rahang Elang mengeras perlahan, garis di sekitar mulutnya menegang.
“Ancaman?” tanyanya, suaranya datar tapi ada arus kuat yang mengalir di bawahnya.
Jayne tidak langsung menjawab. Ia hanya menunduk, menatap kedua tangannya yang saling menggenggam erat. Itu sudah cukup sebagai jawaban. Elang mengembuskan napas panjang, lalu kembali bekerja—tapi kali ini gerakannya lebih tegas, seolah ia sedang menyalurkan amarahnya ke mur dan pipa itu.
Beberapa menit kemudian, ia menyelesaikan perbaikan. Wastafel kini kembali diam, tak ada lagi tetesan air yang mengganggu. Elang berdiri, lalu berjalan ke wastafel untuk mencuci tangan. Air dingin mengalir di atas jemarinya, membilas sisa seal tape dan debu pipa. Ia mengambil handuk kecil dari gantungan dapur, mengeringkan tangan perlahan sambil tetap memikirkan sesuatu.
Lalu, ia menatap Jayne. Tatapannya tajam, tapi bukan untuk menakut-nakuti—lebih seperti seseorang yang sudah memutuskan sesuatu.
“Kamu udah pernah laporin dia ke polisi?” tanyanya, suaranya rendah namun tegas.
Jayne menggeleng pelan. “Pernah … dulu. Tapi nggak ada tindak lanjut. Malah aku yang diminta hati-hati karena katanya Reno punya koneksi.”
Elang menatapnya lama, seolah mencoba menilai seberapa dalam luka yang Jayne simpan. “Kalau dia kirim pesan lagi, kamu kasih tahu aku. Jangan simpan sendiri.”
Jayne mengangkat wajah, sedikit terkejut oleh ketegasan itu. “Kenapa?”
“Karena ancaman itu bukan cuma soal kamu. Dia harus tahu, sekarang kamu nggak sendirian.”
Jayne terdiam. Ada sesuatu di nada suara Elang—bukan sekadar kepedulian biasa, tapi janji yang ia ucapkan tanpa perlu bersumpah.
Jayne menggeleng pelan, seperti kata-katanya berat keluar dari tenggorokan. “Dulu … nggak berani. Sekarang .…” ia menghela napas, “… takut dia makin gila kalau aku mulai ngelawan.”
Tatapannya jatuh ke lantai, ke pola ubin yang sudah ia hafal, seperti mencoba menghindar dari wajah Elang. Ada rasa malu di situ—malu karena mengaku takut, malu karena ia tahu rasa takut itu sudah terlalu lama berdiam di tubuhnya.
Elang mengangguk pelan, tapi matanya tak lepas dari Jayne. “Kamu nggak harus sendiri ngadepin ini,” katanya tenang, namun ada nada pasti yang sulit dibantah. “Kalau perlu bantuan hukum, aku kenal pengacara. Dan kalau dia berani ganggu lagi …” ia berhenti sejenak, nadanya turun setengah oktaf, “… aku juga nggak diam.”
Kalimat itu sederhana, tapi Jayne merasakannya seperti sebuah benteng yang tiba-tiba berdiri di depannya. Ada sesuatu di cara Elang mengucapkannya—tidak mengumbar janji kosong, tapi memberi kesan bahwa ia sungguh akan melakukan apa yang ia bilang.
Jayne terdiam, pikirannya berputar. Ia tahu ia harus menjaga jarak. Ia tahu membiarkan orang lain masuk terlalu dekat hanya berarti memberi mereka kesempatan untuk melukai. Tapi entah kenapa, langkahnya malah bergerak maju, perlahan, seperti ditarik oleh sesuatu yang tak kasatmata. Sampai ia berdiri hanya berjarak satu langkah dari Elang.
“Kenapa kamu peduli banget, Lang?” suaranya nyaris berbisik, tapi nadanya tajam—bukan menantang, melainkan mencari kebenaran.
Elang menatap Jayne lekat-lekat, tidak tergesa menjawab. “Karena aku tahu rasanya ditinggal orang yang seharusnya bisa dijadikan tempat pulang.” Suaranya sedikit serak, seperti kata-kata itu membawa berat tersendiri. “Yola pergi … dan sejak itu aku janji ke diriku sendiri: kalau suatu hari aku ketemu orang yang juga pernah ngerasa ditinggal, aku nggak akan cuek.”
Jayne menahan napas. Nama itu—Yola—pernah ia dengar sekilas dari Kayla, tapi tidak pernah dari mulut Elang langsung. Dan sekarang, ia bisa melihat jelas, ada luka lama yang belum sepenuhnya sembuh di mata pria itu.