Jarak mereka kini tinggal sehelai napas. Cahaya lampu dapur merayap lembut di wajah Elang, menegaskan garis rahang yang tegas dan tatapan mata yang tak bergeser sedikit pun darinya. d**a Jayne terasa sesak, tapi bukan karena takut. Ada sesuatu di balik kata-kata itu—tulus, jujur, tanpa topeng. Bukan rayuan, bukan basa-basi. Justru karena tidak dibungkus niat memikat, ucapan itu terasa … menggoda dalam cara yang paling membingungkan.
“Tapi … kamu nggak takut sama masalahku?” Jayne bertanya, suaranya pelan, nyaris seperti takut jawaban yang akan ia dengar.
“Aku takut …” Elang berhenti sebentar, “… kamu terus-terusan mikir kamu harus ngadepin semuanya sendirian.”
Sebuah jeda panjang jatuh di antara mereka. Jarak tak sampai satu meter, tapi terasa seperti ruang itu penuh oleh sesuatu yang tidak bisa dilihat. Suara detak jam terdengar jelas, ritmenya seperti bergantian dengan detak jantung mereka sendiri yang mulai tak beraturan.
Jayne menunduk, mengatur napas. “Aku … belum siap untuk apa pun.”
“Aku nggak nuntut apa-apa,” jawab Elang, cepat tapi lembut.
Jayne menatap lagi, matanya sedikit bergetar. “Tapi aku … juga nggak mau kamu pergi.”
Begitu kalimat itu lolos, Jayne menegang. Ia membelalakkan mata, bibirnya sedikit terbuka, seolah otaknya baru sadar apa yang ia ucapkan. Tapi Elang tidak menertawakan. Tidak juga membalas dengan kata manis. Ia hanya mengangkat satu tangannya, menyentuh lengan Jayne—sangat ringan, nyaris seperti sentuhan angin. Bukan untuk menahan, bukan untuk menarik. Hanya untuk memberi sinyal: aku tetap di sini.
Dan anehnya, sentuhan selembut itu jauh lebih menenangkan daripada pelukan sekalipun.
Jayne menarik napas panjang, lalu mengangguk pelan. “Terima kasih … benerin pipa. Dan … temenin aku di hari seburuk ini.”
Elang mengangguk, bibirnya terangkat sedikit. “Setidaknya sekarang kamu bisa tidur tanpa suara tetesan air,” gumamnya, setengah bercanda.
Jayne membalas senyum itu, tipis. “Dan mungkin … sedikit lebih tenang.”
Mereka sama-sama berdiri di dapur beberapa detik lagi, seolah enggan memecahkan gelembung hening yang kini terasa … aman. Sampai akhirnya, Elang menarik napas dan melangkah ke arah pintu.
“Aku pulang dulu,” katanya. Tapi saat tangannya menyentuh gagang pintu, ia menoleh lagi. Tatapannya kembali serius, seperti ingin memastikan pesan ini menancap.
“Kalau besok kamu masih kepikiran soal Reno, bilang. Aku nggak janji bisa hapus semua ketakutanmu .…” Ia berhenti sebentar, lalu melanjutkan dengan nada yang lebih mantap. “…tapi aku bisa jagain pintu rumah ini.”
Jayne tidak menjawab. Ia hanya berdiri di tempatnya, menatap punggung Elang sampai pintu itu tertutup dengan lembut.
Beberapa detik, ia masih di sana. Diam, mendengarkan sisa gema langkah Elang di luar. Hari ini … mungkin ia masih takut. Tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa … tidak benar-benar sendiri.
***
Jayne menatap pintu yang baru saja tertutup, mencoba mengurai rasa yang berdesakan di dadanya. Teh di meja dapur sudah dingin, tapi ia tidak beranjak. Kepalanya sibuk memutar ulang kata-kata Elang—singkat, tapi membekas seperti cap hangat di kulit.
Ia tahu, seharusnya ia tidak terlalu menggantungkan diri pada orang lain. Sudah terlalu sering ia belajar bahwa orang bisa pergi tanpa peringatan. Tapi berbeda dengan Elang—ia tidak menawarkan janji manis, tidak berusaha memoles kata-kata. Ia hanya memberi keberadaan. Dan entah kenapa, itu terasa jauh lebih kuat daripada seribu janji.
Jayne menghela napas panjang, lalu akhirnya mengambil cangkir tehnya dan membawanya ke wastafel. Air mengalir, membasuh sisa teh yang pahit. Pahitnya mengingatkannya pada rasa di hati—campuran takut, ragu, dan hangat yang belum ia kenali sepenuhnya.
Pintu dapur sudah tertutup rapat. Jayne masih berdiri di tempatnya, menatap ruang kosong yang tadi diisi Elang. Udara malam menyusup lewat celah kecil, membawa aroma tanah basah yang samar. Ia menarik napas panjang, mencoba membuang sisa ketegangan yang sejak tadi menumpuk di d**a.
Baru saja ia memutar badan hendak merapikan meja, ketukan pelan terdengar dari pintu belakang.
Jayne menahan napas. Beberapa detik, hening. Lalu suara ketukan pelan terdengar.
“Jayne?” suara itu rendah, tapi jelas. Elang.
Ia membuka pintu, dan mendapati Elang berdiri di sana, senyum tipis di bibirnya, tapi matanya sedikit kikuk. “Kenapa? Ada yang ketinggalan?”
“Lupa ambil obeng,” ujarnya sambil menggaruk belakang leher, jelas malu karena harus kembali hanya lima menit setelah pergi.
Jayne menahan senyum. “Oh … jadi kamu bukan tipe orang yang meninggalkan sesuatu sebagai alasan buat balik, ya?” godanya.
Elang mengangkat alis, pura-pura tak paham. “Kalau itu trik, harusnya aku ninggalin dompet, bukan obeng.”
Jayne tertawa kecil, melangkah ke sudut dapur, lalu mengulurkan obeng itu padanya. Jari mereka sempat bersentuhan singkat, cukup untuk membuat detik itu terasa sedikit lebih panjang dari seharusnya.
“Terima kasih,” kata Elang singkat. “Dan … tidurlah. Malam ini nggak akan ada pipa bocor lagi.”
Jayne hanya mengangguk. Tapi saat ia menutup pintu, senyum itu masih tertinggal di wajahnya—tipis, hangat, dan sedikit tak terduga.
Dan kali ini, saat ia pergi, Jayne tidak merasa pintu yang tertutup itu membuatnya sendirian. Justru seperti ada garis tipis yang menghubungkan dua rumah, dua hati, di tengah malam yang sunyi.
***
Elang berjalan pulang sambil menenteng obeng yang tadi nyaris bikin dirinya malu habis-habisan. Sesekali ia menggeleng, lalu senyum-senyum sendiri di jalanan kecil menuju rumahnya. Malam sudah jatuh, udara agak lembab, tapi hatinya hangat seolah sedang dipeluk sesuatu.
“Gila, Elang. Masa gara-gara obeng aja lo bisa ketemu mata dia sedekat itu? Untung aja lo balik lagi. Kalau enggak, kapan lagi coba?” gumamnya sambil menendang batu kecil di jalan.
Bayangan Jayne masih menari di kepalanya. Cara Jayne membuka pintu dengan ekspresi terkejut, rambutnya yang sedikit berantakan, lalu senyum simpulnya saat melihat Elang kikuk di ambang pintu. Adegan itu terulang-ulang seakan jadi film pendek eksklusif di benaknya.
Begitu sampai di rumah, Elang menaruh obeng di meja, lalu menjatuhkan diri ke kursi kayu dengan wajah berbinar. Tangannya terlipat di d**a, menatap langit-langit sambil tertawa kecil.
“Ah, Jayne … makin lama makin bikin penasaran. Kayak magnet, narik terus.”
Ia sempat mengusap wajahnya, menutupi senyum bodohnya sendiri. Dalam hati, Elang merasa obeng itu bukan sekadar benda. Ia jadi semacam “jembatan” kecil yang bikin dirinya punya alasan untuk kembali ke rumah Jayne. Ada perasaan nakal terselip: kalau setiap kali ia ketinggalan sesuatu di sana, mungkin ia bisa sering-sering kembali.
Namun, rasa percaya diri yang tadi mekar pelan-pelan berubah jadi ragu. Elang duduk tegak, meraih rokok dari meja, menyalakan, lalu menghembuskan asap pelan.
Meski begitu, detak jantungnya tidak bisa dibohongi. Malam itu, obeng kecil yang ia bawa pulang terasa jauh lebih berarti daripada sekadar perkakas murahan.