Weekend itu, suasana kompleks perumahan terasa lebih santai dari biasanya. Matahari pagi baru saja merangkak naik, menembus celah-celah dedaunan pohon ketapang yang berjajar di sepanjang jalan. Udara masih sejuk, dan aroma roti panggang dari dapur rumah Elang perlahan bercampur dengan wangi kopi yang baru diseduh.
Karena Kayla dan Ranu sama-sama mendapat tugas besar dari sekolah—membuat maket rumah adat untuk pameran budaya—Elang mengusulkan agar mereka mengerjakannya bersama di rumahnya. “Biar gampang koordinasinya,” katanya kemarin sore. “Dan kalau ada yang butuh dipotong pakai alat, aku punya di sini.”
Itu sebabnya, pagi-pagi sekali, Jayne sudah mengetuk pintu rumah Elang sambil menuntun Ranu yang masih setengah mengantuk tapi bersemangat. Tas besar berisi kardus, cat air, lem, dan gunting mereka bawa lengkap. Kayla sudah menunggu di ruang tengah, duduk di atas karpet dengan wajah antusias.
Rumah Elang pagi itu penuh suara riuh khas anak-anak. Di ruang tengah, Kayla duduk bersila sambil memegang gunting, lem kertas, dan kertas warna-warni. Di sebelahnya, Ranu dengan serius memegang penggaris dan spidol.
“Aunty Jayne, boleh bantuin potong yang ini?” Kayla menyodorkan pola kertas berbentuk rumah adat.
Jayne, yang sedang menyiapkan sarapan di dapur Elang—karena ia terbiasa tidak bisa diam kalau melihat orang bekerja—langsung menghampiri mereka dengan senyum hangat. “Boleh dong, ini tugas prakarya ya?”
“Iya,” jawab Ranu cepat. “Kita disuruh bikin maket rumah adat. Aku dapet Rumah Tongkonan. Kayla Rumah Gadang.”
“Wah, keren-keren. Terus ini nanti digabung jadi satu proyek?”
Kayla mengangguk, matanya berbinar. “Jadi pameran budaya di sekolah. Tiap kelompok bikin dua rumah adat, biar ada perbandingan. Boleh nggak bantuin bikin atapnya, Aunt? Aku susah banget bikin yang melengkung begini.”
Jayne duduk bersama mereka, mengambil potongan kardus kecil dan mulai mengukurnya sambil tersenyum. “Oke. Tapi kalian tetap yang kerjain ya. Aku cuma bantu bentuk. Ini proyek kalian, bukan Aunty Jayne.”
Kayla dan Ranu tertawa. Jayne mulai membimbing mereka, sesekali memperlihatkan cara membentuk atap dari kertas dan memberi ide pewarnaan agar lebih menarik.
“Ini warnanya cocok?” Ranu menunjukkan cat air merah dan hitam.
“Cocok banget. Rumah Tongkonan kan memang dominan merah, hitam, dan kuning emas. Bagus, kamu hafal.”
Ranu tersenyum bangga. “Aku nyari di internet semalam.”
Jayne mengacungkan jempol. “Pintar!”
Sementara itu, dari balik pintu, Elang memperhatikan mereka diam-diam. Ia bersandar sejenak di kusen pintu, memandangi pemandangan itu—dua anak yang serius mengerjakan tugas, dan Jayne yang duduk di tengah-tengah mereka, mengatur dengan sabar tanpa mengambil alih sepenuhnya. Ada sesuatu yang menghangatkan dadanya. Rumah ini sudah lama terasa terlalu sunyi. Kini, suara tawa anak-anak bercampur aroma kopi dan kertas baru dipotong.
Setelah beberapa menit, Elang masuk ke ruang tengah sambil membawa secangkir kopi. “Wah, rame banget. Kalian bikin proyek atau buka bengkel seni nih?”
Jayne tertawa kecil. “Kombinasi dua-duanya, kayaknya.”
“Bisa pesan satu buat pajangan ruang tamu?” goda Elang.
Kayla menjulurkan lidah. “Nggak bisa, ini harus dikumpul besok. Papa, bisa bantu Ranu bikin tiangnya?”
Elang meletakkan kopinya di meja kecil. “Bisa dong.”
Ia jongkok di sebelah Ranu, memeriksa rancangan tiang yang dibuat dari potongan stik es krim. “Kalau mau kuat, kita susun dua lapis, terus dilem silang. Jadi nggak gampang patah.”
Ranu mengangguk, meniru cara Elang menyusun potongan stik, matanya fokus.
Jayne memperhatikan dari tempatnya duduk, lalu tersenyum tipis. Ada sesuatu di cara Elang mengajar—tidak menggurui, tapi mengajak. Mungkin itu sebabnya Kayla tumbuh jadi anak yang percaya diri.
Waktu berlalu tanpa terasa. Di luar, matahari sudah naik tinggi. Jayne beberapa kali bolak-balik ke dapur untuk menyiapkan minuman dan camilan, sementara Elang dan anak-anak tetap sibuk dengan proyek.
Saat istirahat, mereka berkumpul di meja makan. Kayla mengunyah roti isi selai stroberi sambil menceritakan tentang pameran budaya yang akan digelar di aula sekolah. Ranu menambahkan detail tentang pembagian kelompok, sementara Elang sesekali melempar komentar ringan yang membuat mereka tertawa.
Bagi Jayne, pagi itu terasa seperti potongan kecil kehidupan yang damai. Tak ada pesan dari Reno. Tak ada rasa waspada berlebihan. Hanya suara riuh anak-anak dan percakapan ringan di antara orang-orang yang—entah sejak kapan—mulai terasa seperti keluarga.
Setelah makan, mereka kembali bekerja. Jayne membantu Kayla membentuk atap Rumah Gadang dengan teknik melengkung yang ia pelajari dari internet. Elang menyelesaikan tiang Rumah Tongkonan, lalu membantu Ranu menempelkan bagian dinding yang sudah diwarnai.
Sesekali, jari-jari mereka bersentuhan saat berebut mengambil gunting atau lem. Jayne pura-pura tak memperhatikan, tapi denyut kecil di dadanya tak bisa ia abaikan.
“Kayaknya, kalau semua selesai hari ini, kita bisa latihan presentasi besok,” kata Elang sambil menempelkan tiang terakhir.
Kayla bersorak, “Yay!”
Ranu mengangguk mantap. “Biar nggak gugup nanti.”
Jayne tersenyum. “Aku siap jadi penonton pertama.”
Mata Elang sekilas bertemu dengan matanya. Tatapan itu tak lama, tapi cukup untuk membuat Jayne merasa sesuatu yang asing tapi hangat menjalari dirinya.
Menjelang siang, ruang tengah benar-benar berubah menjadi ‘markas proyek’. Di atas karpet tergelar kardus bekas, potongan kertas warna, stik es krim, cat air, gunting, lem yang menempel di sana-sini, dan beberapa kuas kecil yang sudah mulai kaku karena cat mengering. Tapi tak satu pun dari mereka peduli soal kotor. Semua larut dalam proses, seolah waktu berjalan lebih pelan di ruangan itu.
Jayne duduk di antara Kayla dan Ranu. Terkadang ia membantu mereka mengecat sisi-sisi kecil yang sulit dijangkau, terkadang hanya mengawasi sambil menyeruput teh hangat yang ia letakkan di sebelah lututnya. Elang duduk bersila di seberang mereka, memotong tusuk sate dengan pisau cutter untuk membuat tiang Rumah Tongkonan Ranu. Gerakannya hati-hati, tapi sesekali ia melirik ke arah Jayne—entah untuk memastikan ia nyaman, atau sekadar karena sulit menahan pandang.
“Eh, miring tuh atapnya!” seru Kayla sambil menunjuk maket Ranu.
“Biarin,” jawab Ranu santai. “Namanya juga rumah artistik.”
Jayne tertawa kecil. “Artistik katanya.” Ia meraih atap mini itu, memperbaiki sedikit sudutnya sebelum menyerahkan kembali. “Nah, gini. Kalau mau artistik, miringnya diatur, bukan asal miring.”
“Berarti kayak rambut Papa kalau bangun tidur,” celetuk Kayla.
Elang pura-pura menghela napas berat. “Padahal Papa yang nyediain tempat kerja, loh.” Tapi sudut bibirnya tetap terangkat.
Tawa pecah lagi. Dari tawa itu, kehangatan tumbuh. Tidak ada jarak, tidak ada peran ‘orang asing’ lagi. Jayne tak lagi merasa seperti tamu. Ia bagian dari momen itu.
Ranu, yang biasanya pendiam, kali ini tampak lebih terbuka. Ia beberapa kali tertawa geli saat Jayne sengaja menyentuhkan kuas ke hidung Kayla yang terlalu heboh menjelaskan bentuk rumah Gadang.