Bukan Sekedar Tetangga Baru.

1087 Kata
Sampai— Klik. Lampu tiba-tiba menyala. Jayne terkejut dan langsung mundur dengan wajah memerah. Ia menunduk, merapikan rambutnya yang tak rapi karena gerakan spontan tadi. “Elang ... maaf, aku nggak sengaja,” gumamnya cepat, gugup. “Aku cuma mau ambil air minum tadi, terus—” Elang menoleh ke arah dapur, lalu kembali menatap Jayne. “Aku juga kaget. Tapi ... kamu nggak apa-apa?” Jayne mengangguk cepat. “Iya, aku nggak papa.” Mereka terdiam lagi. Canggung. Wajah Jayne masih merah, sementara Elang menyembunyikan senyum tipisnya dengan menggaruk tengkuk. “Aku ... pulang dulu, ya,” ucap Elang akhirnya, suaranya agak parau. Jayne mengangguk, masih menunduk. “Iya ....” Elang berjalan menuju pintu, lalu berhenti sejenak. Ia menoleh dan berkata pelan, “Jayne ... makasih untuk malam ini.” Jayne mengangkat wajah, matanya menatap pria itu sejenak, lalu tersenyum kecil. “Aku yang harusnya berterima kasih," balasnya sambil menggedikkan dagunya ke obat yang ada di atas meja. Pintu tertutup perlahan. Jayne menatap pintu itu lama, lalu menyentuh dadanya sendiri yang masih berdebar. “Apa barusan itu nyata?” bisiknya, nyaris tak terdengar oleh dirinya sendiri. *** Matahari belum tinggi ketika Jayne berdiri di dapur kecil rumah mereka, memasukkan sepotong roti isi telur ke dalam kotak makan anaknya. Wangi telur dan mentega menguar hangat, namun pagi itu terasa sedikit lebih sepi. Ranu duduk di kursi makan sambil mengayun-ayunkan kakinya pelan. Wajahnya tenang, tapi Jayne menangkap ketegangan kecil yang tersembunyi di balik senyum anak lima tahunnya itu. Siulan pelan yang keluar dari bibir mungilnya terdengar seperti usaha untuk menenangkan diri. “Ranu ...,” panggil Jayne lembut. “Iya, Ma?” jawab Ranu sambil mencoba tersenyum. Jayne berjalan mendekat, lalu jongkok di hadapannya, menatap mata bening itu dengan penuh perhatian. “Kamu yakin mau sekolah hari ini? Mama bisa bilang ke Bu Irma, minta izin kamu istirahat sehari lagi. Kaki kamu belum pulih betul.” Ranu menggeleng kecil. “Aku udah kuat, Ma. Kayla pasti udah nungguin.” Jayne mengusap kepala anaknya pelan. Ada rasa haru sekaligus bersalah yang menggumpal di dadanya. Betapa cepat Ranu berusaha jadi anak yang kuat, padahal usianya belum genap enam tahun. Ia terlalu muda untuk memahami patah hati, tapi cukup peka untuk menyadari kalau dunianya sedang berubah. Tak lama kemudian, suara klakson terdengar dari luar. Jayne melongok ke balik tirai jendela. Mobil SUV hitam milik Elang sudah terparkir di depan rumah. Pria itu keluar dan menunggu di sisi pintu depan, mengenakan kemeja abu muda yang lengan panjangnya digulung rapi. Jayne sempat merasa canggung. Tapi tatapan Elang ramah, tak berusaha menembus batas yang belum siap ia buka. “Siap, Kapten?” sapa Elang sambil mencondongkan badan sedikit ke arah Ranu yang baru keluar rumah. “Siap, Om!” sahut Ranu dengan semangat. Kayla sudah menunggu di jok belakang. “Ayo cepet, duduk sebelah aku, Nu!” Jayne tersenyum melihat keakraban mereka. Dua anak kecil yang baru kenal sehari, tapi sudah seperti sahabat lama. Ia ikut masuk dan duduk di depan, di samping Elang. Di dalam mobil, suasana jadi cair. Kayla, seperti biasa, mulai bercerita. Tentang teman kelas yang kocak, tentang gurunya yang kadang ngomongnya cepet kayak kereta, bahkan soal bekal makanannya hari ini yang katanya lebih enak daripada kemarin. “Nu, kamu suka ayam goreng nggak?” tanya Kayla tiba-tiba. “Suka.” “Wah cocok! Nanti kita tukeran lauk ya. Tapi kamu jangan kasih aku tomat. Aku benci tomat.” Ranu tertawa. “Aku juga nggak suka tomat.” “Yeay! Kita anti tomat!” Suara mereka memenuhi kabin mobil. Tawa Ranu terdengar ringan—dan untuk Jayne, itu adalah musik paling indah pagi itu. Elang melirik sekilas ke arah kaca spion tengah, lalu ke Jayne. “Kayla seneng banget punya teman baru.” Jayne mengangguk pelan. “Ranu juga. Terima kasih udah bantuin dia merasa diterima.” Elang hanya tersenyum, tidak membalas dengan kata-kata. Tapi dalam diam itu, ada penghargaan yang tersirat. Setibanya di sekolah, Kayla menggandeng tangan Ranu. Mereka berjalan pelan memasuki gerbang, Kayla tak berhenti mengoceh seperti pemandu pribadi. Jayne dan Elang menyusul perlahan dari belakang, berdiri di sisi taman kecil dekat lapangan bermain. “Kayla itu, kalau udah cocok sama orang, bisa nempel banget,” kata Elang sambil melipat tangan. “Tapi kalau nggak suka, langsung diam. Ranu termasuk langka, bisa tembus hatinya.” Jayne tertawa pelan. “Itu anugerah buat Ranu. Dia butuh teman sekarang.” Elang menoleh padanya. “Kita semua butuh teman, Jayne. Bahkan orang dewasa.” Jayne sempat menatapnya, lalu cepat-cepat mengalihkan pandangan. Ia tidak ingin terlalu cepat larut dalam percakapan yang terasa... terlalu nyaman. Di kelas, Ranu mulai menemukan dunianya. Kayla memperkenalkannya pada teman-teman satu kelompok: Dita, si kutu buku mungil yang ternyata doyan komik Jepang, dan Gilang, bocah besar dengan suara keras tapi takut kucing. “Aku punya dua kucing di rumah,” ujar Ranu saat mereka sedang menggambar bersama. Gilang langsung membeku. “Serius?! Jangan bawa ke sekolah ya. Aku takut ....” “Tenang, itu cuma boneka kok,” jawab Ranu sambil tertawa kecil. Yang lain ikut tertawa. Ranu ikut tertawa. Untuk pertama kalinya, ia tidak merasa asing. Sore harinya, saat mobil meluncur kembali ke kompleks perumahan, Jayne tak henti-hentinya menoleh ke belakang. “Gimana hari ini, Nak?” “Seru, Ma. Kayla baik banget. Teman-teman juga lucu-lucu.” “Kayla tuh emang keren!” Kayla menepuk dadanya bangga. “Aku bakal jagain Ranu terus deh.” Jayne menoleh ke Elang. “Terima kasih. Kalau bukan karena kamu dan Kayla ... aku nggak tahu Ranu bakal senyaman ini.” Elang hanya mengangkat bahu. “Kita bantu sebisanya aja. Anak-anak cepat akrab. Beda sama orang dewasa ... yang kadang terlalu banyak mikir.” Jayne tersenyum samar. Tapi di dalam hatinya, ia tahu Elang benar. Ia terlalu banyak berpikir. Terlalu hati-hati. Mungkin, sesekali, tak apa melepas kendali. *** Malam harinya, Jayne masuk ke kamar Ranu. Bocah itu sudah siap tidur, memeluk boneka kucing kesayangannya. Jayne duduk di pinggir ranjang, membelai rambut anak itu dengan lembut. “Terima kasih ya, Sayang ... udah jadi anak kuat.” Ranu membuka mata pelan dan tersenyum. “Mama juga kuat, kok.” Jayne hampir menangis. Ia menunduk, mengecup kening anak itu. “Mama cuma pengen kamu bahagia.” “Aku udah mulai bahagia, Ma. Beneran.” Jayne mengangguk. Dan saat ia keluar dari kamar malam itu, ada sesuatu yang berubah di dalam dirinya—ketenangan yang lama hilang, perlahan kembali. Rumah kecil itu tak lagi terasa seperti pelarian. Untuk pertama kalinya, rumah itu terasa seperti rumah. Dan mungkin ... Elang Mahadewa bukan hanya sekadar tetangga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN