Butuh Teman.

1162 Kata
“Rumah kita sebelahan. Dan Ranu masih sakit kakinya,” tambah Elang, nadanya ringan. “Sekalian, Kayla juga bisa bareng temannya.” Jayne menunduk melihat Ranu, yang tampak antusias—meski mencoba menyembunyikannya. “Kita naik mobil Om Elang aja, Ma?” bisik Ranu, pelan. Jayne mengangguk pelan. “Oke … kalau nggak merepotkan.” “Enggak sama sekali,” jawab Elang sambil tersenyum tipis. “Yuk.” *** Mobil melaju pelan keluar dari area sekolah. Jalanan yang mulai lengang dan pohon-pohon di pinggir jalan menciptakan bayangan panjang yang bergoyang di jendela. Tak ada yang terburu-buru. Segalanya terasa tenang—bahkan sedikit nyaman. Jayne duduk diam di kursi belakang, lengan kanannya memeluk Ranu yang bersandar ringan di sisi tubuhnya. Anak itu terlihat mulai mengantuk. Sementara itu, di kursi depan, Kayla sibuk berceloteh pada ayahnya—tentang sekolah, tentang snack favoritnya, dan tentang rencana membawa komik untuk dibaca bersama Ranu besok. “Ayah, besok aku bawa ‘Si Kucing Ninja’ ya? Ranu pasti suka. Gambarnya lucu banget!” “Boleh. Tapi jangan baca pas jam pelajaran, ya?” jawab Elang dengan senyum di sudut bibirnya. Kayla mengangkat dua jari. “Janji!” Jayne menatap punggung Elang sekilas. Nada suara pria itu terdengar ringan, tapi caranya merespons Kayla terasa sangat hadir. Penuh perhatian, tidak terburu-buru. Dan itu—entah kenapa—membuat Jayne merasa aneh. Aneh karena nyaman. Tak lama, mobil mulai berbelok memasuki jalan kecil menuju kompleks rumah mereka. “Udah sampai,” kata Elang singkat, sambil melirik ke kaca spion tengah. “Cepet banget,” gumam Jayne lebih kepada dirinya sendiri. Ia bahkan belum sempat mengajak bicara lebih dari satu kalimat. Mobil melambat, lalu berhenti tepat di depan dua rumah yang berdampingan. Jayne membuka pintu dan turun lebih dulu, lalu membantu Ranu turun perlahan. Anak itu sedikit terpincang, tapi masih bersemangat. Kayla langsung menyusul dan memegangi lengan Ranu seperti pelindung kecil. “Yuk, Nu! Besok main lagi ya!” “Iya,” jawab Ranu pelan, tersenyum. Jayne menoleh pada Elang yang kini berdiri di sisi mobil. “Terima kasih banget ya, udah repot-repot anterin.” “Enggak repot sama sekali,” jawab Elang sambil menatap Jayne dengan pandangan tenang. “Lagipula rumah kita sebelahan. Nggak ada bedanya sama ngantar anak sendiri.” Jayne terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Tetap aja, aku berterima kasih.” Elang tersenyum tipis. “Kalau besok butuh bareng lagi, tinggal bilang aja.” Jayne mengangguk sekali lagi. “Kita lihat nanti, ya.” Kayla sudah menarik Ranu ke arah pagar rumah, lalu menoleh pada ayahnya. “Pa! Aku antar Ranu dulu ya!” “Oke, tapi jangan kelamaan. Ranu perlu istirahat, kamu juga.” Anak-anak itu berjalan pelan ke depan teras rumah Jayne, masih mengobrol soal makanan dan rencana menggambar bersama besok pagi. Jayne sempat memandangi mereka dengan senyum lembut. Elang berdiri di dekat mobilnya, belum buru-buru masuk. “Ranu anak yang kuat,” katanya pelan. Jayne menoleh. “Iya. Kadang ... aku lupa kalau dia masih lima tahun.” “Elang juga,” Jayne menambahkan, lalu langsung menyadari kekeliruannya. “Maksudku … Kayla juga.” Elang tertawa pelan. “Namanya juga orangtua. Sering keliru ngomong karena terlalu banyak mikir.” Jayne menahan tawa kecil, lalu berkata, “Makasih, Elang. Kayla ... dan kamu, banyak bantu.” Tatapan mereka saling bertemu sebentar. Ada hening yang menggantung, tapi bukan hening yang canggung. Lebih seperti ... jeda. Ruang kecil untuk sesuatu yang belum tahu akan dibawa ke mana. Jayne kemudian melangkah menyusul anak-anaknya, sementara Elang kembali ke mobilnya. Tapi sebelum masuk, pria itu sempat menatap punggung Jayne sekali lagi—dan untuk sesaat, ia tampak berpikir. Sore itu, dua rumah berdampingan menyambut dua keluarga kecil dengan cerita masing-masing. Dan entah dari mana datangnya, perlahan, halaman depan itu mulai terasa seperti bagian dari awal yang baru. *** Ruang kerja Elang hanya diterangi lampu meja. Jam dinding sudah menunjukkan hampir pukul sepuluh malam, tapi pria itu belum juga beranjak tidur. Kacamata bulat tipis bertengger di batang hidungnya, sementara berlembar-lembar laporan rumah sakit masih berserakan di atas meja. Namun, sudah hampir dua puluh menit terakhir, tak satu pun angka atau catatan medis yang bisa meresap ke dalam otaknya. Pikirannya terus kembali ke dua sosok—yang baru saja ia temui beberapa jam lalu. Jayne ... dan anak kecil itu, Ranu. Suara tangis tertahan Ranu saat ia memegangi pergelangan kakinya masih terngiang di telinga Elang. Dan Jayne—tatapan was-was tapi ditutupi paksa dengan senyum tipis saat menggendong putranya. Perempuan itu jelas sedang berjuang keras, tapi tidak ingin terlihat lemah di depan siapa pun. Termasuk di depan anaknya sendiri. Elang menghela napas. Ia menurunkan kacamatanya, menatap kosong ke arah jendela besar di belakang meja. Kenapa mereka tinggal berdua? pikirnya. Mana ayah anak itu? Atau suami Jayne? Ia menahan godaan untuk mencari tahu melalui jalur sekolah. Data Ranu pasti tercatat. Tapi itu bukan sikap profesional. Lagipula, mereka baru pertama kali bertemu. Namun rasa penasarannya tumbuh. Bukan hanya karena Jayne adalah wanita yang menarik secara fisik—tapi ada sesuatu yang membuatnya sulit untuk tidak peduli. Cara Jayne menunduk saat bicara. Cara bahunya tegang, seolah menahan beban tak terlihat. Dan Ranu … anak itu terlalu pendiam untuk bocah seusianya. Tatapannya selalu sejenak menatap, lalu cepat-cepat menunduk. Seolah takut membuat kesalahan hanya karena terlalu lama melihat orang dewasa. "Apa yang sebenarnya sudah mereka lewati ...?" Pertanyaan itu bergema dalam benaknya. Ia menatap tumpukan laporan lagi, lalu menutupnya. Malam ini, otaknya tak bisa fokus pada dunia medis. Terlalu banyak tanda tanya, dan entah kenapa—ia ingin tahu jawabannya. Bukan karena penasaran semata. Tapi karena ada suara di hatinya yang berbisik: Mereka butuh bantuan, meski tidak akan pernah memintanya. Dan entah kenapa … Elang ingin jadi orang yang ada di sana, saat mereka akhirnya butuh sandaran. *** Malam hari, rumah Jayne. Jayne sudah mengolesi obat di lutut Ranu dan menidurkannya. Lampu rumah temaram, tinggal lampu dapur dan ruang tamu yang menyala lembut. Tok tok tok. Jayne kaget. Siapa malam-malam begini? Ia mengintip dari jendela. Sosok tinggi dengan kaos dan celana pendek berdiri di depan pagar. Elang. Pria itu terlihat lebih santai dengan pakaian rumah. Jayne membukakan pintu, masih mengenakan daster sederhana, rambut digelung asal. Elang: "Maaf mengganggu malam-malam. Aku khawatir Ranu demam. Ini obat penahan rasa sakit dan penurun panas. Aku lupa nitip ke kamu tadi." Jayne terlihat terkejut, tapi mempersilakan Elang masuk. Di ruang tamu, Elang duduk sambil menatap sekeliling rumah yang masih banyak kosong di beberapa bagian namun masih terasa hangat. "Ranu sudah tidur?" tanya Elang. Jayne mengangguk, "Tadi sempat ngeluh kakinya nyeri. Tapi sekarang sudah tidur." Ada hening sesaat. Mata mereka bertemu. "Terima kasih... sudah repot-repot datang." "Nggak apa-apa. Aku ... khawatir aja." Tiba-tiba suara petir menggelegar. Listrik mati. Gelap. Jayne spontan berdiri, hampir terpeleset, tapi Elang refleks menangkapnya. Dalam kegelapan, wajah mereka hanya berjarak beberapa senti. Nafas Jayne tercekat. Jayne bisa merasakan hangatnya napas Elang menyentuh pipinya. Degup jantungnya menggila, begitu pula dengan detak milik pria itu yang beradu pelan di d**a tempat tangannya bersandar. Sesaat, tak ada yang bergerak. Hanya hening. Dan napas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN