Elang Mahadewa.

1064 Kata
Jayne berdiri beberapa saat, matanya melekat pada Ranu yang kini sedang dibantu Kayla menggantungkan tas di gantungan kecil bergambar binatang. Sebuah suara lembut menyapanya dari samping. "Permisi, Ibu ... Anda orangtua murid baru, ya?" Jayne menoleh. Seorang perempuan mengenakan blouse dan celana bahan rapi berdiri dengan senyum ramah. Ia tampak seperti guru TK—dengan name tag kecil tergantung di dadanya bertuliskan Ibu Irma. "Iya, saya ibunya Ranu ...," jawab Jayne sedikit gugup, sadar penampilannya mungkin terlalu mencolok untuk suasana sekolah: blouse putih anggun, celana panjang krem, dan makeup natural namun tetap elegan. "Wah, pantes saja saya belum pernah lihat sebelumnya. Ranu langsung dekat sekali sama Kayla, ya. Jarang-jarang Kayla secepat itu akrab sama anak baru." Jayne tersenyum, matanya melirik ke arah dua anak itu yang kini duduk berdampingan di atas kursi, mendengarkan guru lain membacakan cerita. "Mereka memang cepat akrab," ucap Jayne pelan. "Saya juga baru pindah ke sini, jadi semuanya masih baru bagi kami." Ibu Irma menangguk. "Kayla itu anak yang cerdas dan sensitif. Biasanya yang mengantar dia itu ayahnya—Pak Elang Mahadewa. Tapi minggu-minggu ini katanya sedang tugas luar kota, jadi pengasuhnya yang antar." Jayne menahan ekspresi. Nama itu baru saja disebut, dan entah kenapa, membuat hatinya seperti dicekam rasa penasaran aneh. "Pak Elang Mahadewa?" Jayne mencoba bersikap santai, padahal namanya membuat dadanya berdebar tanpa sebab. "Iya. Beliau biasanya datang pagi-pagi. Orangnya tenang, kalem, tapi selalu memperhatikan Kayla. Ada aura ... gimana ya, seperti ayah yang sangat protektif. Tapi tetap ramah ke kami para guru." Jayne mengangguk kecil. Dalam bayangannya mulai tergambar sosok Elang—kalem, dingin, protektif. Dan nama itu, Mahadewa, bukan nama biasa. "Kayla sangat sayang ayahnya. Setiap menggambar, pasti selalu ada gambar laki-laki tinggi dengan rambut hitam dan jas." Jayne menahan napas. Ia membayangkan Ranu menggambar sosok laki-laki dalam lukisan anak-anak. Mungkin suatu hari, ia ingin melihat apakah Ranu menggambar sesuatu tentang ayahnya juga. "Kalau Ranu baru masuk, perlu waktu adaptasi. Tapi dengan Kayla sebagai teman pertamanya, saya yakin akan cepat nyaman. Kami juga sangat terbuka kalau Ibu ingin ikut kegiatan sekolah, atau datang ke sesi parenting minggu depan." Jayne mengangguk. "Terima kasih, Bu Irma. Saya akan usahakan datang." Dari kejauhan, Kayla melambaikan tangan sambil tersenyum lebar ke arah Jayne, lalu menarik tangan Ranu agar melambaikan juga. Ranu tampak malu-malu tapi akhirnya ikut melambaikan tangan ke ibunya. Jayne melambaikan tangan balik, namun ada semburat haru di matanya. "Izin saya pamit dulu, Bu Irma," katanya akhirnya. "Silakan, Bu. Senang bisa kenalan. Sampai jumpa!" balas guru itu ramah. Saat Jayne berjalan meninggalkan sekolah, langkahnya pelan dan pikirannya penuh bayangan—tentang seorang pria bernama Elang Mahadewa, tentang Kayla yang ceria, dan tentang Ranu yang kini punya tempat baru untuk tumbuh. Namun satu hal yang membuatnya terdiam lama: dunia ini begitu kecil. Dan pertemuan dengan Elang ... sepertinya tinggal menunggu waktu. *** Jam baru menunjukkan pukul sembilan ketika telepon dari sekolah masuk ke ponsel Jayne. Suaranya langsung bergetar saat guru di seberang menyampaikan bahwa Ranu terjatuh saat bermain, dan kini sedang ditangani di klinik sekolah. Jayne nyaris tak sempat mengganti baju. Ia langsung melesat keluar rumah, hanya memakai sweater tipis dan celana panjang kasual. Nafasnya memburu ketika tiba di sekolah, dan langsung diarahkan oleh petugas ke ruang UKS yang berada di sisi belakang taman bermain. Jayne mendorong pintu klinik perlahan, dan langkahnya terhenti saat melihat seseorang tengah berjongkok di sisi ranjang, memegangi kompres dingin ke lutut Ranu. Seorang pria tinggi, berpakaian rapi dengan kemeja putih yang lengannya sudah dilipat, dasinya sedikit longgar. Wajahnya tenang tapi serius—pria asing yang tidak terlihat asing. Bukan karena mereka pernah bertemu, tapi karena ada sesuatu dalam sorot matanya yang memunculkan rasa waspada … sekaligus penasaran. Jayne menegakkan tubuh. “Permisi .…” Pria itu menoleh, dan mata mereka bertemu untuk pertama kalinya. “Bu Jayne?” tanyanya pelan, sopan. Suaranya dalam, sedikit serak, tapi tidak mengintimidasi. “Iya. Saya ibunya Ranu,” jawab Jayne sambil melangkah cepat mendekati putranya. “Anda …?” “Saya Elang Mahadewa. Ayahnya Kayla,” jawab pria itu sambil berdiri, memberi ruang. “Kebetulan saya duduk di taman depan saat Ranu jatuh. Saya langsung bawa ke sini.” Jayne menatapnya penuh keraguan. Tapi sebelum ia bisa bertanya lebih jauh, Ranu berseru, “Ma, Om Elang baik, lho. Dia yang gendong aku!” Jayne menghela napas pelan, lalu menunduk memeriksa lutut anaknya yang sudah dibalut rapi. “Terima kasih … sudah bantuin anak saya.” “Sama-sama,” jawab Elang singkat. Senyum tipisnya sekilas membuat Jayne makin bingung harus menaruh perasaan di mana—apakah ia harus curiga … atau berterima kasih. Pria ini masih asing baginya. Tapi sesuatu dalam cara bicaranya terasa jujur. Bukan basa-basi yang dibuat-buat. Jayne melangkah pelan ke arah anaknya. Ranu langsung merentangkan tangan. “Ma .…” Jayne mendekat, memeluknya erat. “Sakit banget?” tanyanya lembut. “Udah enggak. Om Elang bantuin,” jawab Ranu polos. Jayne mengangguk pelan. Rasa canggung menjalari udara, seperti dua orang dewasa yang saling menjaga agar tidak membuka terlalu banyak—terlalu cepat. Tiba-tiba seorang guru masuk, wajahnya lega melihat Jayne sudah tiba. “Bu Jayne, terima kasih sudah datang cepat. Ranu sudah jauh lebih baik. Dan kami bersyukur sekali Ayahnya Kayla ada di sana saat kejadian. Tuan Elang cepat tanggap.” Jayne melirik Elang yang hanya membalas pujian itu dengan senyum kecil, lalu kembali merapikan lengan kemejanya yang dilipat. Ia tampak seperti pria kantoran yang baru turun dari kereta cepat—rapi tapi lelah, dan entah kenapa … Jayne merasa, mungkin dia juga menyimpan sesuatu yang tidak ingin dibagi pada siapa pun. Ranu turun dari ranjang perlahan, masih meringis. “Aku bisa jalan, Ma,” katanya bersemangat. “Pelan-pelan aja, Sayang,” Jayne menggandeng tangan anaknya, kemudian melirik ke arah Elang satu kali lagi. “Sekali lagi, terima kasih.” “Sama-sama,” jawab Elang tenang. Jayne tersenyum samar, lalu melangkah menuju pintu keluar bersama Ranu. Tapi di dalam hatinya, ada sesuatu yang berbeda. Ada sesuatu yang pelan-pelan mulai bergerak. Dan itu datang dari pria bernama Elang Mahadewa. Langkah Jayne hampir menyentuh ambang pintu saat suara Elang terdengar lagi dari belakang. “Jayne,” panggilnya singkat. Jayne menoleh. “Elang?” Ia menatapnya, sedikit heran. Elang berdiri tegak di dekat pintu, satu tangan di saku celana, satu lagi memegang tas kecil Kayla. “Kamu jalan kaki tadi, kan?” tanyanya, datar tapi jelas. “Mobilku di parkiran. Mau bareng pulang?” Jayne mengerjap, kaget oleh tawaran itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN