Jayne dan Ranu akhirnya memilih taman kanak-kanak yang terletak tak jauh dari rumah mereka yang baru. TK itu berada di dalam komplek perumahan elit yang tenang dan rindang, hanya berjarak lima menit berjalan kaki dari rumah. Sekolahnya tampak bersih, berwarna cerah, dengan taman bermain yang luas dan guru-guru yang menyambut hangat. Akreditasinya A, fasilitasnya modern, dan yang terpenting bagi Jayne—lingkungannya aman.
Bukan hanya rumah yang berpindah, tapi dunia kecil Ranu juga ikut bergeser. Ia harus meninggalkan sekolah lamanya, teman-temannya, dan ruang kelas yang sudah ia hapal sudut-sudutnya.
Pagi itu, Jayne duduk di samping Ranu yang masih meringkuk di dalam selimut. Tangan kecil Ranu memeluk boneka panda yang mulai lusuh di pelukannya.
“Ranu .…” Jayne mengelus kepala anaknya dengan lembut. “Hari ini kita lihat-lihat sekolah baru, ya?”
Ranu tidak langsung menjawab. Bola matanya hanya menatap lurus ke langit-langit kamar. Bibir mungilnya mencibir sedikit. Jayne bisa menebak, ada rasa berat yang belum bisa Ranu ungkapkan.
“Teman-teman aku … di sana semua,” gumam Ranu akhirnya, pelan.
Jayne menarik napas panjang. Ia tahu ini bukan sekadar tentang sekolah. Ini tentang kehilangan—tentang harus mengucapkan selamat tinggal pada sesuatu yang sudah nyaman.
“Iya, Mama tahu. Tapi sekolah yang ini juga bagus, Sayang. Nanti kamu juga bisa punya teman-teman baru.”
Ranu menggeleng pelan. “Aku takut. Nanti mereka nggak mau temenan sama aku .…”
Jayne tersenyum sabar, lalu menarik tubuh kecil itu ke dalam pelukannya. “Ranu anak baik. Ranu pintar, ramah, dan sopan. Kalau ada yang nggak mau temenan sama Ranu, berarti mereka yang rugi.”
Ranu tertawa kecil, masih dalam pelukan ibunya. “Benarkah?”
“Benar,” Jayne mengangguk mantap. “Mama juga bakal ikut kamu ke sekolah hari pertama. Nggak langsung ditinggal, kok.”
Mata Ranu berbinar sedikit, walau bayangan kecemasan belum sepenuhnya hilang.
“Apakah sekolahnya ada perosotan warna merah, seperti di sekolah lama?” tanyanya penuh harap.
Jayne tersenyum. “Ada. Bahkan lebih panjang dan ada rumah pohonnya juga.”
Wajah Ranu perlahan berubah lebih cerah. Ia duduk tegak, lalu memeluk erat boneka pandanya. “Kalau begitu … aku mau coba. Tapi Mama janji temani sampai aku kenal satu teman.”
Jayne mengangguk, menahan senyum haru. “Janji.”
Perasaan Jayne campur aduk. Di satu sisi, ia lega Ranu bersedia mencoba. Di sisi lain, hatinya pedih karena anak sekecil itu sudah harus beradaptasi dengan perubahan besar. Namun Jayne tahu, justru di titik-titik seperti inilah, Ranu belajar menjadi kuat. Dan Jayne bertekad untuk selalu ada di sisinya, sepanjang perjalanan itu.
***
Jayne duduk di meja makan kecil bersama Ranu. Sinar matahari malu-malu menembus langit kelabu, menyelinap masuk lewat jendela dapur yang berembun. Di hadapan mereka, dua piring roti panggang dan dua cangkir cokelat hangat mengepulkan aroma manis.
"Ma, nanti sekolahnya jauh nggak?" tanya Ranu sambil mengunyah pelan. Wajahnya masih setengah mengantuk.
“Enggak, kok. Dekat banget. Jalan kaki juga sampai,” jawab Jayne, membelai rambut anaknya.
Ranu mengangguk pelan. “Kalau temannya nggak baik-baik gimana?”
Jayne tersenyum. Ia tahu, Ranu bukan takut pada bangunan baru, tapi pada hal-hal tak terlihat: penolakan, kesepian, perasaan asing.
“Kamu akan ketemu banyak teman baik. Kamu cukup jadi diri kamu sendiri. Nanti juga mereka senang main sama kamu.”
Ranu menatap ibunya, mencoba percaya.
Tiba-tiba, terdengar ketukan pelan di pintu depan. Jayne berdiri, sedikit terkejut. Belum pernah ada yang datang pagi-pagi begini sejak mereka pindah.
Saat membuka pintu, ia mendapati seorang wanita muda berdiri dengan senyum sopan. Usianya sekitar awal 30-an, mengenakan blazer tipis dan sepatu flat. Di sebelahnya, berdiri seorang anak perempuan seusia Ranu, mengenakan seragam TK yang sama. Rambutnya dikuncir dua, dan di tangannya ada kotak kecil berhiaskan pita merah muda.
“Selamat pagi,” sapa si wanita dewasa. “Maaf mengganggu. Saya pengasuh Kayla, ini Nona kecil yang ingin sekali menyapa tetangga barunya. Dia lihat ada anak kecil dari jendela kamarnya, dan sejak itu nggak sabar mau kenalan.”
Si kecil langsung maju selangkah, tanpa ragu, menyodorkan kotak kue ke Jayne. “Aku Kayla Mahadewa. Ini brownies buat Aunty dan temanku yang baru.”
Jayne tersenyum hangat, terkejut sekaligus terhibur. Ia berjongkok untuk menyambut Kayla. “Terima kasih, Kayla. Aku Jayne. Ini Ranu, anakku.”
Ranu muncul dari balik pintu, berdiri di samping ibunya dengan mata penasaran.
“Hi!” sapa Kayla ceria, melambai ke arah Ranu. “Kamu sekolah di TK Pelita juga?”
Ranu mengangguk. “Iya, mau mulai hari ini.”
“Wah, sama! Aku juga sekolah di sana. Aku tunjukin ayunan yang paling tinggi, ya!”
Jayne dan pengasuh Kayla tertawa kecil melihat semangat gadis kecil itu.
“Papanya Kayla sedang dinas luar kota,” ujar sang pengasuh, sopan. “Jadi dia sering lihat keluar jendela dari lantai atas. Mungkin karena seumuran, dia langsung tertarik.”
Jayne mengangguk, hatinya sedikit hangat. Setelah hari-hari berat penuh ketegangan, perkenalan pagi ini seperti suntikan kecil kebahagiaan.
“Boleh kami ikut kalian ke sekolah hari ini?” tanya Jayne, menoleh pada pengasuh Kayla.
“Tentu saja,” jawabnya ramah. “Akan lebih menyenangkan mereka berangkat bersama.”
***
Beberapa menit kemudian, mereka berjalan beriringan menyusuri trotoar kompleks yang bersih. Ranu dan Kayla berjalan di depan, saling membandingkan tas dan botol minum. Tawa mereka sesekali pecah, membuat Jayne tersenyum sendiri.
“Dia lucu ya, Ma,” kata Ranu lirih ketika Kayla menyalipnya sambil berlari kecil.
“Lucu banget. Kamu senang punya teman baru?”
Ranu mengangguk. “Aku nggak takut sekolah lagi. Karena ada dia.”
Jayne menatap langit yang mulai cerah. Meskipun jalannya masih panjang, setidaknya hari ini dimulai dengan tawa anaknya. Dan bagi Jayne, itu cukup untuk membuat hidup terasa layak diperjuangkan lagi.
***
Menurut Jayne jarak rumah dan sekolah terlalu dekat jika memakai mobil tapi lumayan jauh jika berjalan kaki, tapi untuk anak seusia Ranu jarak itu tidak terasa.
Ranu mengenakan seragam TK warna putih dengan celana pendek kotak-kotak, sementara Kayla tampak cantik dengan dress seragam yang serupa. Tangan mungil mereka saling menggenggam sejak melangkah keluar dari rumah.
Sepanjang jalan Kayla mengajari Ranu lagu-lagu pendek yang biasa dinyanyikan di kelas, dan Ranu langsung mengikutinya dengan semangat.
"Kayla, nanti kita main pasir, ya?" tanya Ranu.
"Main masak-masakan juga! Aku bawa sendok mainan," balas Kayla.
Jayne membungkuk, memperbaiki tali sepatu Ranu, lalu mengecup kening anaknya dengan lembut.
"Jangan nakal, ya. Dengerin Bu Guru," pesan Jayne.
"Siap!" seru Ranu sambil memberi hormat, membuat Jayne dan Kayla terkikik.
Sampai di depan gerbang sekolah TK itu, Jayne mengantar sampai pagar. Ia menyaksikan dua anak itu masuk ke halaman sekolah, bergabung dengan anak-anak lain yang sudah sibuk bermain, saling mengejar, atau duduk melingkar.