4. Harapan Keluarga Han

1863 Kata
Hanya butuh satu jam perjalanan dari rumah nya dan kini Anya sudah berdiri di depan rumah besar Keluarga Han. Jantungnya mulai berdebar debar diikuti perasaan yang bercampur aduk. Sarapan yang di makannya tadi pagi seakan muncul lagi naik ke tenggorokannya. Tangannya menggenggam gagang koper miliknya sementara mata besarnya membelalak melihat bangunan yang ada di hadapannya. Rumah megah itu terlihat bagaikan sesuatu yang keluar dari buku-buku dongeng yang dibacanya bersama Mei ketika masih kecil.  Pintu kayu yang menghiasi rumah itu menjulang tinggi hingga ke atas membuatnya terlihat lebih seperti sebuah gerbang istana daripada pintu rumah. Anya berdiri kebingungan sesaat di depan pintu sebelum tiba tiba pintu terbuka mengagetkannya. Seorang wanita yang sepertinya adalah kepala pelayan kediaman Han muncul dari balik pintu. “Kau pasti Nona Li.” Sapa Tina Huang dengan kepala tegak. Seragam yang di pakainya tampak licin tanpa kerutan sementara rambutnya tersisir rapi kedalam konde di belakang kepalanya. “Kau bisa memanggilku dengan sebutan Bibi Huang. Masuklah. Aku sudah menyiapkan kamar untukmu.” Anya memandang wajah lonjong Tina huang dengan mata lebarnya. Berumur sekitar 50 an tahun dan bermata sipit, wanita itu memiliki wajah yang judes dengan rambut yang sedikit beruban. “Uh..Te..terima kasih.” Jawab Anya terbata-bata dan berjalan mengikuti wanita itu. Tina Huang mengantar Anya melewati ruangan demi ruangan yang terisi barang-barang mewah, hingga tiba ke pintu teras belakang. Langkahnya panjang dan terburu buru mengingat masih banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan. Apalagi ini sudah mendekati jam makan siang sementara ia belum menata meja makan. Bunyi suara gemerincing kunci yang ada di sakunya terdengar di tiap langkah wanita itu, mengingatkan Anya akan sebuah film horor yang pernah ditontonnya bersama Mei. Tentang seorang suster muda yang dihantui oleh arwah penasaran dalam gerejanya. “Berjalanlah lebih cepat, Nona Li. Aku tidak mau kehilangan dirimu.” Ucap Tina ketika menemukan gadis yang mengikutinya itu kini berdiri terbengong-bengong menatap ke arah plafon ruangan yang memang dihiasi oleh sebuah lampu kristal yang menjuntai hingga dua meter kebawah. Model yang sering kau lihat di dalam hotel megah. “Kau tahukan kalau kita tidak sedang mengikuti tur di musium,kan?” Lanjutnya setengah kesal karena harus berhenti. “Oh..tentu saja. Maafkan aku.” Jawab Anya sambil mempercepat langkahnya mengikuti Tina. Menyeret koper beroda yang dibawanya di belakang. “Ada dua gedung di rumah ini. Gedung di depan ditinggali oleh Keluarga besar Han, dan gedung kedua di belakang adalah dapur dengan kamar di atasnya untuk yang dipakai oleh staf dan dirimu selama menginap di sini.” Ucap Tina menjelaskan tanpa memperlambat langkahnya. Mereka terus berjalan melewati pintu belakang hingga keluar dari gedung utama. Sebuah kebun seluas lapangan sepak bola dengan rumput yang terpotong rapi membentang lebar diantara kedua gedung. Sebuah pohon lemon yang sedang berbuah kuning berdiri ditengah taman, dikelilingi oleh kolam ikan koi berair jernih. Suara gemericik air mancur terdengar di satu sudut kolam terdengar sangat menenangkan di telinga Anya. Tina menarik pintu gedung kedua yang lebih sederhana dan bau masakan yang wangi langsung menghampiri hidung Anya.Tanpa buang waktu, wanita itu langsung menaiki tangga ke lantai dua, sementara Anya dengan kerepotan berusaha mengangkat koper yang di bawanya naik ke atas mengikuti langkah Tina. Gadis itu akhirnya berhasil mengejar Tina yang sudah berdiri di sebuah samping pintu kamar yang terbuka diujung tangga. “Ini kamar mu, Nona. Ada kamar mandi di dalamnya yang bisa kau pakai. Jika kau butuh sesuatu tolong beritahu saya atau salah satu staf yang bekerja di sini.” Tina mengangkat tangannya melihat ke arah jam yang di pakainya di pergelangan. “Nyonya Han menanti Nona untuk bertemu dengannya makan siang nanti, tepat pukul 12 di gedung utama. Jangan sampai terlambat. Sekarang Nona silahkan berbenah dan beristirahat dulu,” ucap Tina hendak menutup pintu, sebelum berubah pikiran dan membukanya kembali. “Uhm…Jika Nona sendirian, jangan lupa untuk mengunci pintu kamar. Jangan sampai ada hal tidak diinginkan terjadi,” lanjut Tina dengan nada aneh membuat Anya mengerutkan dahinya. Tapi sebelum dirinya sempat bertanya, Tina sudah menghilang dari balik pintu dan meninggalkan Anya sendirian di kamar barunya. Anya memutuskan untuk tidak mengambil pusing apa yang barusan diucapkan oleh Tina Huang. Mungkin wanita itu hanya tidak ingin ada barang-barang miliknya yang hilang, pikirnya sambil melirik jam yang ada di dinding kamarnya. Baru jam 11. Masih ada satu jam lagi untuknya bersiap siap bertemu dengan Annie Han, Ibu Jackson Han. Tidak banyak yang diketahuinya tentang Nyonya besar keluarga Han itu. Selain Jackson, Annie memiliki 2 anak perempuan lainnya. Ella Han, dan Nina Han. Ella, yang merupakan anak tertua, sudah menikah dengan seorang kontraktor yang bernama Andew Yang. Sementara Nina, anak termuda masih duduk di bangku kuliah dan seumuran adiknya sendiri, Mei. Anya menyusun pakaiannya ke dalam lemari baju yang ada di kamar itu dan mulai menyesali tidak membawa lebih banyak. Lemarinya kini terlihat kosong dengan hanya diisi oleh 10 pasang baju dan 4 pakaian tidur. Ah sudahlah. Belum tentu kau akan bertahan seminggu di sini, bisik gadis itu kepada dirinya sendiri. Bukankah salah satu dari empat wanita itu bahkan ada yang hanya bertahan 1 hari di sini. Selesai membenahi barang barangnya yang hanya membutuhkan waktu 10 menit, Anya memutuskan untuk keluar dari kamarnya dan menjelajahi gedung belakang tempatnya tinggal. Gadis itu turun ke bawah dan menemukan seorang juru masak yang menjeritkan perintah-perintah tanpa mengalihkan pandangannya dari pisau yang bergerak cepat di tangannya. Sementara, dua orang stafnya sedang berlari pontang panting ke sana kemari melakukan perintah dari pria itu. Anya berjalan menghampiri Tina yang sedang berdiri mengawasi 2 orang pelayan mengelap sendok dan gelas yang mungkin akan di pakai untuk makan siang. “Uhm..Bibi Huang. Adakah yang bisa kubantu?” tanya Anya terkesiap melihat semua huru hara di dapur itu. Tina menoleh sekilas ke arah Anya sebelum mendorongnya keluar dari dapur. “Bagaimana kalau Nona bersiap-siap saja diatas? Tenang saja, masalah dapur sudah kami tangani.” “A..Aku sudah siap kok.” Tina menatap gadis itu dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Sudah siap? Apakah Nona akan memakai baju itu untuk menemui Nyonya besar? Dan mukamu pucat sekali. Semua wanita yang datang sebelum nya selalu berdandan seperti hendak ke pesta.” Anya menunduk memandangi gaun yang di pakainya kebingungan. “Tapi ini adalah salah satu gaun terbagus yang kubawa. Dan aku tidak membawa banyak make up di koperku,” ucapnya lirih kembali menyesali keputusannya untuk membawa barang seminim mungkin. “Oh..” sahut Tina pendek. “Ya sudah. Paling tidak Nona tidak tampak kusut. Kurasa mungkin ada bagusnya Nona tampak beda dengan ke empat wanita yang kemari sebelumnya.” “Jadi, adakah yang bisa kukerjakan?” tanya gadis itu lagi. “Ikuti Jiny dan Wang, Nona bisa membantu mereka menyusun meja makan,” jawab Tina akhirnya menyerah. Dilambaikannya jari telunjuknya ke arah kedua stafnya yang langsung berjalan membawa piring, sendok, dan garpu keluar menuju gedung utama. Anya berjalan mengekori kedua pelayan rumah itu sambil membantu membawakan taplak meja dan kain lap mulut. Jiny dan Wang mencuri curi pandang ke arahnya sambil berbisik bisik membuat Anya merasa canggung. “Jadi sudah berapa lama kalian bekerja di sini?” tanya Anya akhirnya setelah taplak meja terpasang. “Saya sudah disini 2 tahun, sementara Wang masih baru 6 bulan bekerja di sini.” Jawab gadis muda yang bernama Jinny. “Rumah ini luas sekali. Apakah semua Keluarga Han tinggal di sini?” “Nyonya Han, kedua putrinya dan Tuan  Andrew tinggal di sini. Tuan Jackson memiliki apartemen sendiri tapi kadang suka berkunjung kemari untuk menjenguk Nyonya Han,” jawab Jinny. “Oh..” jawab Anya sedikit lega karena tidak harus bertemu dengan Jackson Han hari itu juga. “Sshhh.. Apa yang kalian lakukan bergosip di sini. Sudah sana masuk ke dalam. Bantu Koki Ren di dapur,” desis Tina tiba tiba muncul dari belakang membuat semua orang melompat kaget. Jiny dan Wang bergegas menunduk dan berjalan ke belakang dengan Anya mengekor. “Ehh.. Tidak dengan kau, Nona Li. Nona tunggu di sini, sebentar lagi Nyonya Han akan turun,” ucap Tina sambil menarik lengan Anya agar berdiri di sebelahnya. Anya menurut dan berdiri di sebelah Tina sambil menatap kearah tangga menanti kedatangan Nyonya besar Han. Setengah tertawa geli dalam hati karena merasa seakan sedang menunggu kehadiran presiden. “Stt..hapus senyuman dari bibirmu, Nona.” Hardik Tina ke arah Anya yang tanpa sadar tersenyum sendiri. “Maaf..” gumam Anya tepat ketika sosok Nyonya Han muncul. Anya menatap mata Annie sejenak sebelum kemudian menundukkan kepalanya. Teriakan Nainai Li kembali terdengar di benaknya. “Jika bertemu orang yang lebih tua, tundukkan kepalamu. Jangan menantang. Itu namanya tidak sopan!” “Hm.. Kamukah cucu dari Gladys Li?” tanya Annie Han ke arah gadis yang sedang menunduk di sebelah Tina. “Betul, Nyonya Han.” Jawab Anya. “Staf memanggilku Nyonya. Kamu bukan stafku bukan? Panggil saja aku Aunty Han.” Suara Annie Han melengking tinggi dan tegas. Membuat Anya sedikit merasa takut. “Ba..baik Aunty,” jawabnya terbata bata. “Kalau sedang berbicara jangan menggumam. Kau tidak sedang berkumur kumur!” semprot Annie. “Ah..Iya..Maaf Aunty,” ulang Anya kali ini dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya. Annie Han mendudukan tubuhnya di salah satu kursi yang mengelilingi meja bulat itu. Tubuhnya yang langsing dan tinggi terlihat bergerak dengan sangat elegan seolah sedang menari. “Duduk sini,” perintahnya sambil menunjuk ke sisi sebelah kirinya. Kukunya yang panjang terawat rapi tertutup kutek berwarna merah terang. Anya menurut dan mendudukkan tubuhnya di samping wanita itu. Tina berpamitan masuk ke dalam untuk mempersiapkan makan siang meninggalkan mereka berdua di ruang tamu. Annie mengamati wajah Anya yang masih menunduk. “Angkat wajahmu. Siapa namamu?” tanyanya. “Anya Li, Aunty.” Jawab Anya sambil menaikkan dagunya. “Hm.. Mengapa kau di sini Anya?” Anya kebingungan dengan pertanyaan Annie. Bukankah wanita ini yang memintanya kemari? Kenapa sekarang dia menanyakan alasannya datang kesini? “Bukankah Aunty yang memintaku datang kemari?” jawab Anya akhirnya. BRAKKK!! Tangan Annie menggebrak meja makan keras membuat Anya melompat kaget. “Aku menanyakan apa yang menyebabkan kamu menerima tawaranku untuk datang kemari! Apakah karena kau berharap bisa menjadi menantuku? Mendapatkan kekayaan Jackson?  Apakah setiap perintah orang kamu ikuti? Bagaimana bila aku memintamu untuk terjun dari lantai 2? Apakah akan kau turuti?” cerca Annie ketus. “A..aku..ti—“ “JANGAN MENGGUMAM!” teriak Annie menyela. Anya menundukkan kepalanya berusaha untuk menenangkan dirinya dari cercaan wanita itu. Bahkan ibunya sendiripun belum pernah mengata ngatainya dan meneriakinya seperti yang wanita ini lakukan sekarang. “Aku datang karena tidak ingin menolak keinginan Ibuku dan membawa buruk nama keluarga Li,” jawab Anya akhirnya. Annie terdiam mendengar jawaban Anya hingga Tina dan kedua stafnya berjalan masuk membawakan hidangan untuk makan siang mereka dan meletakkannya di tengah meja makan yang bulat itu. Anya segera bangkit dan meraih mangkuk kecil di hadapan Annie sebelum menyendokkan semangkuk sup untuk wanita itu. Sudah menjadi kebiasaan bagi Anya untuk menyiapkan dan mengambilkan makanan bagi orang yang lebih tua darinya. “Silahkan di makan Aunty.” Ucap Anya meletakkan kembali mangkuk itu di hadapan Annie. “Hmm..” sahut Annie singkat.  Walaupun dalam hati, dirinya memuji hasil didikan Gladys Li. Tidak salah jika akhirnya ia memutuskan untuk memilih gadis ini untuk menjadi calon istri anaknya. Wanita-wanita yang di bawa Jackson kepadanya selama ini tidak pernah ada yang mengerti adat dan sopan santun. Dimata Annie, Anya adalah gadis langka, ketika dunia berubah ia masih paham akan arti tradisi dan tara krama. “Apakah kamar yang disediakan untukmu cukup?” tanya Annie menoleh ke arah Anya yang sedang mengunyah makanannya dengan mulut tertutup. Anya menelan dulu nasi di dalam mulutnya sebelum menjawab, “Cukup, Auntie. Terima kasih.” “Baguslah. Jika kau butuh apa-apa jangan ragu untuk meminta Bibi Huang. Jangan lupa kunci kamarmu bila kau tidur di malam hari. Kita tidak ingin ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi padamu selama di sini?” Anya membelalak kaget. “Hal apa, Auntie?” Ini kali keduanya seseorang memperingati dirinya untuk mengunci pintu kamar. “Hm… Sudahlah. Makan makananmu, nanti malam aku ke kenalkan dengan seluruh keluarga Han, kecuali Jackson yang baru bisa kemari sabtu malam,” balas Annie enggan menjelaskan lebih lanjut.  Semoga saja gadis ini bisa lulus melewati syarat  yang kuajukan padanya, gumam Annie dalam benaknya. Dan semoga pria itu tidak berbuat macam-macam pada gadis ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN