SUV hitam mewah milik Blue meluncur mulus menembus gerbang perumahan elite yang tinggi dan kokoh. Gerbangnya dengan mudah terbuka setelah penjaga menekan tombol remote control. Dengan deru mesin yang halus, mobil itu melaju melewati jalan setapak berlapis batu yang diterangi cahaya lembut dari lampu-lampu taman. Ketika akhirnya mobil berhenti tepat di depan teras rumah yang luas dan elegan, Blue melirik sekilas ke arah Emely, si Kucing Liar yang duduk gelisah di kursi penumpang sampingnya.
Emely terlihat makin tidak tenang, wajahnya memerah, dan tubuhnya menggigil. Blue bisa melihat dengan jelas bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan wanita itu.
Dengan suara berat dan sedikit serak, Blue bertanya, “Apa yang sudah kau minum, Emely?” Suaranya menggema dalam kesunyian malam yang mencekam.
Emely berbalik menatap Blue, matanya sedikit kosong dan bingung, tetapi ada kegelisahan yang jelas terpantul di sana. Wajahnya kini kian memerah, seakan-akan tubuhnya terbakar oleh sesuatu yang lebih dari sekadar amarah. “Aku … aku nggak tahu,” jawabnya terbata-bata. Napasnya makin cepat, naik-turun, seolah-olah menyuarakan kegelisahan yang memuncak.
Rasa panas yang membakar seluruh tubuh membuatnya tidak tahan. Tubuhnya seperti dilalap api yang tak terlihat, membakar setiap inci kulitnya. Pikiran liar yang terus berputar dalam kepala membuatnya makin kacau, tak mampu mengendalikan dirinya. Dalam d**a Emely, ada deru yang smakin cepat, semacam gemuruh panas yang menyesakkan, mengimpit napasnya. Sesekali dia menggigit bibir bawahnya, mencoba untuk menahan diri. Namun, makin dia berusaha, makin sesak pula perasaan itu.
Obat perangsang yang tanpa sengaja Emely teguk tadi—obat yang sengaja dicampur ke dalam minumannya—sekarang menjadi penyiksa yang terus merayap dalam setiap urat tubuhnya, membuatnya merasa seperti terbakar hidup-hidup.
Sementara itu, di sisi lain, Blue menatap dengan penuh perhatian. Dia bukan lagi pria muda yang naif, dia sudah cukup dewasa dan berpengalaman untuk mengenali gejala-gejala semacam ini. Setiap gerak-gerik Emely, setiap perubahan kecil dalam ekspresinya, sudah sangat familier baginya. Saat ini, dia tahu persis apa yang terjadi. Emely telah mengonsumsi sesuatu yang merusak kendali dirinya, sesuatu yang membuat wanita itu terlihat seperti cacing kepanasan, terjebak dalam keadaan yang tak bisa dia kendalikan.
Blue meremas kemudi dengan kepalan yang kuat. Rasa frustrasi menyelimuti pikirannya. Kenapa kamu begitu nekat, Emely? gerutunya dalam hati.
Wanita ini, yang sering kali bertindak tanpa memikirkan konsekuensi, kini terjebak dalam permainan yang tak bisa dia menangkan. Berani mengelabui pengawasan ayahnya, pergi ke club malam hanya untuk merasa bebas, tetapi kini wanita itu terperangkap dalam panas yang tidak bisa dia atasi sendiri.
Blue makin kesal ketika mengingat kenalan Emely. Bayangkan saja, bagaimana jika dia tidak datang tepat waktu? Bagaimana jika keadaan ini berakhir lebih buruk dari yang bisa dia bayangkan? Dalam keheningan mobil, pria itu merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Membayangkan semua kemungkinan buruk yang bisa terjadi pada Emely dan rasa takut itu hampir membuatnya kehilangan kendali.
Blue menghela napas panjang. Napasnya terdengar berat dan kasar, seperti sebuah beban yang begitu menyesakkan d**a. Dalam gerakan tenang, ia melepaskan sabuk pengaman dengan satu tangan, sementara tangan yang lain meraih pintu dan membukanya secara gesit.
Setelah keluar dari kendaraan, Blue melangkah cepat dan lebar, mengelilingi mobil hingga kini ia berdiri di samping pintu Emely. Matanya mengamati wanita itu sejenak sebelum membuka pintu. Tanpa kata, ia meraih tangan Emely, menggenggam pergelangan tangannya dengan cengkeraman yang cukup kuat tetapi tidak menyakitkan.
Emely terkejut saat merasakan tangan Blue yang hangat menyentuh kulitnya. Rasa panas dari tubuhnya yang terbakar oleh obat perangsang makin kuat saat tangan itu menyentuhnya. Tubuhnya menegang. Sejenak ia melirik Blue dengan pandangan bingung, tetapi akhirnya mengangkat pandangan dan bertemu dengan mata pria itu.
“Ayo turun!” perintah Blue dengan suara yang tegas, seolah-olah tak memberi ruang untuk penolakan. Tangannya menarik dengan lembut tetapi pasti, mengarahkan Emely untuk keluar dari mobil.
Meskipun tubuhnya masih meronta-ronta dengan rasa panas yang tak tertahankan, Emely tahu bahwa ia tak bisa melawan. Ia menuruti tarikan tangan Blue, lalu langkahnya terpaksa mengikuti pria itu.
Mereka melangkah bersama menuju teras yang luas. Ketukan langkah mereka bergema. Sesampainya di depan pintu rumah, Blue berhenti sejenak. Sebuah rumah yang sederhana tetapi terkesan elegan. Rumah itu memiliki desain modern yang berpadu dengan kesan minimalis, berlantai dua, dan terletak di tengah keramaian Kota New York. Rumah itu terkesan sunyi, tetapi memiliki kenyamanan yang khas. Sebuah tempat perlindungan yang jauh dari hiruk pikuk dunia luar.
Blue mendekati pintu besar dan menatap alat pemindai yang terpasang di sampingnya. Tanpa berbicara, ia mendekatkan wajahnya ke alat tersebut. Dengan cepat, pintu terbuka otomatis, seakan-akan memberi mereka jalan masuk tanpa hambatan. Setelah pintu terbuka lebar, Blue pun melangkah, memimpin Emely memasuki ruangan yang hangat dan nyaman.
Di tengah langkah mereka menuju tangga, Emely mengedarkan pandangan ke sekeliling rumah. Matanya bergerak cepat, memindai setiap sudut ruangan dengan tatapan penuh selidik. Interior rumah ini memang nyaman, tetapi suasana yang tenang justru membuatnya merasa asing dan makin tidak nyaman. Seiring dengan itu, hatinya mulai dipenuhi keraguan.
Ketika mereka hampir sampai di tangga, Emely tiba-tiba menghentikan langkah. Dia menarik tangannya dari genggaman Blue dengan gerakan cepat. Blue sontak berhenti dan berbalik menatapnya. Dahi pria itu berkerut, menunjukkan kebingungan.
“Kenapa?” tanya Blue singkat dengan nada rendah.
Emely menggeleng pelan, melangkah mundur sedikit demi sedikit. Meski tubuhnya masih terasa panas dan pikirannya berputar, kini rasa gelisah dan ketidaknyamanan mengambil alih. “Aku mau pulang ke apartemenku. Kenapa kamu bawa aku ke sini?” tanyanya dengan nada sinis.
Mendengar itu, alis Blue terangkat. Wajahnya memperlihatkan ekspresi yang seperti meremehkan. Dia mengubah posisinya, tubuhnya kini menghadap penuh ke arah Emely; satu tangannya bertumpu di pinggang. “Setelah semua yang aku lakukan untukmu, kau masih bertanya kenapa aku membawamu ke sini?” balasnya dengan suara yang terdengar dingin. Matanya menatap tajam, seakan-akan mencari celah untuk memahami pikiran wanita itu. Namun, Emely hanya mendengkus, membuang pandangannya ke arah lain.
Blue menarik napas panjang, berusaha menahan rasa frustrasinya. “Pertanyaan bodoh macam apa itu, Emely?” Suaranya kali ini mengandung geraman halus.
“Aku punya tempat tinggal sendiri, Blue!” balas Emely dengan nada tinggi. Emosinya mulai terpancing. “Seharusnya kamu mengantarku ke sana, bukan malah membawaku ke rumahmu!”
Perkataan Emely membuat Blue terperangah. Kali ini, alisnya terangkat lebih tinggi. Matanya pun menyipit tajam, seolah-olah menilai wanita di depannya dengan penuh keheranan. “Blue? Heh?” beonya dengan nada sinis. Sebuah ejekan yang tak bisa disembunyikan. Ia melangkah mendekat pada Emely, menurunkan tangannya dari pinggang, dan menyilangkan kedua lengannya di d**a.
“Selain pembohong, nakal, sekarang kau juga tidak tahu sopan santun?” Blue mendekat sedikit, matanya kini menatap langsung ke mata Emely. “Apakah Erlan, ayahmu itu, tidak pernah mengajarkan bagaimana berbicara dengan orang yang lebih tua?”
Mendengar nama ayahnya disebut, wajah Emely langsung berubah. Sorot mata wanita itu yang tadinya keras kini makin tajam. “Jangan bawa-bawa ayahku!” desisnya penuh emosi. “Kamu tidak berhak!”
Blue hanya menyeringai mendengar respons itu. Dia tahu Emely selalu sensitif jika menyangkut nama ayahnya, dan dia sengaja menyentuh titik lemah itu. “Aku tidak berhak?” ulangnya. Nadanya tajam tetapi terkendali. “Kalau aku tidak berhak, lalu siapa yang akan melindungimu dari kebodohanmu sendiri, Emely?”
Emely tidak menjawab. Napasnya memburu, dadanya naik-turun menahan kemarahan yang hampir meledak. Di sisi lain, Blue berdiri tegak, tatapannya tajam. Jelas-jelas menunjukkan bahwa ia tak akan mundur satu langkah pun dari argumennya.
Dia tidak boleh kalah dari si kucing seksi dan liar ini! Tidak boleh!
“Sekarang, kau harus menurut padaku,” tekan Blue dengan suara rendahnya. Tatapan tajamnya menembus Emely, seolah-olah membungkam segala bentuk pembangkangan. “Jangan banyak protes. Jangan berisik. Karena aku tidak suka!”
Emely—yang sudah merasa kesal sejak awal—makin memerah wajahnya saat mendengar kata-kata itu. Emosi di dalam dirinya melonjak, tetapi Blue tidak peduli. Baginya, ini bukan soal kenyamanan Emely, ini soal kendali, sesuatu yang tidak akan ia biarkan lepas begitu saja.
“Ayo, naik! Kita ke kamar,” lanjut Blue. Suaranya tetap tegas, tetapi dengan intonasi datar. “Kita bicara di sana. Kita selesaikan semuanya. Baru setelah itu, aku izinkan kau pergi dari rumah ini.”
Namun, bukannya menurut, Emely justru melawan. Dengan dagu terangkat, ia menatap Blue tanpa gentar. “Tidak, aku tidak mau! Kamu tidak berhak memaksaku. Kamu bukan siapa-siapa!”
Untuk sesaat, Blue hanya berdiri di sana, menatap Emely lekat-lekat dengan ekspresi tak terbaca. Namun, bibirnya perlahan mencebik, seperti seseorang yang tengah menyusun rencana licik. Ia mengangguk pelan berulang kali, sebuah gestur yang lebih menyerupai ancaman terselubung daripada tanda setuju.
“Jadi, kau tidak mau naik?” tanya Blue. Suaranya lebih rendah tetapi terkesan lebih berbahaya. “Kau tidak mau mendengar perintahku? Baik, baik, Emely.”
Tanpa berkata lebih banyak, Blue menyelipkan tangan ke dalam saku celananya dan mengeluarkan ponsel. Ia menyalakan layar dan mulai mengetik dengan cepat, jemarinya bergerak cekatan di atas perangkat itu. Matanya melirik Emely, memperhatikan reaksi wanita itu dengan cermat.
“Aku akan telepon ayahmu sekarang,” ujar Blue dengan nada dingin. “Aku akan beri tahu semuanya. Atau, aku hubungi Blaxton langsung? Pilih mana, hem?”
Mata Emely langsung membelalak, wajahnya pucat seketika. “Jangan!” serunya. Tubuhnya bergerak maju dengan refleks, mencoba merampas ponsel itu dari tangan Blue. Namun, Blue dengan sigap menarik tangannya menjauh, membuat Emely hanya bisa menggapai udara kosong.
“Jangan beri tahu mereka!” Emely memohon, suaranya berubah menjadi lebih lembut. Ia melangkah lebih dekat, kali ini tanpa mencoba melawan, hanya menatap Blue dengan mata penuh kekhawatiran. “Kumohon, Uncle …,” sambungnya pelan. Nada suaranya kini terdengar sangat sopan.
Kata itu, ‘uncle’, keluar begitu saja dari mulut Emely, membuat Blue tertawa pelan. Suara tawa kecil itu menggema di ruangan yang sunyi, terdengar seperti ejekan yang disengaja. “Uncle, ya?” ulangnya dengan nada geli. Ia memandang Emely seolah-olah menikmati kekalahan kecil yang baru saja terjadi.
“Kalau begitu,” suara Blue kembali tegas, “naiklah. Kita bicara di kamar.”
Emely tak punya pilihan. Dengan enggan, ia menuruti perintah Blue, menggerakkan kakinya ke tangga. Langkahnya lambat dan malas, mencerminkan rasa tidak sukanya terhadap situasi ini. Namun, tidak ada yang bisa ia lakukan. Di belakangnya, Blue mengikuti dengan langkah mantap sambil menatap punggung wanita itu dengan intensitas yang sulit dijelaskan.
Saat Emely menaiki anak tangga, Blue tanpa sadar menghela napas pendek. Matanya tak bisa lepas dari punggung ramping dan gerakan pinggul wanita itu. Pinggul yang meliuk indah! Ah, Blue makin frustrasi saja.
Naik tangga saja bisa meliuk seindah itu, lalu apa kabar ketika naik yang lain? Contohnya, pangkuanku? Blue lalu meringis pelan. Ah, kacau. Blue benar-benar kacau sekarang. Bukan hanya si Kucing Liar yang kepanasan akibat obat perangsang, melainkan juga dirinya yang disebabkan oleh fantasi liarnya sendiri.
Blue mencoba mengalihkan pandangan, tetapi tubuhnya bereaksi lebih cepat daripada pikirannya. Napasnya terasa lebih berat dan tanpa ia sadari, ketegangan menyelimuti tubuhnya. Pikirannya mendadak melayang. Sesuatu yang tidak seharusnya ia pikirkan mulai mengganggu.
Blue cepat-cepat mengalihkan pandangan, berusaha keras mengendalikan dirinya.