Bab 1: Kucing Liar
***
“Sir, berdasarkan informasi yang saya dapatkan, malam ini Nona Emely sedang berada di Azure Nightclub. Dia menghadiri pesta ulang tahun salah satu teman kampusnya,” lapor Porter, pria berusia 31 tahun dengan penampilan rapi dan wajah yang mencerminkan profesionalisme. Porter adalah asisten pribadi yang setia sekaligus orang kepercayaan pria dewasa yang kini tengah duduk di balik meja kerjanya.
Ruangan itu dipenuhi nuansa maskulin—dinding kayu mahoni, rak buku penuh koleksi literatur klasik, dan cahaya temaram lampu kuningan yang memantulkan bayangan lembut di lantai marmer hitam. Di tengah ruangan, pria itu duduk tegak di kursi kulit hitam yang megah. Usianya mendekati 40 tahun, tetapi pesonanya tak memudar. Wajahnya tegas dengan rahang kokoh dan sorot matanya tajam seolah-olah mampu membaca pikiran siapapun yang berani menantangnya.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul delapan, tetapi ia masih sibuk di kantornya. Di mejanya, tumpukan dokumen belum tersentuh sepenuhnya. Layar laptop pun masih menyala, menampilkan data-data penting yang membutuhkan keputusannya. Pria itu memilih untuk lembur, seperti biasa, tenggelam dalam pekerjaannya yang sering kali tak mengenal waktu.
Sesaat ia terdiam, kedua tangannya yang besar dan berotot terlipat di depan d**a. Ia menatap Porter dengan pandangan penuh pertimbangan. “Azure Nightclub,” gumamnya, seolah-olah mencatat informasi itu dalam pikirannya.
Ia menghela napas lalu membawa tangan ke atas meja. Sebuah ketukan ringan terdengar di permukaan meja. “Dan, bagaimana situasi di sana? Apakah ada sesuatu yang perlu aku tahu?” tanyanya dengan nada datar.
“Saat ini, suasana masih terkendali, Sir. Tim keamanan saya sudah memantau dari kejauhan. Jika Anda membutuhkan tindakan lebih lanjut, saya siap mengatur,” jawab Porter dengan nada penuh keyakinan.
Pria itu mengangguk pelan. Matanya yang tajam kini tertuju pada satu titik di kejauhan. Dalam pikirannya, ia mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang dapat terjadi. Azure Nightclub adalah tempat mewah yang sering menjadi pusat perhatian para penikmat dunia malam yang penuh kebebasan. Faktanya, Emely ada di sana malam ini.
Ruangan kantor itu hening sejenak, hanya terdengar detak jam dinding yang mengiringi percakapan di dalamnya. Pria dewasa itu menghela napas pendek, menyesap udara dengan kesabaran yang hampir habis. Ia memandang Porter dengan mata tajam.
“Apakah para pengawal tahu kalau Emely berada di sana?” tanyanya serius.
Porter, yang sudah terbiasa menghadapi pertanyaan seperti ini, tetap berdiri tegap. “Saya rasa mereka tidak mengetahuinya, Sir. Saya tidak melihat tanda-tanda kehadiran mereka di sana,” jawabnya penuh keyakinan.. Namun, dalam hati ia pun bertanya-tanya, mengapa Emely begitu suka menantang bahaya?
Pria itu mengangguk samar. Rahangnya mengencang sejenak sebelum ia menoleh ke jendela besar di belakang meja kerjanya. Kota New York membentang dengan kilauan lampu-lampu gedung pencakar langit, tetapi pikirannya terfokus pada satu hal: Emely Erlania William’s.
Semakin lama kau semakin nakal dan liar, Emely. Kucing liar ini memang perlu diberi tahu siapa yang berkuasa, batinnya. Bibirnya melengkung tipis dalam senyum yang penuh arti. Pikiran itu membuatnya makin mantap dengan keputusan yang sudah ia buat.
Ia berbalik menghadap Porter, sorot matanya yang dingin kini penuh dengan ketegasan. “Aku akan pergi ke sana. Tolong bereskan semua ini, dan setelah itu kau boleh istirahat. Aku akan menangani Emely sendirian.”
Porter sedikit ragu, tetapi ia tahu lebih baik tidak menentang tuannya. Meski begitu, ia tetap memberanikan diri untuk berkata, “Maaf, Sir. Lalu, bagaimana dengan Nona Amara? Dia pasti sedang menunggu Anda di rumah.”
Pria itu melirik sekilas pada Porter. “Aku akan memberi pengertian padanya,” jawabnya mantap. Tak ada yang lebih penting saat ini selain memastikan Emely, si kucing seksi dan liar, mengerti batasannya.
Porter mengangguk kecil, tahu bahwa diskusi ini telah berakhir. Tanpa berkata lagi, ia mundur perlahan, memberi ruang kepada sang tuan yang kini tengah bersiap.
Pria itu berdiri, sosoknya menjulang tinggi dengan bahu lebar yang kokoh. Ia meraih jas mahalnya dan mengenakannya dengan gerakan tegas. Setiap detail tubuh atletisnya terpancar sempurna di balik pakaian formal itu. Ia menyisir rambut hitamnya dengan jari, memastikan penampilannya tetap rapi. Dengan langkah panjang dan percaya diri, ia keluar dari ruangannya, meninggalkan tempat yang masih memancarkan jejak kehadirannya yang dominan. Tujuannya jelas: Azure Nightclub.
Blue Sinclair, seorang pria berusia 38 tahun, kini memegang dua posisi penting di Sinclair Ocean Technologies—sebuah perusahaan global terkemuka yang bergerak di bidang teknologi kelautan. Sebagai CEO sekaligus Direktur Utama, Blue mengelola arah perusahaan dengan visi yang progresif dan ambisius. Ia menggantikan peran ayahnya yang memilih untuk mundur dan menikmati masa pensiunnya di rumah setelah bertahun-tahun memimpin perusahaan tersebut.
Perusahaan itu dikenal sebagai salah satu yang terbaik di New York, memimpin inovasi di sektor eksplorasi bawah laut dan solusi lingkungan untuk industri perkapalan. Kekayaannya, kekuasaannya, dan reputasinya membuat Sinclair dihormati sekaligus ditakuti.
Namun, malam ini, bukan bisnis atau rapat penting yang menyita pikirannya. Emely Erlania William’s, wanita muda berusia 21 tahun yang selalu berhasil memancing emosinya, adalah fokus utamanya. Tak peduli apa yang terjadi, ia akan menyusul si kucing seksi dan liar itu. Bukan untuk sekadar menemui, melainkan untuk memastikan wanita itu tahu siapa yang benar-benar memegang kendali.
***
Azure Nightclub malam itu berdenyut dengan kehidupan. Lampu-lampu neon berwarna biru dan ungu berkilauan, menari bersama bayangan di dinding. Musik EDM menggema memecah udara, dentumannya menggetarkan lantai marmer dan mengalir ke tubuh setiap pengunjung. Aroma minuman keras bercampur parfum mewah memenuhi ruangan, menciptakan atmosfer yang menggoda dan penuh gairah. Di tengah keramaian, orang-orang berdansa dengan bebas, terhanyut dalam dunia yang seakan-akan tak mengenal waktu.
Di salah satu sudut lounge yang mewah, Emely Erlania William’s tampak tengah duduk bersama teman-temannya. Wajahnya yang cantik dan anggun memancarkan cahaya tersendiri meskipun dikelilingi oleh gemerlap dunia malam. Rambut panjangnya tergerai, berpadu sempurna dengan gaun hitam yang menonjolkan tubuh rampingnya yang penuh pesona.
Ia baru saja kembali ke meja setelah puas berdansa di lantai dansa, bergerak bebas tanpa pengawasan, menikmati malam yang penuh kebebasan. Beberapa botol minuman baru telah dipesan dan berjajar rapi di atas meja. Teman-temannya tertawa dan bercanda. Suara mereka tenggelam dalam dentuman musik.
Di salah satu sofa, seorang lelaki muda, yang juga bagian dari kelompok itu, tak dapat mengalihkan pandangannya dari Emely. Matanya menelusuri setiap detail dari atas ke bawah, penuh kekaguman. Emely adalah sosok yang memukau, cantik, dan seksi tanpa cela. Tubuhnya, wajahnya, dan aura alaminya membuatnya seperti magnet bagi siapa pun yang memandang. Termasuk lelaki muda itu, seorang kakak tingkat Emely di kampus, yang sejak lama menyimpan ketertarikan padanya. Namun, hingga saat ini, ia hanya bisa mengagumi dari kejauhan, tak berani melangkah lebih dekat.
“Ini untukmu, Emely!” seru seorang wanita dengan antusias. Ia memberikan sebuah gelas whiskey kepada Emely. Wanita tersebut adalah pemilik acara, teman dekat Emely yang sedang merayakan ulang tahunnya malam itu.
Emely menggeleng, sedikit menahan senyum. “Sudah cukup. Aku sudah minum terlalu banyak, dan aku tidak mau mabuk!” tolaknya. Suaranya terdengar tinggi, tetapi tetap sulit bersaing dengan dentuman musik.
“Oh, ayolah, sekali ini saja. Ini malam istimewa!” pinta wanita itu. Suaranya dipenuhi nada memohon. Namun, Emely tetap bersikukuh, menggeleng dengan tegas. Wanita itu tidak menyerah. “Hanya satu kali lagi, Emely. Demi aku?” Ia sampai merapatkan kedua tangannya seperti memohon. Senyumnya begitu lebar hingga permintaannya sulit untuk ditolak.
Emely menatap wanita itu dengan sedikit frustrasi, tetapi akhirnya ia mengalah. “Baiklah, tapi ini yang terakhir, oke? Setelah ini, aku benar-benar tidak mau lagi,” katanya dengan nada setengah menyerah. Ia lalu mengambil gelas itu dari tangan temannya.
“Deal!” jawab wanita itu dengan gerakan bibir dan anggukan cepat. Senyum kemenangan menghiasi wajahnya.
Emely menatap gelas itu sejenak sebelum akhirnya meneguk cairan emas di dalamnya hingga tandas. Sensasi panas yang membakar tenggorokan membuatnya bergidik sedikit. Lalu, ia buru-buru meletakkan gelas kosong itu ke meja.
Dalam hati, ia bersumpah, ini benar-benar yang terakhir. Ia tahu batasannya. Jika mabuk, ia akan sulit menjaga rahasia kehadirannya di club ini. Terlebih lagi, para pengawal ayahnya yang selalu mengawasi setiap gerak-geriknya, tidak tahu bahwa ia ada di sini malam ini.
Emely tersenyum tipis, merasa puas karena berhasil mengelabui pengawasan mereka. Ia tahu ini tindakan berbahaya, tetapi entah kenapa adrenalin dari kenakalan itu membuatnya merasa hidup. Benar apa yang dikatakan Blue Sinclair, pria dewasa yang mengenalnya lebih baik daripada siapa pun: Emely adalah kucing nakal dan liar.
Namun, di luar pengetahuannya, malam itu bukan hanya tentang perayaan. Ada sosok tampan yang sebentar lagi bergerak mendekati dunia kecilnya yang penuh kebebasan, berniat menegaskan batas. Pria itu bukan sekadar pengawal atau kakak tingkat. Ia adalah Blue Sinclair, orang yang tidak mengenal kata kompromi, terutama jika menyangkut kucing liar seperti Emely Erlania William’s.
Beberapa menit berlalu, Emely akhirnya duduk di kursi, mencoba menenangkan dirinya. Namun, ketenangan itu sulit didapatkan. Gelisah mulai merayapi dirinya, membuatnya merasa tidak nyaman. Suasana di sekitarnya terasa makin menyesakkan dan tubuhnya yang semula berapi-api kini mulai bergetar lembut, seolah-olah merespons ketegangan yang ada.
Dengan satu tangan, Emely mengusap tengkuknya berulang kali, mencoba mencari kenyamanan dalam gerakan sederhana itu. Jari-jarinya yang halus menyentuh kulit, memberi rasa sejuk yang kontras dengan panas yang menggelora di dalam dirinya. Ia merasakan keringat perlahan menetes di lehernya dan rasa panas itu makin terasa membakar. Kedua pahanya yang ramping dan seksi pun kini terasa makin rapat, menandakan ketidaknyamanan yang mulai menguasai dirinya.
Mata Emely melirik ke sekeliling, mencari sesuatu untuk mengalihkan perhatian. Namun, setiap detik berlalu, rasa cemas itu makin mendalam. Ia merasa seperti terjebak dalam sebuah labirin, di mana setiap jalan hanya mengarah pada ketidakpastian.
Dengan napas yang sedikit terengah, Emely berusaha untuk tetap tenang, meskipun hatinya berdebar keras, berperang antara keberanian dan ketakutan yang tak bisa ia ungkapkan. Ia menggigit bibirnya, hatinya bergejolak dalam kebingungan.
Astaga, ada apa dengan tubuhku? Kenapa rasanya panas sekali? Dan ... milikku—uhhh! Berkedut. My God! pekik Emely dalam hati. Ia berusaha memahami sensasi aneh yang menguasai dirinya.
Sementara itu, lelaki muda bernama Delon itu duduk tidak jauh darinya, memperhatikan Emely dengan tatapan penuh kepuasan. Senyumnya menunjukkan bahwa ia menikmati momen ini, dan sepertinya lelaki itu makin yakin bahwa dirinya akan mendapatkan apa yang diinginkan. Dengan langkah mantap, ia bangkit dari duduknya dan mendekat pada Emely.
Kini, Delon duduk tepat di samping wanita cantik itu, si primadona kampus. “Emely, apa yang terjadi?” tanyanya. Suaranya penuh perhatian. Ia membelai lembut rambut panjang Emely. Gerakan yang seharusnya menenangkan, tetapi justru membuat Emely makin tidak nyaman.
“Apakah kau butuh bantuan?” bisik Delon. Wajahnya makin dekat, menimbulkan rasa sesak di d**a Emely. Dalam hati, wanita itu merasa pengap sehingga berusaha menjauhkan punggungnya dari Delon, menciptakan jarak antara mereka.
Emely tahu, Delon sudah sejak lama tertarik padanya, tetapi dia merasa sebaliknya. Sama sekali tidak tertarik pada lelaki itu. Semua lelaki, menurut pendapatnya, sama saja. b******n! Seperti si pria tua bernama Blue Sinclair. b******n dan murahan!
Emely menegakkan punggungnya, menatap lelaki itu dengan mata yang penuh keangkuhan. “Aku baik-baik saja. Aku tidak butuh bantuan apa pun. Terima kasih!” Suaranya dingin dan tegas.
Dengan langkah mantap, Emely beranjak dari sisi Delon, melangkah lebar menuju toilet. Rasa panas yang membakar tubuh membuat langkahnya sedikit terburu-buru, seolah-olah ia sedang berusaha melarikan diri dari sesuatu yang lebih dari sekadar pandangan.
Di sisi lain, Delon menatap Emely dengan tatapan tajam. Hatinya bergejolak penuh kemarahan dan rasa benci yang mendalam. ‘Dasar wanita sialan! Dari dulu tidak pernah berubah! Kau terlalu sombong, Emely!’ batinnya. Rasa frustasi itu makin menguatkan tekadnya. Lihat saja, malam ini kau akan menjadi milikku. Dan, lihatlah bagaimana aku akan melemparkan tubuh telanjangmu ke jalanan! Ancaman itu terdengar yakin dalam benaknya, seolah-olah menciptakan gambaran jelas tentang apa yang ingin dilakukannya.
Delon bangkit dari duduknya, menyusul Emely dengan cepat. Setiap langkahnya penuh niat jahat. Entah hal buruk apa yang akan ia lakukan terhadap Emely, si kucing seksi dan liar itu.