Bab 2: Menyelamatkan Kucing Liar!

2281 Kata
Emely melangkah tergesa-gesa di sepanjang lorong sempit. Sepatu hak rendahnya mengeluarkan bunyi berdebum lembut di lantai. Langkahnya goyah, hampir seperti orang mabuk. Namun, ia tahu betul bahwa ini bukan efek alkohol. Sesekali ia berhenti mendadak, tubuhnya membungkuk dengan kening berkerut. Kedua tangannya mencengkeram erat dinding di sisinya, sementara pahanya merapat dengan kuat seolah-olah mencoba menahan sesuatu yang mendesak dari dalam tubuhnya. “Apa yang terjadi ...?” gumamnya panik. Sebuah denyutan asing menjalar dari pangkal pahanya, menggelitik sekaligus menyakitkan. Rasa itu tidak wajar, seperti sesuatu yang mendidih di dalam tubuhnya. Tubuhnya memanas, nyaris terbakar. Emely ingin berteriak, tetapi napasnya terhenti di tenggorokan, menghilang menjadi rintihan pendek. Panas itu merambat cepat. Jantungnya berdegup kencang, mengguncang d**a. Ia mencoba bernapas lebih dalam, tetapi setiap helaan napas terasa seperti api yang menyusup masuk dan membuat paru-parunya berdenyut kesakitan. “Ini bukan karena alkohol. Ini pasti bukan! Aku pernah mabuk sebelumnya dan rasanya tidak seperti ini. Oh Tuhan, apa ini?” pikirnya, hampir putus asa. Emely menegakkan tubuh, mencoba melangkah lagi. Namun, lututnya terasa seperti jeli, gemetar tak terkendali di bawah berat tubuhnya sendiri. Satu langkah terasa seperti berlari dalam lumpur. Akhirnya, ia menyerah, tubuhnya limbung menyandar pada dinding lorong yang dingin. Permukaan tembok yang seharusnya memberikan rasa dingin justru terasa membakar kulitnya. Peluh membanjiri dahi dan pelipisnya. Tetes-tetes keringat mengalir deras, membasahi leher jenjang dan rambutnya yang mulai menempel. Napas Emely tersengal, dadanya naik-turun dengan cepat seiring detak jantung yang memukul-mukul seperti genderang perang. Emely mendongak, memejamkan mata erat-erat. Bibirnya setengah terbuka, mencoba mencari udara. “Apa ... apa yang terjadi padaku?” desisnya lirih, hampir tak terdengar. Tubuhnya terus mendidih, makin tidak terkendali. Di ujung lorong yang remang-remang, Delon berdiri dengan sikap santai. Satu tangan menyelip di saku celana, sementara tangan lainnya menggenggam ponsel yang hanya dijadikan alat penunjang kesombongan. Matanya terpaku pada sosok Emely yang bersandar di dinding, terengah-engah seperti ikan yang dilempar ke daratan. Bibirnya melengkung membentuk senyum licik, begitu jelas dan tanpa usaha untuk menyembunyikannya. Ia menikmati pemandangan itu. Emely yang biasanya selalu tampil anggun dan penuh percaya diri, kini terlihat rapuh tak berdaya. “Hah, akhirnya,” gumam Delon, hampir seperti bisikan kepada dirinya sendiri. Kepuasannya begitu nyata. Rencana yang telah ia susun matang-matang kini membuahkan hasil memuaskan. Tak sia-sia ia meminta bantuan pada teman perempuannya tadi, yang dengan senang hati mencampurkan obat perangsang ke dalam minuman Emely. Obat itu bekerja lebih cepat dari yang ia bayangkan, melihat bagaimana wanita itu kini tampak kewalahan. Tubuhnya bergelut dengan panas yang tak bisa ia kendalikan. Malam ini, Delon yakin, Emely akan menjadi miliknya. Wanita yang selama ini dielu-elukan sebagai primadona kampus akan bertekuk lutut, memohon bantuan dan—yang paling ia nantikan—sentuhan darinya. Delon merasakan geliat kebanggaan merayap di dadanya, membayangkan esok hari ia akan menjadi pusat perhatian kampus. Ia bisa mendengar gumaman penuh kekaguman dari teman-temannya, bisikan iri dari para mahasiswa lain. “Emely Erlania William? Kau serius? Dia yang biasanya sok dingin itu akhirnya tunduk sama Delon?” Ya, itu yang akan mereka katakan, dan ia akan menikmati setiap momen pujian itu. Bukan hanya mahasiswa biasa yang akan terkejut, melainkan juga dosen-dosen muda yang selama ini diam-diam menaruh perhatian pada Emely. Para pria itu, baik yang masih lajang maupun yang sudah beristri, tak akan bisa menyembunyikan rasa kagum mereka. Betapa hebatnya Delon karena bisa menaklukkan wanita yang membuat semua orang terobsesi, seorang Emely yang kehadirannya selalu mencuri perhatian setiap orang di sekitarnya. Delon tak bisa memungkiri, pesona Emely memang luar biasa. Wajahnya yang nyaris sempurna, kulitnya yang mulus, dan caranya membawa diri seolah-olah ia adalah ratu dunia. Semua itu membuatnya tampak begitu tak terjangkau. Namun, malam ini, Delon telah meruntuhkan tembok tinggi itu. Ia tak peduli jika caranya kotor sebab yang terpenting adalah hasilnya. Delon memandangi Emely sekali lagi. Matanya berkilat penuh kemenangan. Wanita itu tampak makin tak berdaya, tubuhnya terguncang oleh sensasi yang jelas-jelas bukan keinginannya sendiri. Efek obat itu bekerja sempurna, membakar tubuh Emely hingga wanita tersebut tak lagi mampu melawan. Kau milikku sekarang, Emely, batin Delon. Senyum di wajahnya makin melebar. Delon melangkah makin mendekati Emely. Pelan tetapi pasti, bagaikan pemangsa yang sedang mengintai mangsanya. Matanya yang tajam tidak lepas dari Emely, penuh arti, seolah-olah menandakan bahwa ia sudah memenangkan permainan ini bahkan sebelum babak terakhir dimulai. Napas Emely terdengar jelas di telinganya. Cepat, tersengal, dan tidak teratur. Begitu dekatnya Delon kini hingga ia bisa merasakan udara panas yang terpancar dari tubuh Emely. “Emely ...,” panggil Delon akhirnya. Suaranya parau, hampir seperti bisikan yang disengaja untuk memancing reaksi. Emely tersentak. Tubuhnya tegang seketika, matanya terbelalak, sebelum akhirnya ia menoleh ke sumber suara. Raut wajahnya berubah, keningnya mengerut tajam, menampilkan ekspresi penuh ketidaksukaan. Pandangannya menusuk, sinis, meski tubuhnya terlihat goyah. “Mau apa kamu di sini?” tanya Emely. Suaranya lirih, tetapi nadanya tetap tajam. Delon tersenyum tipis, mengabaikan nada ketus itu, seakan-akan tak berpengaruh padanya. “Aku menyusulmu ke sini,” jawabnya santai. Seolah-olah ia adalah pahlawan yang datang untuk menyelamatkan sang tuan putri. “Aku khawatir padamu.” Delon mengambil selangkah lebih dekat. Namun, Emely seperti sebuah reaksi otomatis, langsung bergerak menjauh. Punggungnya makin menempel ke dinding di belakangnya, mencoba menciptakan jarak yang aman dari lelaki muda itu. “Aku siap membantu, kalau kau menginginkannya,” lanjut Delon. Matanya memindai wajah Emely yang memerah, rambutnya yang kini basah oleh keringat, hingga d**a wanita itu yang naik-turun cepat karena tarikan napasnya. “Terima kasih,” ujar Emely dingin. “Tapi, aku tidak membutuhkannya sama sekali. Pergilah dan tinggalkan aku.” Nada tegasnya membuat rahang Delon mengeras. Lelaki itu tidak menyangka bahwa Emely masih punya keberanian dengan menolaknya dalam keadaan seperti ini. Tatapannya berubah menjadi lebih tajam, lebih berbahaya, seolah-olah ia tidak akan menerima penolakan untuk kedua kalinya. Namun, Emely tak menunggu jawaban. Dengan langkah tergesa-gesa, wanita itu mencoba meninggalkan tempat meskipun tubuhnya masih terasa berat dan lemas. Sayangnya, sebelum ia bisa melangkah lebih jauh, sebuah tangan besar menangkap pergelangan tangannya dengan kasar. “Delon! Lepaskan aku!” seru Emely, mencoba melepaskan diri. Namun, Delon tidak peduli. Dalam satu gerakan cepat, ia menarik Emely hingga tubuh wanita itu terhuyung, lalu menyentak tangannya ke atas. Kedua pergelangan tangan Emely kini terperangkap di dalam cekalan Delon, tergenggam erat di atas kepala. Tubuh Emely terpaku di dinding, tak mampu bergerak. Delon berdiri tepat di hadapannya, mengungkung tubuhnya tanpa cela sedikit pun. “Apa yang kamu lakukan? Lepaskan aku!” Emely meronta, suaranya bergetar ketakutan. Namun, kekuatannya tidak cukup untuk melawan. Efek obat itu membuat tubuhnya lemas, tak berdaya di bawah tekanan Delon. Delon hanya menyeringai. Matanya berkilat penuh minat, memindai setiap inci wajah Emely yang kini memerah. Napas wanita itu begitu panas dan cepat, hampir membakar wajahnya yang makin mendekat. “Kau butuh sentuhan pria saat ini, Emely,” bisik Delon dengan suara rendah. Sebelah tangannya turun ke pinggang Emely, memberikan remasan lembut di sana. Bibirnya hampir menyentuh telinga wanita itu saat ia melanjutkan, “Dan, aku dengan senang hati akan memberikannya untukmu, Sayang.” Emely memutar wajahnya agar menjauh. Tubuhnya bergetar, bukan karena efek obat semata, melainkan karena rasa takut yang kini menjalar hingga ke tulang-tulangnya. “Delon, kumohon ... jangan lakukan ini .…” Suaranya kini hampir pecah, sebuah bisikan lirih yang penuh kepanikan. Namun, Delon tak menjawab. Senyumnya makin melebar, seperti pemangsa yang sudah menangkap mangsanya dengan sempurna. Malam ini, ia yakin tak ada yang bisa menghalanginya. Sebuah SUV mewah berwarna hitam berbelok mulus memasuki area parkir Azure Nightclub. Mesin mobil berhenti dengan suara halus. Kemudian, dari dalam, Blue melepas sabuk pengamannya dengan gerakan cepat. Satu tangan mematikan mesin, sementara tangan lainnya sudah meraih gagang pintu. Pria itu turun dari mobil. Sepatunya menginjak lantai parkir, menghasilkan bunyi lembut yang memantul di udara. Dengan langkah lebar dan pasti, Blue berjalan menuju pintu utama club tanpa sedikit pun menoleh ke belakang. Udara malam terasa dingin, tetapi pria itu tetap tampak tenang dan fokus. Begitu pintu club terbuka, suasana seketika berubah. Suara musik mengentak keras, bass berdentum hingga terasa di d**a. Lampu-lampu warna-warni berkedip liar, menciptakan atmosfer gemerlap yang menggoda. Aroma alkohol dan keringat bercampur di udara, membuat suasana makin panas. Blue terus melangkah masuk. Tatapannya yang tajam segera menyapu seluruh ruangan. Ia tidak datang ke sini untuk bersenang-senang seperti pengunjung lainnya. Matanya memindai setiap sudut, melewati kerumunan di lantai dansa yang bergerak liar mengikuti irama musik. Pria itu mencari satu sosok tertentu, seseorang yang ia tahu selalu memancarkan aura menggoda seperti kucing liar yang penuh misteri. Namun, Blue tak kunjung menemukan sosok itu. Keningnya berkerut, ekspresi wajahnya berubah serius. Dengan langkah panjang, ia melangkah menuju meja bar. Bartender yang sedang mengelap gelas segera menawarkan minuman. Blue hanya mengangkat satu tangan, memberi isyarat penolakan yang tegas. “Hai, Tuan Sinclair.” Suara lembut seorang wanita memecah fokusnya. Blue menoleh sedikit. Seorang wanita dengan gaun minim—yang lebih banyak memperlihatkan daripada menutupi tubuhnya—mendekat dengan senyum genit. Jemarinya yang lentik dan berhias cat kuku merah menyala mulai menyusuri bahu lebar Blue, berusaha menarik perhatiannya. “Senang sekali melihat Anda di sini malam ini.” Wanita itu jelas mengenalnya. Blue adalah pengunjung tetap di tempat ini, meskipun ia selalu datang dengan alasan yang berbeda dari kebanyakan pria lainnya. Blue menepis tangan wanita itu dengan gerakan cepat dan tegas. Matanya menatap tajam, memberi pesan yang tak terbantahkan. “Jangan ganggu aku. Aku di sini untuk urusan penting.” Suaranya dingin dan menusuk. Wanita itu langsung mundur dengan wajah tersipu, menyadari bahwa Blue tak sedang dalam mood untuk bermain-main. Ia mundur ke kerumunan tanpa sepatah kata lagi, sementara Blue melanjutkan langkahnya. Dengan tubuh tegap, Blue makin jauh masuk ke dalam club. Matanya yang tajam memindai seluruh ruangan sekali lagi. Kali ini, pandangannya terhenti pada sebuah meja di sudut ruangan. Ia melihat sosok wanita muda yang cukup familier. Rambutnya panjang bergelombang, dengan wajah ceria yang sulit dilupakan. Itu adalah Arwen, salah satu sahabat Emely. Blue segera melangkah cepat menuju meja itu. “Hai, Uncle Blue!” sapa Arwen dengan nada ceria. Senyumnya lebar, menunjukkan betapa ia mengenali pria itu. “Hai,” jawab Blue, mengulas senyum tipis yang hampir tak terlihat. “Kau melihat Emely di mana?” Ia bertanya tanpa basa-basi. Nada suaranya terdengar serius. Arwen tampak berpikir sejenak sebelum menjawab, “Tadi kata yang lain, Emely pergi ke toilet, Uncle. Tapi, dia belum kembali sampai sekarang.” Mendengar itu, Blue mengangguk singkat. “Oke, terima kasih,” ujarnya tegas. Ia lalu segera membalik tubuh dan melangkah lebar, meninggalkan meja. Pikirannya kini hanya tertuju pada satu hal: menemukan Emely. Langkah demi langkahnya makin cepat, hampir tergesa. Udara panas dan suara bising club tak lagi terasa. Ia hanya fokus menuju satu arah: toilet, tempat terakhir Emely terlihat. Detik-detik terasa seperti berputar lambat saat Blue berhenti di ujung lorong. Di bawah pencahayaan remang-remang yang memantulkan bayangan panjang, matanya menajam, memandang lurus ke depan. Napasnya memburu dan rahangnya mengetat ketika akhirnya ia menemukan apa yang dicari. Sosok itu, sang kucing seksi dan liar yang selama ini selalu memancarkan aura kebebasan, kini terlihat rapuh. Emely, wanita itu terpojok di dinding dengan ekspresi ketakutan yang begitu jelas. Tubuhnya gemetar, wajahnya memerah—bukan karena malu, melainkan karena terjebak di antara rasa takut dan ketidakberdayaan. Di hadapannya, seorang pemuda berdiri dengan sikap mendominasi, seolah-olaj menantang siapa saja yang mencoba mendekat. Blue tidak perlu mendengar kata-kata mereka untuk memahami apa yang terjadi. Matanya menangkap bagaimana Emely memalingkan wajah, berusaha menghindari pemuda itu, sementara tangan si pemuda mencengkeramnya dengan kasar, memaksa. Napas Blue bergemuruh, membakar seperti api yang menyala-nyala di dadanya. Darahnya mendidih. Hanya satu pikiran yang memenuhi kepalanya: tak ada seorang pun yang berhak memperlakukan kucing liarnya seperti itu. Tidak seorang pun. Tanpa pikir panjang, Blue melangkah maju. Langkahnya lebar dan berat, mengisi lorong dengan aura yang mengintimidasi. Ketika ia mendekat, tangannya terulur. Dengan gerakan cepat dan presisi, ia meraih kerah baju pemuda itu dari belakang, mencengkeramnya erat dengan kekuatan yang tidak main-main. “Apa ....” Sebelum pemuda itu sempat bereaksi, Blue menariknya dengan satu sentakan kuat. Tubuh pemuda itu terhuyung ke belakang, terlempar menjauh dari Emely yang langsung terduduk di lantai, memeluk tubuhnya sendiri. Delon berdiri sambil menatap Blue dengan penuh kemarahan. “Apa yang kau lakukan, b******k!” Ia mendesis dengan suara penuh kebencian, meskipun ia tahu pria di hadapannya jelas lebih tua, lebih besar, dan lebih kuat darinya. Blue tidak menggubris omelan itu. Napasnya berat dan matanya hanya memancarkan satu hal: kemarahan. Tangan kanannya mengepal, urat-urat di lengannya menegang—memperlihatkan intensitas emosinya yang memuncak. “Kau mengganggu ....” Delon bahkan tidak sempat menyelesaikan kalimatnya. Dalam sepersekian detik, Blue melayangkan tinju keras ke wajah pemuda itu. Bug! Tubuh Delon terempas ke lantai dengan keras. Kepala dan punggungnya menghantam ubin yang dingin. Darah mengalir dari sudut bibirnya. Pemuda itu mengerang kesakitan, tangannya memegangi wajah yang baru saja ditinju. Emely memekik kaget sambil berusaha menjauh. Matanya membelalak, menatap pemandangan di depannya dengan perasaan syok dan tidak percaya. Namun, bukan Delon yang menjadi pusat keterkejutannya. Sesuatu yang membuat Emely terdiam kaku adalah sosok pria yang baru saja muncul seperti badai, Blue Sinclair. Ia tidak menduga pria itu akan ada di sini, apalagi membelanya dengan begitu ganas. Blue melirik sekilas ke arah Emely, memastikan wanita itu tidak terluka, sebelum kembali mengalihkan pandangan pada Delon yang tengah berusaha bangkit. Tanpa mengurangi intensitasnya, Blue berkata dengan nada rendah yang penuh ancaman, “Jika kau menyentuhnya lagi—atau bahkan hanya memikirkan tentang dia—aku pastikan kau tak akan bisa bangkit dari tempat tidur selama berbulan-bulan, atau bahkan selamanya!” Delon terdiam, tubuhnya menegang di tempat. Mata Blue seperti belati, memotong keberaniannya sedikit demi sedikit. Kemudian, Blue berbalik, mengulurkan tangannya ke arah Emely yang masih terduduk di lantai. Emely menatap tangan itu dengan ragu. Matanya bertemu dengan tatapan Blue yang sama tajamnya ketika pria itu menatap Delon. Perlahan, ia mengulurkan tangan, membiarkan pria itu membantunya berdiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN