***
Saat Emely melangkah memasuki kamar mandi yang luas dan mewah, dia segera melepas selimut tebal yang membungkus tubuhnya. Membiarkan kain itu jatuh begitu saja ke lantai yang bersih dan kering. Tangannya sedikit gemetar, menahan perasaan yang makin menyesakkan d**a. Kamar mandi itu terasa terlalu besar, terlalu kosong, dan terlalu sunyi.
Emely berjalan perlahan menuju bilik shower yang terpisah di sudut ruangan. Begitu berada di bawah shower, wanita itu menyalakan air, membiarkan aliran air hangat mengguyur tubuhnya; meresap melalui kulitnya, seolah-olah mencoba menghapus beban yang tak tertahankan dalam hatinya. Namun, air yang mengalir bukan hanya dari shower. Air mata yang terpendam dalam diri Emely sejak lama kini ikut meluncur bebas, bercampur dengan derasnya air yang jatuh dari atas kepala.
Tanpa bisa ditahan, tubuhnya merosot ke lantai kamar mandi yang dingin. Emely duduk di sana, membungkus tubuhnya dengan kedua lutut, seakan-akan mencoba mencari perlindungan dari dirinya sendiri. Tubuhnya yang rapuh seolah-olah tenggelam dalam rasa sakit yang tak terucapkan. Hatinya terasa begitu hancur, penuh dengan rasa pedih yang membuncah. Semua kenangan buruk yang ia coba lupakan kini datang kembali menghantui. Bayangan pria itu, Blue, terus terngiang dalam benaknya.
Blue, pria yang dulu pernah menjadi bagian dari hidupnya, kini hadir kembali dengan cara paling menyakitkan. Dia yang telah membuat janji-janji manis, tetapi akhirnya mengingkari semuanya demi wanita lain. Meninggalkan Emely dalam keadaan terluka tanpa kata-kata.
Sekarang, Emely terperangkap dalam keadaan yang lebih buruk. Sebuah kesalahan besar yang harus ia bayar dengan cara tak terbayangkan. Meski di luar dirinya tampak tegar, seakan-akan tidak terpengaruh oleh ancaman Blue yang bisa saja membocorkan segala keburukannya di New York kepada keluarganya, hati Emely sebenarnya dipenuhi dengan ketakutan yang sangat mendalam. Dia takut. Takut jika ayahnya mengetahui semua rahasia gelap yang telah dia sembunyikan selama ini. Takut jika semua kebohongannya terungkap.
Sialnya, Blue tahu betul itu. Dia tahu persis bagaimana memanfaatkan ketakutan itu untuk menekan Emely, membuatnya terperangkap dalam permainan yang tak bisa dia menangkan. Emely merasa tak berdaya. Apa yang Blue inginkan darinya? Apa yang akan pria itu lakukan selanjutnya?
Beberapa menit kemudian, setelah selesai membersihkan diri, Emely keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih basah menjuntai. Ia berjalan menuju walk-in closet yang menyatu dengan kamar Blue. Ruangan itu tertata rapi, dengan deretan pakaian mahal tergantung di rak-rak yang tertata sempurna. Namun, perhatiannya tertuju pada sebuah paper bag yang tergeletak di atas meja di tengah ruangan.
Rasa penasaran membuat Emely melangkah mendekat. Perlahan, tangannya terulur untuk mengintip isi paper bag tersebut. Namun, sebelum sempat membuka benda itu sepenuhnya, suara berat dan dingin dari arah pintu mengejutkan Emely.
“Baju ganti untukmu. Cepat bersiap-siap. Setelah ini kita sarapan, dan kita perlu bicara,” perintah Blue dengan nada tegas. Pria itu berdiri di ambang pintu walk-in closet, menyenderkan salah satu bahunya pada kusen pintu. Tangannya bersedekap di depan d**a, sorot matanya tajam mengamati gerak-gerik Emely. Meski sikapnya terkesan santai, aura intimidasi yang dipancarkan membuat suasana di ruangan terasa tegang.
Emely menoleh cepat ke arah Blue. Matanya bertemu dengan tatapan pria itu, tetapi ia tak menunjukkan ekspresi gentar. Pandangan datarnya justru menjadi bentuk perlawanan diam-diam. Tubuh moleknya hanya terbalut handuk tebal putih yang menutupi hingga sebatas paha.
Tanpa mengalihkan tatapannya, Blue melangkah ringan ke arah Emely. Kehadirannya yang begitu dekat membuat wanita itu mendapati dirinya berusaha keras mempertahankan sikap tenang, tetapi debaran jantungnya mulai tak menentu.
Blue menghentikan langkahnya tepat di depan Emely. Jarak di antara mereka begitu dekat hingga Emely bisa mencium aroma maskulin yang khas dari tubuh pria itu. Dengan santai, Blue mengulurkan tangan ke arah paper bag di meja, membuka isinya, lalu memperlihatkan sebuah gaun elegan yang terlipat rapi di dalamnya.
“Pakailah,” perintah Blue dengan nada rendah tetapi tegas. Matanya masih menatap tajam pada Emely. Tubuhnya sedikit bergeser lebih dekat. Lalu, ia mendekatkan wajahnya hingga hanya beberapa inci dari Emely. Pria itu menambahkan, “Semoga dress pilihanku cocok dengan tubuh seksi ini.”
Kalimat itu dilontarkan Blue dengan suara rendah, hampir seperti bisikan yang menggelitik telinga Emely. Sebelum wanita itu sempat bereaksi, ia lebih dulu mengecup lembut kulit punggung Emely yang mulus, meninggalkan sensasi hangat di sana.
Emely tersentak kecil lalu segera menarik diri ke belakang dengan wajah yang menyiratkan rasa kesal. Meski hanya kecupan singkat, tindakan itu terasa seperti pelanggaran besar baginya. Ia menatap Blue dengan tatapan tajam. “Jangan sentuh aku sembarangan! Najis!” ucapnya tajam. Suaranya penuh amarah.
Alih-alih tersinggung, Blue malah tertawa kecil. Suaranya dalam dan meremehkan. Ia tampak begitu menikmati respons defensif dari Emely. Seperti seorang pemain yang baru saja memenangkan babak pertama dari permainannya.
“Keluarlah! Ngapain kamu masih di sini?” Emely mendengkus kesal, alisnya bertaut saat menatap pria itu.
Blue mengangkat alis, senyumnya makin melebar. “Menunggumu,” jawabnya santai. “Siapa tahu kamu membutuhkan bantuan. Aku siap membantu,” tambahnya. Nadanya terdengar menggoda.
“Tidak! Aku tidak butuh bantuanmu. Keluarlah. Aku mau bersiap-siap!” usir Emely. Suaranya makin keras dan tegas.
Blue menghela napas lalu menggeleng pelan. “Mengapa kau galak sekali, hmm?” tanyanya dengan nada bercanda, seolah-olah tidak menganggap serius amarah wanita itu.
“Bukan urusan kamu!” desis Emely dengan nada tajam.
Blue menatapnya sebentar kemudian bergumam, “Fix, gen Blaxton lebih dominan.” Suaranya nyaris tidak terdengar, tetapi cukup bagi Emely untuk menangkap kalimat itu. Meski demikian, ia memilih untuk tidak menanggapi.
Dengan langkah santai, Blue akhirnya keluar dari walk-in closet, membiarkan Emely sendirian. Wanita itu mendengkus frustrasi, mencoba menenangkan emosinya. Ia mengalihkan perhatian ke paper bag di atas meja lalu mengambil dress di sampingnya.
Dress itu tampak memukau, sebuah dress hitam dengan potongan yang sensual. Bagian dadanya dihiasi renda transparan yang menggoda, sedangkan bagian bawahnya jatuh pas membingkai tubuh dengan sempurna. Tali spageti tipis di bahunya memberikan kesan elegan sekaligus menggoda. Meski kesal karena pria itu terlalu percaya diri, Emely tidak bisa memungkiri bahwa gaun tersebut terlihat sangat mewah dan indah. Ia pun segera mengenakan dress itu sambil mencoba mengabaikan rasa frustrasi yang masih menggelayuti pikirannya.
Beberapa saat berikutnya. Setelah selesai bersiap-siap, Emely keluar dari kamar dengan Blue yang berjalan santai di sampingnya. Keduanya turun menuju lantai bawah melalui tangga melingkar yang megah dengan desain klasik elegan. Langkah mereka bergema pelan di ruangan yang begitu luas dan sunyi.
Mereka langsung menuju ruang makan, tempat sebuah meja panjang berlapis kaca dengan detail ukiran di tepinya telah dipenuhi berbagai menu yang menggugah selera. Meski waktu sudah menunjukkan hampir pukul 12 siang, hidangan yang tersaji tetap merupakan menu sarapan mewah: bagel dengan cream cheese dan smoked salmon, pancake tebal yang disiram sirup maple, scrambled eggs lembut dengan potongan truffle, serta dua cangkir kopi hitam hangat.
Blue menarik kursi untuk Emely sebelum duduk di tempatnya sendiri. Sikap manis itu terasa kontras dengan sifatnya yang sering membuat Emely kesal. Namun, wanita itu tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya duduk dengan anggun, meski di dalam hatinya masih ada percikan rasa kesal atas kejadian sebelumnya.
Mereka menikmati sarapan dalam diam. Hanya denting peralatan makan yang sesekali terdengar di ruangan itu. Emely sesekali mencuri pandang, memperhatikan Blue. Pria itu duduk tenang, menikmati makanannya dengan penuh konsentrasi. Seolah-olah tak pernah ada ketegangan yang terjadi di antara mereka beberapa waktu lalu. Sikapnya yang santai membuat Emely merasa seperti sedang bermain dalam permainan yang ia sendiri tak paham aturannya.
Hampir dua puluh menit berlalu. Emely menyelesaikan sarapan dan meraih gelas air di sisinya, menyesapnya secara perlahan. Setelah itu, ia mengambil beberapa lembar tisu untuk menyeka sudut bibirnya. Gerakannya anggun, tetapi ada kesan dingin yang sengaja ia pertahankan.
“Kau sudah selesai?” tanya Blue tiba-tiba, memecah keheningan. Suaranya terdengar dalam dan tenang, membuat perhatian Emely sejenak teralihkan.
“Ya,” jawab Emely singkat tanpa menatap pria itu.
Blue mengangguk lalu bangkit dari tempat duduknya. “Baiklah, kita langsung ke ruang kerjaku. Ada beberapa hal penting yang harus kubicarakan denganmu,” ujarnya.
***