“Ambil handuk sama baju di kamar Mbak Niha, Si.” Suara itu lamat-lamat terdengar.
Kesadaranku perlahan terkumpul. Telinga ini sedikit demi sedikit sudah mampu merekam suara sayup-sayup orang bercakap-cakap. Namun, mata rasanya masih berat untuk dibuka, juga tubuh yang terasa lemas.
“Sadarlah. Buka matamu, Mbak ” Suara seseorang terdengar lagi. Terasa sebuah tangan membelai kening dan menepuk pelan pipiku. Dari yang tertangkap telinga, itu seperti suara Mbak Sa.
“Sasi lama amat, sih.”
Suara itu makin jelas, tetapi belum ada kekuatan sekadar membuka mata atau menggerakkan anggota badan.
“Ini, Mbak.” Suara lain terdengar.
“Ayo bantu mengeringkan tubuh Mbak Niha. Habis itu kita pakaikan pakaian.”
Dua suara wanita berbeda itu terdengar lagi. Tubuhku yang kedinginan mulai merasakan hangat.
“Untung tadi ketahuan, Mbak. Kalo enggak, aku nggak bisa bayangin gimana keadaan Mbak Niha.”
Aku mencoba menggetarkan pita suara. Sekali, dua kali, tidak berhasil. Saat salah satu titik di tubuhku tersentuh, aku mendesis merasakan perih.
“Mbak, alhamdulillah. Bisa denger suaraku, Mbak!” pekik seseorang. Mungkin ia mendengar rintihanku.
“Sa-kit,” ujarku lirih. Walaupun tingkat kesadaran masih rendah, rasa sakit di sekujur tubuh ini terasa sangat mengganggu.
Perlahan, mataku yang masih terpejam terasa panas, lalu bulir air mata perlahan turun.
“Kita ke rumah sakit, ya, Mbak?” Suara Mbak Sa terdengar bergetar.
Aku menggeleng. “A-ku i-ngin ma-ti.”
“Ssst! Jangan bicara gitu. Mbak Niha pasti kuat,” bisiknya di telingaku.
Aku belum punya niat membuka mata.
“Si, panggil Pak Huri dan Soni. Minta tolong ke mereka angkat Mbak Niha. Kita bawa ke rumah sakit sekarang!”
“Baik, Mbak Sa.”
“Tapi tolong ambilkan kerudung buat Mbak Niha dulu.”
“Siap!”
“Ma-ma E-le-Na.” Aku berucap lirih.
“Nyonya baik-baik saja. Pikirkan dulu kesehatan Mbak Niha. Mbak harus kuat. Kita akan ke rumah sakit biar Mbak mendapat pertolongan.” Mbak Sa kembali bersuara. Setitik air mengenai dahiku. Mungkinkah Mbak Sa menangis?
Lemas, sesak, tubuhku rasanya seperti tak bertulang. Untuk bernapas pun kini rasanya sulit. Ya Allah, jika boleh, cukupkan saja umurku sampai di sini. Aku benar-benar tidak kuat lagi.
Dada rasanya seperti terimpit batu besar, lalu sebuah putaran menyedotku ke dalamnya.
**
Entah berapa lama aku berada di alam bawah sadar. Saat kesadaran mulai terkumpul, kali ini tubuhku tidak sesakit sebelumnya. Aku pun mencoba membuka mata, tampak kabur seperti bayangan seorang wanita. Mataku terpejam lagi. Aku mencoba menggerakkan tangan, rasanya masih kaku.
“Niha, lu sadar, Sayang? Gerakkan lagi jarimu coba!” pekik wanita itu. Dari suaranya, sepertinya itu Asti.
Dengan pelan, aku kembali membuka mata. Cahaya yang diterima mata, membuatku silau. Sempat kulirik sumber suara.
Benar, ada Asti di sini. Mataku masih berat. Aku kembali terpejam.
“Niha, lu sadar. Bentar, gue panggil perawat dulu.”
“Gue di mana, Ti?” tanyaku lirih.
“Alhamdulillah kalo lu nggak amnesia. Lu masih ingat gue? Syukurlah.”
Aneh wanita satu ini. Memangnya aku separah apa sampai dia menganggapku amnesia?
“Lu di rumah sakit, Ha. Suami gila lu itu harus membayar mahal atas perlakuannya ini! Dia harus masuk bui!” tegasnya.
Aku mencoba membuka mata lagi. Benar, ruangan asing bercat putih menyapa saat pertama kali kelopak mata ini terbuka. Aku melihat ke arah Asti, wajahnya tampak sembab.
“Haus,” ujarku.
Asti langsung mengambil botol minuman dan meminumkannya padaku dengan sedotan. Entahlah, rasanya sangat haus hingga separuh botol mampu masuk lambung, membuat tenggorokanku yang kering menjadi segar.
“Mau makan?”
Aku menggeleng.
“Gue panggil perawat bentar, ya. Lu di sini. Jangan ke mana-mana.”
Aku tersenyum. “Dalam kondisi kayak gini, lu pikir gue bisa kabur?”
Air putih setidaknya bisa membuat tenagaku sedikit pulih.
Asti malah tertawa.
“Gue lapor polisi habis ini. Kasus KDRT yang menimpa lu harus dilaporkan. Sumpah, Ha, kesabaran gue sudah mentok. Kita buat Aqsal membayar tunai kelakuannya,” ucapnya menggebu-gebu. Aku hanya tersenyum sambil menggeleng.
“Jangan, Ti. Ini semua memang salah gue. Kalaupun lapor percuma. Mas Aqsal punya kuasa untuk berkelit. Dan konsekuensinya, adek gue yang jadi sasaran.”
“Gue nggak peduli. Sekuat apa pun kuasanya, tapi sudah banyak saksi dan bukti yang memberatkan. Dia bisa apa?”
Lagi-lagi aku tersenyum dan menggeleng. “Hukum di negara ini bisa dibeli. Orang kayak gue bisa apa lawan bos kayak dia? Kalaupun mendapat hukuman, dari balik jerusi besi, dia bisa menyuruh orang buat mencelakakan gue sama Nizam. Lu mau?”
Bukti dan saksi di rumah itu semua mungkin tunduk pada Mas Aqsal. Walaupun mereka mau bersaksi, hukum tetap dengan gampang dibelinya. Aku tidak mau mereka kehilangan mata pencaharian hanya gara-gara membelaku.
“Pokoknya kali ini jangan halangi gue. Gue mau ambil hasil pemeriksaan dan hasil visum, habis itu lapor polisi. Lu juga bisa pisah sama dia. Keputusan gue udah final.”
“Kalau hanya gue yang kena imbasnya, nggak apa-apa. Kalo adek gue? Nizam satu-satunya aset berharga gue. Tapi terserah lu mau apa. Asal lu mau menjamin keselamatan Nizam. Bisa?”
“Iya, gue bersedia!”
“Baiklah. Lakukan semau lu. Karena bisa jadi lu jadi berurusan sama Mas Aqsal.”
Asti diam.
“Asti, anggap gue bodoh, lemah, wanita menye-menye. Ya, gue akui itu. Tapi dia itu lebih kejam dari mafia, koneksinya luas. Yakin lu bisa menghadapinya? Cukup gue aja yang jadi korban. Jangan orang lain. Ini nggak akan lama. Hanya beberapa bulan lagi paling lama setahun. Setelah itu, gue bakal menghilang dari pria berkelakuan iblis itu.”
Aku menggenggam tangan Asti. “Terima kasih karena lu udah sangat peduli sama gue. Oh, ya, tahu dari siapa gue sakit?”
“Gue kebetulan tadi datang ke rumah lu buat nganterin motor dan bertepatan lu digotong ke mobil dalam kondisi nggak sadar. Ya udah, gue ikut ke sini sekalian.”
“Padahal gue pengennya nggak selamat. Kenapa orang-orang itu malah bawa gue ke sini. Dasar! Tapi, makasih betewe.”
Asti mendekap tubuhku erat.
“Niha, nanti lo pulang ke rumah gue aja. Jangan masuk markas iblis itu lagi.”
“Ti, sakit sumpah badan gue lu peluk gini.”
Asti mengurai pelukan, lantas tertawa. “Maaf, Beb. Ya udah, gue keluar dulu manggil perawat. Dari tadi nggak jadi karena lu nyerocos terus.”
Aku mengangguk.
“Beb, cepet sembuh, ya,” ujarnya. Terdengar sangat tulus.
“Ti, jangan sampai mengabari Nizam kalau gue ada di sini. Biar fokusnya ke hafalan dan pelajaran tidak terpecah.”
Asti mengangguk.
Untung gadis itu tidak bertanya macam-macam. Aku juga tidak mau dia tahu kini aku tidak lagi suci. Cukup ini masih menjadi rahasiaku dulu.
**
Setelah kejadian sore mencekam itu, aku pendarahan. Namun, tidak sebanyak saat datang bulan. Dokter memutuskan agar aku opname. Sehari berada di rumah sakit, rasanya sudah tidak betah.
“Apa rasanya sakit?” tanya Dokter saat visit dan bertanya tentang keluhanku. Aku pun mengeluhkan area keramat yang masih mengeluarkan darah sampai aku harus memakai pembalut.
“Buat pipis perih, Dok. Pendarahan juga di luar masa datang bulan saya.”
“Sudah berapa hari?”
“Sejak kemarin, sejak saya dibawa ke sini.”
“Apa riwayat jatuh ada yang mengenai daerah maaf, ‘situ’?”
Aku menggeleng.
“Ibu sudah menikah?”
“Sudah.”
Dokter pria itu berpikir sejenak, lantas berujar. “Sus, nanti tolong jadwalkan pasien ini bertemu SpOG, ya. Siapa tahu sedang hamil dan terjadi flek.”
“Baik, Dok.”
Hamil? Tidak mungkin karena aku baru dijamah.
Setelah bertanya keluhan lain, tenaga medis itu berlalu.
Aku dibawa ke rumah sakit ini karena hipotermia sampai pingsan. Aku juga tidak berkata habis mendapat KDRT. Luka memar di tubuh aku beralasan karena jatuh.
Aku tahu mungkin area keramatku bermasalah karena perlakuan Mas Aqsal sampai menimbulkan pendarahan. Namun, lama-lama aku takut jika ini berbahaya. Lebih baik mengeluhkan hal itu agar diperiksa oleh dokter ahli.
Mas Aqsal. Pria itu benar-benar tidak manusiawi.
**
Jadwal poli buka sore. Perawat mendorongku dengan kursi roda menemui dokter kandungan. Tidak ada yang menemaniku di sini. Aku sendirian.
Aku masuk setelah namaku dipanggil dan diperiksa. Aku pun mengeluarkan semua kekhawatiranku kepada dokter kandungan perempuan itu. Tentu saja dengan menjaga batas pantas dan tidak.
“Selaput dara itu lapisan tipis yang berada di bawah miss v dan bukan merupakan pembuluh darah besar. Kalaupun robek, tidak akan menimbulkan pendarahan hebat. Hanya sedikit bercak. Dari cerita Ibu tadi, mungkin karena kurangnya pemanasan dan pelumas, jadi tidak perlu khawatir.”
“Apa pendarahannya akan lama?”
“Tergantung parah tidaknya luka. Berbaringlah. Biar saya USG transvaginal. Bersedia?”
Aku mengangguk dan dokter itu mulai melakukan tugasnya. Ada sebuah alat panjang, lalu ujungnya diolesi semacam gel.
“Ambil napas panjang, Bu,” pintanya. Aku menurut.
“Ada robekan di forniks ternyata. Suaminya ada di sini, Bu?” tanya dokter itu setelah alat USG dimasukkan.
“Tidak ada, Dok. Suami saya kebetulan sedang ada di luar kota,” jawabku berbohong untuk menutupi kebobrokan rumah tangga kami.
“Baiklah. Tapi nanti suaminya tolong dikasih tahu agar tidak terlalu kasar. Kasihan Ibu kalau seperti ini.”
“Apa bahaya, Dok? Apa memengaruhi kesuburan saya?”
“Ya, bahaya.”