“Aqsal, tolong jangan marahi saudaramu seperti itu. Dan Niha, maaf. Semalam kamu lupa mengambil ponselmu. Saya pun lupa karena kita keasyikan kayaknya,” ucap Arjuna.
Mati aku! Pasti Mas Aqsal berpikir yang bukan-bukan. Kulirik suamiku itu. Rahangnya tampak mengeras, matanya membola.
“Niha, ini ponselmu. Oh, ya, Sal. Saya semalam bertanya banyak hal ke Niha. Katanya dia tinggal di sini. Lantas saya meminta alamat rumah ini ke papa dan diberikan. Maaf baru mengembalikan sekarang. Tadi pagi saya masih sibuk.” Arjuna tersenyum sopan.
Ingin rasanya aku mengecil menjadi semut agar bisa melarikan diri dari. Kedatangan Arjuna membuat situasi antara aku dan Mas Aqsal makin memanas.
“Aqsal, saya ingin–“
“Kamu bayar berapa istri saya semalam?” potong Mas Aqsal pada ucapan Arjuna.
Arjuna yang tak tahu menahu hanya menggeleng. Oh, tumben pria itu menyebutku istri.
“Is-tri? Maksudnya?” Arjuna balik bertanya dengan alis bertaut.
“Niha istri saya, breng*ek!”
“A-apa? Bukannya semalam katanya dia–“
“Apa yang sudah kamu lakukan semalam bersama dia? Ck, sampai ponselnya pun ketinggalan. Gimana servisnya di ranjang? Sampai-sampai dia nggak bisa jalan dan harus pakai kruk.” Mas Aqsal bertanya dengan bibir tersungging sebelah.
Dadaku kian panas dengan semua tuduhannya. Perlakuan kasar masih bisa kuterima, tetapi kalau sudah merendahkan harga diri bahkan di hadapan orang lain, aku tidak bisa.
“Mas, hentikan tuduhanmu itu. Ponselku ada sama Pak Arjuna bukan berarti aku–“
“Diam kamu! Mana ada wanita kotor mengaku dirinya kotor!” bentaknya sambil menunjukku dengan jari telunjuk.
Arjuna tampak terdiam.
Mas Aqsal merebut paksa ponsel di tangan Arjuna dan membantingnya.
“Mas! Apa yang kamu lakukan ke ponselku!” Aku berteriak, lantas terduduk untuk memungut ponsel yang sudah retak layarnya.
“Jangan pernah datang lagi ke rumah saya. Pergi kamu!” usir Mas Aqsal kepada Arjuna.
Setelah melakukan itu, dia memaksaku berdiri, lantas menyeret tanganku kasar. Aku masih sempat menoleh ke belakang, ke arah Arjuna. Pandangan kami bertemu. Bibirku bergumam kata maaf. Entah dia paham atau tidak.
Kakiku yang masih berjalan dengan bantuan kruk, terpaksa mengimbangi langkah cepatnya. Sakit? Sudah tentu.
Mas Aqsal membawaku menuju kamarnya. Di kamarnya, dia habis-habisan meluapkan amarah. Jambakan, tamparan, dan bentakan kenyang aku dapatkan.
Aku tidak menangis meraung-raung. Hanya sesekali air mata ini menitik.
Nizam yang tersenyum, bagaimana saat dia memintaku menyimak hafalannya tadi, ketika dia bercerita prestasinya, mampu menjadikanku kuat. Tidak apa aku menderita, asal adikku bisa menggapai cita-citanya.
“Aku janji akan jadi lelaki saleh dan sukses seperti keinginan Mbak. Biar bisa membahagiakan Mbak dan almarhum orang tua kita,” ucap Nizam tadi.
“Memang sukses versi kamu itu kayak apa, Zam?”
“Aku ingin jadi orang yang berguna. Kalau tidak guru, ya, dokter.”
Cita-cita yang mulia. Sedikit lagi. Ya, kesakitan ini tidak akan lama.
“Kekerasan yang kulakukan ini semata-mata karena kamu sudah membangkang jadi istri! Kamu istri durhaka! Berani memberikan tubuhmu ke orang lain!” Mas Aqsal berteriak.
Ingin rasanya berteriak mengingatkan dosanya juga. Dia yang sering menggandeng wanita, rangkulan, bermesraan dengan mereka bahkan di depan mataku. Bukan tidak mungkin mereka juga berbagi peluh saat di belakangku. Apa aku sekali saja melayangkan protes? Tidak. Namun, dengan kejinya dia malah memfitnahku berbuat nista padahal kenyataannya aku tidak seperti itu. Luar biasa manusia satu ini!
Aku hanya bisa pasrah dengan perlakuannya.
“Teruskan, Mas. Aku siap jika harus mati di tanganmu sekarang juga,” ucapku lirih, tetapi penuh penekanan.
“Enggak. Kamu nggak akan mati, hanya akan kesakitan!”
“Aku yang akan bunuh diri dan kamu akan aku hantui seumur hidup.”
Mas Aqsal malah tertawa.
Aku ingat. Dulu, saat baru beberapa kali pria itu melakukan KDRT. Dengan diantar Asti, aku berniat melaporkannya ke pihak berwajib. Pipi merah dan lebam di lengan, kurasa sudah menjadi bukti untuk menjebloskannya ke penjara. Namun, saat di tengah perjalanan, Mas Aqsal mengirim pesan. Entah tahu dari siapa kalau aku akan ke kantor polisi, dia mengirim foto Nizam.
Aku tidak peduli dan tetap dengan tekad awal. Namun, baru saja kaki menginjak pintu Polsek, Mas Aqsal kembali mengirimkan foto Nizam bersimbah darah.
[Kalau kamu tetap melaporkanku, adikmu yang akan membayar. Aku masuk bui, adikmu masuk liang lahat. Simpel, bukan?]
Begitulah tulisan yang menyertai foto dan langsung dihapus setelah k****a. Belum sempat aku screenshoot.
Benar saja, beberapa saat kemudian pihak pesantren menelepon dan mengabarkan kalau Nizam menjadi korban tabrak lari. Aku pun mengurungkan niat melaporkan Mas Aqsal dan sudah kapok melakukan itu.
Kejadian seperti itu tidak sekali saja, melainkan beberapa kali dan korbannya adalah Nizam. Mas Aqsal tahu adikku itulah pengapesanku. Pria itu benar-benar sakit jiwa.
“Niha! Kalau suami ngomong didengarkan!” bentak Mas Aqsal, mengurai lamunanku.
Tindakan Mas Aqsal makin mengganas. Dia melepas hijabku dengan paksa.
“Mas, hentikan!”
Tanpa aba-aba, dia menjelajahi leher ini. Aku tidak bisa berkutik karena tubuhku dikunci olehnya.
“Seperti apa pria tadi telah menjamahmu semalam, hah! Seperti ini?”
Dengan serangan kasar dan liar, dia menjelajahi tubuhku.
Tidak butuh waktu lama, gamis Anggi yang kupakai juga dibuka paksa olehnya.
“Lalu, seperti ini?” Pria itu terus meracau.
Saat aku sudah tidak memakai apa-apa, pria itu memaksaku melakukan kewajiban sebagai seorang istri untuk pertama kalinya. Berontak, berteriak, atau meraung pun tidak membuatnya menghentikan aksi. Itu pun percuma karena pekerja di rumah ini tidak akan datang menolongku. Jadi, aku hanya bisa diam dan pasrah. Hanya air mata yang menjadi saksi bahwa aku benar-benar lemah. Bibirku bergetar, aku merintih kesakitan.
Remuk, sakit, dan terhina. Itulah yang kurasakan. Hal pertama dalam hidup yang semestinya aku dapatkan dengan kelembutan, justru diberikannya dengan penuh kekerasan.
Setelah aku tidak berdaya, dan mungkin dia sudah mencapai puncak surga dunianya, pria itu terkulai di sampingku. Aku masih belum bergerak. Rasanya tubuh sakit semua.
Mas Aqsal duduk, lantas melihat ke satu titik entah apa. Dia lalu pergi begitu saja setelah ponselnya beberapa kali menjerit. Ponsel itu dibawa bersamanya setelah dia kembali berpakaian.
“Aaargh! s**t!” Mas Aqsal berteriak sebelum keluar kamar. Pintu kamar lalu ditutup, dibanting keras.
Dia meninggalkan jiwa ragaku yang remuk tak bersisa sendirian di sini.
“Allah, astagfirullah,” ujarku lirih dengan air mata yang terus menetes deras.
Aku meringkuk dengan menyilangkan lengan di depan d**a.
Semua sudah terenggut paksa. Sesuatu yang kujaga selama 25 tahun telah sirna. Meskipun diicip pertama oleh suami sendiri, ini tetap saja tidak adil rasanya.
Kunaikkan selimut untuk menutupi tubuh. Aku baru berteriak, meraung.
“Aaa!” Lalu aku menangis sangat keras.
Aku tidak peduli jika para pekerja atau tetangga terganggu.
Rasanya ingin marah, tetapi seperti ada tekanan yang membuatku tetap diam. Semua rasa sakit, kecewa, terus aku coba tahan dan mungkin sewaktu-waktu akan menjadi bom yang siap meledak.
Aku sudah melakukan bakti sebagai seorang istri dan Mas Aqsal sudah memberiku nafkah batin dengan cara yang keji.
Menangis, aku terus menangis.
“Nizam.” Kupanggil nama adikku.
Setelah menenangkan diri beberapa saat, dengan sisa tenaga aku duduk. Saat tubuhku bergeser, tidak sengaja aku melihat darah segar pada seprai. Bukan bercak, melainkan darah agak banyak. Semua ini mungkin terjadi karena aku yang terus berontak dan dia yang terlalu kasar dan memaksa. Area mahkotaku mungkin bisa dibilang sobek.
Aku kembali tersedu-sedu sambil meremas rambut.
Karena sadar azan Magrib sudah berkumandang, aku kemudian turun dari ranjang dan mengesot menuju kamar mandi. Air dingin di kamar mandi membuat rasa sakit dan perih kian bertambah parah. Aku tak peduli. Perlakuan kasar Mas Aqsal membuat remuk perasaanku.
Bapak, Ibu, tolong jemput aku.
Tubuhku yang basah dan menggigil masih setia berada dalam bath up. Dinginnya air yang merendam tubuh tak setara dengan bekunya jiwaku saat ini. Aku terus menangis sambil bersedekap hingga mataku membengkak.
Tubuhku gemetar, telingaku berdenging. Gambaran kekasaran Mas Aqsal kembali berputar di alam ingatan. Sekelebat bayangan Bapak dan Ibu juga tampak. Kemudian, senyum Nizam terlihat sangat nyata. Suara murajaah adikku tadi pagi juga terasa berbisik lembut di telinga.
“Wa in ‘aaqobtum fa’aaqibuu bimitsli maa ‘uuqibtum bih, walain shobartum lahuwa khoirul lisshoobiriin.” (Qs. An-Nahl;126)
Kata Nizam, ayat itu menjelaskan tentang kesabaran.
... lalu semuanya mengabur dan ... gelap.