“Ayo kita langsung mandi dan salat Zuhur,” ajakku setelah beristirahat beberapa saat. Bukannya menurut, Mas Aqsal kian mengencangkan pelukan. “Lima menit lagi.” “Nggak ada alasan untuk menunda salat. Aku sudah memenuhi permintaanmu dan sekarang aku menagih kesanggupanmu yang katanya akan rajin salat itu.” Aku berusaha duduk sambil membenahi letak selimut untuk menutupi tubuh. Mas Aqsal malah menurunkannya kembali. “Mas!” Pria itu terkekeh, lalu ikut duduk. “Selimutnya cuma satu, kalau kamu bawa, aku akan percaya diri mengejarmu. Tapi kalau aku bawa, aku akan memangsamu lagi. Pilih mana?” Kucubit kuat perutnya. “Awh! Niha, jangan membangunkannya lagi.” “Cukup, ya, Mas!” “Garangnya istriku.” “Kamu tengkurap, aku mau turun, aku mau bawa selimutnya ke kamar mandi.” “Ogah.” “Mas!”

