“Apa kabar?” tanya pria itu sambil mengulurkan tangan. Kutaksir dia seumuran Mas Aqsal. Kulitnya sawo matang, tetapi perawakannya manis. Bukannya menerima uluran tangan pria itu, Mas Aqsal justru sedikit menyeretku pergi. Sesekali aku menoleh ke belakang, memperhatikan pria itu. Dia melakukan hal yang sama, menatapku dan Mas Aqsal. “Siapa pria tadi, Mas?” tanyaku saat kami berjalan beriringan. “Bukan siapa-siapa.” Raut wajah Mas Aqsal berubah drastis. Dia dalam mode seperti dulu. Kaku. Oke, daripada dia mengamuk, aku memilih diam dan tidak akan bertanya macam-macam lagi. Satu hal yang kutahu dari priaku ini. Dia akan bercerita secara sendirinya ketika dia ingin. Namun, jika tidak ingin, dipaksa sampai darah tinggi pun, tidak akan mau bicara. Pria ini tidak suka dipaksa, tetapi hobi m

